Setelah lebih dari 20 tahun menegakkan ajaran dan praktik bodhicitta Nusantara warisan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, pusat pembelajaran Buddhadharma Kadam Choeling Indonesia (KCI) menyelenggarakan rangkaian upacara SVASTI JAYA ANUVṚTTI untuk mengukuhkan kembali komitmen dalam hal berjuang demi pelestarian Dharma di Indonesia serta melatih batin demi kepentingan semua makhluk. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 1–28 November 2022 secara onsite di pusat Dharma Kadam Choeling Bandung dan diikuti secara online dari seluruh Indonesia.
Mengembalikan Keberuntungan dan Kejayaan Dharma
“Svasti artinya keberuntungan, Jaya merujuk pada kejayaan, Anuvṛtti artinya berputar kembali,” terang Śrāmaṇera Yonten Gyatso, salah satu anggota Sangha turut memimpin rangkaian upacara, “Jadi, tujuan upacara ini adalah menghimpun kebajikan agar aktivitas KCI semakin berjaya, memberi manfaat bagi banyak orang dan memajukan perkembangan Buddhadharma di Indonesia.”
Meski tetap aktif menyelenggarakan kelas-kelas Dharma, penghimpunan kebajikan, dan kampanye untuk mempromosikan Buddhadharma altruistik khas Nusantara sebagai panduan hidup secara daring, tak dapat dipungkiri bahwa aktivitas KCI juga terdampak oleh perubahan gaya hidup akibat pandemi COVID-19. Rangkaian SVASTI JAYA ANUVṚTTI menjadi momen untuk keluarga besar KCI yang sudah lama ataupun baru bergabung untuk menyatukan hati dan memperkokoh keyakinan terhadap Buddhadharma.
Iring-iringan menyambut para Buddha, Bodhisattva, Istadewata, dan rombongannya dalam SVASTI JAYA ANUVṚTTI
Menghidupkan Kembali Tradisi Buddhis Nusantara
SVASTI JAYA ANUVṚTTI sendiri terdiri atas serangkaian ritual yang memiliki kaitan erat dengan tradisi Buddhis Nusantara. Acara dibuka pada tanggal 1 November 2022 dengan ritual ruwatan yang merujuk pada naskah-naskah warisan peradaban Buddhis kuno yang masih berbahasa Kawi dan praktik Buddhisme Tibet yang juga berasal dari Nusantara dan masih terjaga silsilahnya. Dalam ritual ini, segala bentuk gangguan yang bersumber dari tumpukan emosi negatif dan karma buruk dikirim ke Panca Dhyani Buddha untuk ditransformasi menjadi sifat-sifat baik. Diyakini bahwa praktik inilah yang dilakukan oleh para Ācārya kerajaan-kerajaan Tantrik seperti Singosari dan Majapahit untuk membantu masyarakat menghadapi wabah, bencana alam, konflik, dan sebagainya.
Selain ruwatan, serangkaian Puja Api juga digelar selama SVASTI JAYA ANUVṚTTI berlangsung. Dalam Buddhisme tradisi Vajrayana, Puja Api dikenal sebagai raja segala Puja karena efektif untuk menghancurkan penghalang Kebuddhaan. Praktik ini juga diyakini sempatdipraktikkan secara luas di Nusantara sebelum merosot bersama dengan runtuhnya peradaban Hindu-Buddha.
Puja Api di halaman Kadam Choeling Bandung
Melestarikan Dharma Warisan Suwarnadwipa
Upacara yang menjadi sorotan utama dalam rangkaian SVASTI JAYA ANUVṚTTI adalah Penghaturan Seribu Persembahan kepada Raja Dharma Je Tsongkhapa dan Penghaturan Persembahan Empat Mandala kepada 21 Tara yang masing-masing diselenggarakan lebih dari 10 kali sepanjang bulan November. Selain merupakan sosok tercerahkan yang menjadikan mereka ladang kebajikan tak hingga, kedua sosok ini merupakan kunci bagi lestarinya Buddhadharma Nusantara, khususnya ajaran Guru Suwarnadwipa Dharmakirti yang menjadikan negeri kita salah satu pusat Dharma terpenting dunia pada abad X.
