Retret Sutra KCI 2022: Menggali Makna Tisarana yang Sesungguhnya

  • May 9, 2022

Aku berlindung kepada Buddha

Aku berlindung kepada Dharma

Aku berlindung kepada Sangha

Bait “Tisarana” atau “Tiga Perlindungan” ini rutin diulang seorang Buddhis dalam kebaktian. Bahkan ada ritual khusus mencakup pengulangan bait ini yang dijadikan “tanda” seseorang sah beragama Buddha, mirip seperti ritual pembaptisan dalam agama Nasrani atau pengucapan kalimat syahadat dalam agama Islam. Namun, meski memang benar bahwa Tisarana adalah syarat seseorang menjadi Buddhis, apakah dengan ritual dan pengucapannya saja lantas memastikan seseorang telah sepenuhnya berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha? Apakah kita sendiri yang berstatus Buddhis sudah tahu makna sesungguhnya dari berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha?

Pada tanggal 29 April–8 Mei 2022, sebanyak 95 orang menggali lebih dalam makna Tisarana dan berusaha menyatukannya dengan batin mereka dalam rangkaian Retret Sutra yang diselenggarakan oleh komunitas Kadam Choeling Indonesia (KCI). Retret ini merupakan agenda tahunan setiap libur Lebaran yang akhirnya kembali diselenggarakan secara hybrid (luring dan daring) untuk pertama kalinya sejak merebaknya pandemi COVID-19. Retret luring diselenggarakan di dua kota, yaitu Tanjung Pinang dan Jakarta. Kemudian, retret di Jakarta disiarkan secara langsung sehingga dapat diikuti secara daring dari seluruh Indonesia.


Suasana Retret Sutra KCI 2022 di Jakarta


Suasana Retret Sutra KCI 2022 di Tanjung Pinang

Tisarana yang Sesungguhnya

“Berlindung pada Triratna berarti berusaha untuk menjadi ketiga Ratna tersebut,” terang Joly, anggota Tim Sumati Kirti (tim pengajar) KCI yang memimpin retret di Jakarta. Sebelum menjadi seorang pengajar, Joly telah belajar Lamrim sejak tahun 2005. Di kesempatan ini ia mulai menjelaskan berdasarkan kitab Lamrim klasik “Pembebasan di Tangan Kita” karya Phabongkha Rinpoche dan kitab “Sumati Manjusri Maitreya Sastra Samgraha”, kumpulan transkrip pengajaran Guru Dagpo Rinpoche di Indonesia.


Joly dari Tim Sumati Kirti KCI membabarkan Dharma untuk peserta retret di Jakarta & peserta daring di seluruh Indonesia

Dalam salah satu sesi retret, dijabarkan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan Tisarana dengan berusaha menjadi ketiga Ratna. Menjadi Ratna Buddha berarti menjadi seorang Buddha yang telah mengatasi semua halangan dan menyempurnakan semua kualitas bajik demi kepentingan semua makhluk. Menjadi Ratna Dharma berarti merealisasikan Dharma, khususnya kebenaran tentang terhentinya Dukkha dan jalan penghentian Dukkha. Realisasi di sini bukan sekadar pemahaman teori, tapi sampai kebenaran tersebut menyatu dengan batin kita tanpa upaya. Menjadi Ratna Sangha berarti melatih diri hingga minimal mencapai tingkatan Arya Sangha dengan merealisasikan kebenaran tadi.

Lebih pentingnya lagi, Tisarana tidak seharusnya dilakukan agar seseorang “menjadi Buddhis” saja. Tisarana harus didasari sebab yang tepat, yaitu ketakutan akan penderitaan di alam rendah dan penderitaan samsara, yakin bahwa Triratna mampu memberikan pertolongan, serta welas asih yang mendorong kita untuk ingin bisa membebaskan semua makhluk dari penderitaan.

Berdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa seseorang tidak menjadi Buddhis hanya dengan mengucap bait Tisarana dalam sebuah ritual saja. Jangankan membangkitkan tekad untuk menjadi ketiga Ratna saat melafalkan bait-bait tersebut, sebagian besar dari kita bahkan tidak tahu bahwa itu merupakan sesuatu yang mungkin dicapai.

Lagipula, pasti tak sedikit yang berpikir: “Untuk apa jadi Buddha? Yang penting di enteng jodoh, rezeki lancar.” Kita hanya berpikir jangka pendek, sebatas kehidupan ini saja. Mungkin ada yang sadar masih ada kehidupan mendatang dan berpikir, “Nanti kalau sudah makmur, bisa banyak berdana, cukuplah lahir di alam dewa,” seolah-olah “surga” bisa dibeli dengan materi.