Penghaturan 1000 Persembahan kepada Raja Dharma Je Tsongkhapa
Dalam biografi spiritual Atiśa Dīpankara Śrījñāna, pelopor Buddhisme tradisi Kadam dan reformator Buddhisme Tibet yang hingga kini dihormati di seluruh dunia, Arya Tara-lah yang menginspirasi Beliau untuk berlayar ke Nusantara untuk berguru di kaki Guru Suwarnadwipa Dharmakirti selama belasan tahun. Berkat petunjuk Arya Tara juga, Guru Atisha berangkat ke Tibet membawa Dharma hasil pembelajarannya di Nusantara ke negeri atap dunia tersebut.
Empat ratus kemudian, ketika bahkan Dharma di Tibet juga mulai merosot, Je Tsongkhapa hadir dan memastikan Dharma Nusantara yang dibawa oleh Guru Atisha bangkit kembali dan bertahan hingga kini. Sosok yang diyakini sebagai emanasi Avalokitesvara, Manjusri, dan Vajrapani ini meluruskan kesalahpahaman mengenai praktik Sutra dan Tantra serta menegakkan kembali Vinaya. Beliau pun mempelopori Buddhisme tradisi Gelug yang mengedepankan kombinasi studi, perenungan, dan meditasi sebagai praktik Dharma yang efektif untuk menyempurnakan welas asih dan kebijaksanaan secara bertahap.
Panduan utama tradisi Gelug adalah Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, intisari seluruh ajaran Buddha yang dikelompokkan ke dalam topik-topik urut untuk menuntun seorang makhluk biasa yang egois dan menderita hingga menjadi seorang altruis yang mampu mewujudkan kebahagiaan sejati bagi dirinya sendiri dan semua makhluk seperti sang Buddha. Di Tibet, tradisi ini diwariskan dari guru ke murid dalam silsilah autentik yang mencakup Guru Suwarnadwipa dan bisa dilacak hingga ke Buddha Sakyamuni sendiri.
Tradisi ini sampai kembali ke Indonesia melalui guru pembimbing utama KCI, yaitu Guru Dagpo Rinpoche. Beliau dikenali oleh Y.M.S. Dalai Lama XIII sebagai kelahiran kembali dari Guru Dagpo Lama Rinpoche Jampel Lhundrup yang tercatat memiliki satu kesinambungan batin dengan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Guru Dagpo Rinpoche sendiri telah mengajarkan Dharma di Indonesia selama lebih dari 30 tahun dan menginspirasi pendirian Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya, institusi monastik Sutra dan Tantra pertama dan terbesar di Asia Tenggara.
Persembahan Empat Mandala kepada 21 Tara
Berkat petunjuk Arya Tara kepada Guru Atisha serta aktivitas agung Je Tsongkhapa, ajaran Dharma bertahap dan berbagai tradisi Buddhis Nusantara seperti yang hanya tersisa dalam wujud monumen di Indonesia tetap dipraktikkan di Tibet dan bisa kembali kepada kita di masa sekarang. Jadi, amatlah tepat bagi KCI yang mewarisi ajaran Guru Suwarnadwipa di Nusantara untuk menghaturkan persembahan dan penghormatan setinggi-tingginya kepada kedua sosok tersebut sekaligus dalam SVASTI JAYA ANUVṚTTI. Secara khusus, upacara ini bertujuan untuk memohon kepada Je Tsongkhapa dan Arya Tara agar terus memberkahi upaya KCI dalam merealisasikan dan melestarikan Dharma di Bumi Nusantara.
Demi Kebahagiaan Semua Makhluk
Selain upacara yang telah disebutkan di atas, ada pula Upacara Pemanggilan Kemakmuran kepada Arya Jambhala, Hyang Betara Kubera, dan Ganapati yang digelar pada tanggal 11–13 November 2022 yang bertujuan untuk mengatasi halangan materi yang bisa menghambat praktik Dharma.
Sepasang penari mempersembahkan tarian yang terinspirasi dari Doa Tujuh Bagian dari Bhadracari yang terukir di Candi Borobudur dalam Upacara Memanggil Kemakmuran
“Ada kemakmuran yang hanya menghambur-hamburkan kebajikan. Ada kemakmuran yang mengambil kebahagiaan orang lain. Kemakmuran yang kita panggil bukan seperti itu,” terang Y.M. Biksu Tenzin Konchog yang memberikan pengantar pada puncak upacara tanggal 13 November 2022, “Kemakmuran yang kita panggil bukan yang meningkatkan klesha, tapi untuk mendukung praktik Dharma demi kebahagiaan semua makhluk.”
Tidak hanya praktik yang ditujukan kepada para Buddha, Bodhisattva, dan Istadewata, ada juga upacara-upacara yang ditujukan kepada sesama penghuni semesta seperti Puja Naga, pendirian pelinggih untuk dewa-dewa lokal, dan praktik derma untuk “pelunasan” utang karma dengan semua makhluk. Jika puja kepada Triratna merupakan penghormatan kepada ladang kebajikan yang tercerahkan, praktik-praktik ini meliputi pelimpahan jasa sekaligus latihan kemurahan hati yang ditujukan kepada semua makhluk yang saling bergantung di semesta ini.
Ṛṇa Śodhana (B. Tibet: Torma Gyatsa) praktik berderma untuk pelunasan utang karma yang mencakup meditasi bodhicitta
Ada Keyakinan, Ada Manfaat
Di era modern ini, tak sedikit orang yang mempertanyakan kebermanfaatan berbagai upacara keagamaan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa praktisi Buddhis tidak seharusnya banyak melakukan upacara atau ritual agar tidak menumbuhkan kemelekatan terhadap ritual (silabataparamasa) yang merupakan salah satu belenggu dalam kehidupan. Makna dan manfaat ritual ini diulas dalam serangkaian ceramah Dharma oleh anggota Sangha yang diadakan secara berkala sepanjang SVASTI JAYA ANUVṚTTI.
Dalam salah satu sesi ceramah, Śrāmaṇera Yonten Gyatso menjelaskan bahwa ritual baru menjadi tidak bermakna jika kita melakukannya tanpa keyakinan dan pemahaman akan definisi ritual itu sendiri, kepada siapa ritual ditujukan, fungsinya, hingga motivasi untuk melakukan ritual tersebut. Mengingat dalam Buddhisme terdapat poin tentang kebijaksanaan, kita tidak seharusnya melakukan apapun dengan pengetahuan kosong.
“Kuncinya di keyakinan. Kalau kita tidak punya keyakinan, ambyar semua,” ujar Beliau.
Śrāmaṇera Yonten Gyatso mengisi salah satu sesi ceramah Dharma dalam SVASTI JAYA ANUVṚTTI
Sebaliknya, jika kita melakukan ritual dengan keyakinan yang tepat dan pemahaman yang benar–mengidentifikasi siapa yang kita sembahyangi, tujuan kita sembahyang, apa yang kita mau, apa yang kita mohon–kita akan merasakan manfaatnya. Misalnya saja ketika mengulang bait-bait tentang penolakan samsara dan bodhicitta yang terkandung dalam teks ritual dengan keyakinan penuh, artinya kita juga “memeditasikan” atau membiasakan batin kita dengan nilai-nilai tersebut. Jika kita melakukannya setiap hari, tentu lama kelamaan penolakan samsara dan bodhicitta bisa tumbuh di batin kita.
Menyatukan keyakinan dalam puja bakti di Istana Payung Perak, Kadam Choeling Bandung
“Setiap orang punya ‘daily rituaI’, ada yang bangun pagi ke kamar mandi dulu, minum kopi dulu. Orang yang tidak spiritual pun melakukan ritual. Itu semua kegiatan yang dikemas untuk mendapatkan manfaat, ada polanya, ada tujuannya, misalnya untuk membangun mood,” terang Śrāmaṇera Yonten Gyatso. Beliau kemudian menjelaskan bagaimana ritual dalam Buddhisme juga memiliki fungsi yang sama. Pola yang ada membantu kita untuk membangun suasana dan memiliki sikap yang benar sambil melatih kesadaran atau perhatian yang benar.
“Kita mengundang Guru, mengundang Buddha, menghaturkan persembahan, setiap tahapan ada maksudnya,” lanjut Beliau, “Saat kita melakukan setiap tahapan ritual dengan keyakinan, kita benar-benar masuk ke dalam dan benar-benar yakin. Akan timbul sebuah rasa bahwa tujuan kita bisa tercapai.”
—
Dengan kebajikan yang kita himpun bersama selama hampir satu bulan penuh ini, semoga keagungan dan kejayaan Dharma kembali mekar di Bumi Nusantara. Semoga Kadam Choeling Indonesia dan Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya bisa terus menjaga dan melestarikan Buddhadharma warisan Guru Suwarnadwipa serta membagikan manfaatnya kepada semua makhluk di Bumi Nusantara.