Hal ini pun menghasilkan pertanyaan baru: dari kurang dari 1% penduduk Indonesia yang beragama Buddha, hanya berapa persen yang merupakan “Buddhis” sejati? Berapa persen yang benar-benar Tisarana dengan sebab yang tepat?

Sudahkah Kita Tisarana?


Peserta retret di Tanjung Pinang merenungkan makna Tisarana yang sesungguhnya

Retret ini pun menjadi kesempatan yang bagi saya untuk berkaca. Saat saya mempelajari sedikit Dharma dan sedikit berusaha mempraktikkannya dalam keseharian, ternyata saya ibarat orang rabun yang baru memakai kacamata saat perlu membaca. Saat saya mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan, kadang saya punya cukup kebajikan untuk mengingat Dharma, “Oh, ini semua tidak kekal.” Saat pandemi melanda dan membuat banyak orang menderita, saya sedih dan sedikit membangkitkan welas asih dan cinta kasih dengan berpikir, “Semoga semua makhluk berbahagia.” Namun, dalam aktivitas sehari-hari, saya tidak sedikit pun berusaha untuk menyatukan teori tentang ketidakkekalan dengan cara pandang saya terhadap semua hal. Saya juga tidak secara aktif berusaha menyempurnakan kebijaksanaan dan welas asih kita sehingga bisa memberi manfaat kepada orang lain.

Lain halnya dengan seorang Buddhis sungguhan yang benar-benar telah berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Ia memahami kualitas dan perbedaan dari masing-masing Ratna. Atas dasar pemahaman itu, ia juga sepenuhnya yakin bahwa Triratna mau dan mampu untuk menolongnya dari segala bentuk penderitaan, bahkan yang paling halus dan tak tampak seperti penderitaan sekalipun. Keyakinan ini juga bukan hanya sebatas kagum atau pasrah, tapi juga mencakup keinginan kuat untuk menjadi seperti ketiga objek perlindungan yang luar biasa itu dan menolong tak terhingga banyaknya makhluk yang juga sedang mengalami berbagai bentuk penderitaan.

Kalau saya adalah orang rabun yang merasa cukup memakai kacamata saat perlu membaca, orang yang Tisarana sepenuhnya tanpa henti berjuang mengumpulkan segala hal yang dia butuhkan untuk operasi lasik hingga matanya benar-benar sembuh dan bisa melihat dunia sebagaimana adanya setiap saat.

Semua Ada Prosesnya

Perjuangan yang harus ditempuh itu tentunya tidaklah gampang. Untuk itu, ada dua frasa kunci, yaitu sabar dan percaya pada metode. Metode yang dimaksud adalah Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, sebuah metode melatih batin yang disarikan dari keseluruhan ajaran Buddha dan disusun secara bertahap sehingga kita yang biasa-biasa ini bisa berubah selangkah demi selangkah hingga meraih pencerahan tertinggi. Metode ini telah terbukti mampu membawa banyak orang untuk Tisarana sepenuhnya dan mencapai tingkatan-tingkatan spiritual yang luar biasa. Metode ini juga memiliki kaitan erat dengan Indonesia karena dirintis oleh murid Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Nusantara abad X, yaitu Guru Atisha Dipamkara Srijnana.


Kitab-kitab Lamrim (Tahapan Jalan Menuju Pencerahan)

Guru Atisha menyusun Lamrim ketika Beliau tinggal di Tibet yang saat itu kondisi Buddhismenya sedang kacau balau, penuh dengan “umat Buddha” yang belum benar-benar memahami makna menjadi Buddhis seperti kita di Indonesia sekarang ini. Metode ini kemudian diwariskan turun-temurun dalam silsilah guru-murid yang tak terputus hingga kembali ke Indonesia melalui Guru Dagpo Rinpoche yang juga merupakan kelahiran kembali dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti.


Menyiapkan persembahan tanpa noda, bagian dari 6 Praktik Pendahuluan warisan Guru Suwarnadwipa

Sepanjang retret, peserta mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan topik-topik Dharma secara urut berdasarkan Lamrim. Setiap sesi dimulai dengan 6 Praktik Pendahuluan, rangkaian praktik purifikasi penghalang dan pengumpulan kebajikan warisan Guru Suwarnadwipa yang kini masih terukir di Candi Borobudur, dilanjutkan dengan pembabaran Dharma yang diselingi dengan perenungan dan meditasi hingga peserta bisa benar-benar mendapatkan “rasa” yakin untuk berlindung pada Triratna. Rasa ini pun makin ditanamkan di dalam batin dengan melafalkan bait-bait Tisarana hingga total 100.000 kali.

Aktivitas selama retret: mendengarkan, merenungkan, dan memeditasikan Dharma serta melafalkan bait Tisarana

Retret Interaktif

Ada satu kegiatan unik dalam retret hybrid ini, yaitu sesi interaktif di awal setiap sesi. Setelah pengajar memberikan pancingan, peserta diajak untuk merenungkan kembali motivasi mereka untuk mengikuti retret. Kemudian, perwakilan peserta luring maupun daring diundang untuk berbagi tentang cara mereka membangkitkan motivasi.

Peserta retret yang hadir secara daring juga bisa berpartisipasi

Cinta Tanpa Batas

Satu lagi momen yang amat berkesan adalah pembahasan mengenai cinta kasih Buddha. Poin ini merupakan bagian dari perenungan tentang alasan Buddha layak menjadi objek perlindungan, yaitu karena Buddha telah bebas dari semua ketakutan, mahir membebaskan makhluk lain dari ketakutan, memiliki cinta kasih dan adil terhadap semua makhluk, serta menolong semua tanpa membedakan siapa yang menguntungkan ataupun tidak menguntungkan Beliau.


Bertukar pengalaman untuk memperkaya bahan perenungan Dharma

Sebelum masuk ke penjelasan, Joly mengajak peserta luring maupun daring untuk bertukar pengalaman mengenai fenomena “bucin” alias “budak cinta”. Diskusi mengalir hingga sampai pada kesimpulan bahwa apa yang kita persepsikan sebagai “cinta” sesungguhnya hanyalah sekumpulan karma dan klesha (kekotoran batin). Semua makhluk membutuhkan cinta untuk bisa berbahagia, tapi yang kita butuhkan bukanlah cinta yang terikat dengan karma dan klesha. Kita membutuhkan cinta kasih berupa keinginan tulus agar makhluk lain berbahagia. Cinta kasih seperti inilah yang berulang kali diajarkan dan dipancarkan oleh guru-guru besar seperti Yang Maha Suci Dalai Lama XIV. Cinta kasih seperti ini juga selalu dipancarkan tanpa henti dalam jumlah tak terbatas kepada semua makhluk tanpa terkecuali dari para Buddha.

Inilah yang membuat kita bisa mempercayakan diri kepada Buddha: karena Buddha bukan hanya mampu melindungi kita, tapi juga benar-benar menyayangi kita, ingin kita berbahagia, dan terus-menerus berusaha menolong kita. Namun, untuk bisa merasakannya, kitalah yang perlu membuka hati kita. Mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan topik Tisarana adalah cara agar kita bisa meraih cinta kasih Buddha tersebut dan berlatih untuk membagikan cinta yang sama kepada semua makhluk.

Perampungan Retret Sutra KCI 2022 di Kadam Choeling Jakarta

Semangat cinta kasih ini jugalah yang selalu dibawa hingga retret ditutup dengan pembacaan serangkaian doa yang juga berfungsi sebagai pernyataan tekad untuk terus berjuang melatih batin dan melakukan segala upaya demi kebaikan semua makhluk.

Tentang KCI

Kadam Choeling Indonesia, penyelenggara Retret Sutra ini, adalah komunitas Buddhis sekaligus pusat pembelajaran bodhicita binaan Guru Dagpo Rinpoche dan Y.M. Biksu Bhadra Ruci yang mengandalkan Lamrim sebagai metode pembelajaran dan pedoman hidup utama. Retret ini diselenggarakan bersamaan dengan Retret Tantra tertutup yang dilakukan secara luring di Bandung dan Malang.

Selain retret, aktivitas KCI meliputi Program Pembelajar Lamrim (PROLAM)–kelas Dharma rutin yang kini bisa diikuti secara daring dari seluruh Indonesia–serta berbagai aktivitas pengumpulan kebajikan dan kegiatan sosial di 10 kota di Indonesia. KCI juga tengah mendirikan Biara Indonesia Tusita Vivaranacarana Vijayasraya, institusi pendidikan monastik pertama di Asia Tenggara yang mewarisi ajaran Sutra dan Tantra secara lengkap dan kini menaungi 20 orang Sangha monastik.