Kata Pengantar His Holiness Dalai Lama
Buku kecil hasil karya fotografer Indonesia Rio Helmi, yang sudah bertahun-tahun mempraktikkan Buddhisme Tibet, menceriterakan riwayat Jowo-jé Atisha, seorang mahaguru Buddhis dari India, yang selama tahun-tahun akhir kehidupannya mempunyai dampak luar biasa pada perkembangan Buddha Dharma di Tibet. Beliau bukan saja seorang pakar yang terpelajar, Atisha juga terkenal karena tekad praktik spiritualnya yang amat disiplin. Di samping itu, rupanya Beliau adalah orang yang pemberani, ini dapat dilihat dari kedua perjalanan yang Beliau lakukan keluar dari negeri kelahirannya di India. Yang pertama adalah perjalanan jauh ke Pulau Sumatera di Sriwijaya, kerajaan yang terletak di negara yang kini kita sebut Indonesia, sedangkan yang kedua adalah perjalanan melintasi Pegunungan Himalaya ke Tibet. Dewasa ini perjalanan dengan tujuan itu dan jarak yang ditempuh mungkin tidak mengesankan, namun pada zaman Atisha, perjalanan seperti itu pastilah penuh bahaya dan ketidakpastian.
Meskipun Beliau telah belajar dengan banyak sekali guru, Atisha berangkat ke Sumatera karena ingin lebih banyak memahami batin pencerahan bodhicitta, jantung praktik seorang Bodhisattva. Beliau mendengar bahwa guru praktik tersebut yang paling tersohor adalah Dharmakirti dari Suvarnadvipa atau Sumatera, yang kami orang Tibet sebut sebagai Lama Serlingpa. Oleh karena itu Beliau menghabiskan dua belas tahun dengan Dharmakirti dan menguasai kedua cara utama untuk membangkitkan batin pencerahan: menukar diri dengan yang lain serta tujuh poin sebab dan akibat, Beliau mengajar kedua teknik ini di Tibet.
Di kemudian hari Atisha datang ke Tibet sewaktu Jangchub Ö berkuasa, dan menghabiskan sekitar tujuh belas tahun di Tibet. Dengan demikian Beliau mendedikasikan tahun-tahun terakhir usianya demi Dharma di Tibet, menghidupkannya kembali di tempat-tempat di mana Dharma itu telah hilang, memperkuatnya di tempat-tempat di mana Dharma itu masih bertahan, dan melakukan reformasi di tempat-tempat di mana Dharma itu telah tercemar dengan ide-ide yang keliru. Ini dilakukan Beliau dengan membabarkan penjelasan yang benar bahwa seorang individu dapat mempraktikkan segala aspek Buddha Dharma, termasuk Sutrayana dan Vajrayana, dalam satu kesempatan yang sama. Beliau juga mendirikan kembali vihara-vihara di Tibet dan menggarisbawahi perilaku etis dan sila sebagai esensi dari latihan Buddhis.
Karena dimohon oleh Jangchub Ö untuk memberi ajaran yang bermanfaat bagi rakyat Tibet secara umum. Atisha menggubah Cahaya yang Menerangi Jalan Menuju Pencerahan, yang merangkumkan poin-poin inti baik sutra maupun tantra dalam metode yang bertahap yang mudah diikuti. Teks ini yang meluncurkan tradisi agung pembelajaran dan praktik Tahap-tahap Jalan Menuju Pencerahan (Lam Rim) di Tibet.
Bahwa saat ini kita masih memiliki akses pada semua aspek jalan Sutrayana dan Vajrayana adalah berkat kemahiran dan kebaikan hati yang tercermin dalam presentasi Atisha tentang Sang Jalan. Terlebih lagi Beliau secara khusus mengimbau meditasi pada batin pencerahan bodhicitta yang berdasarkan cinta kasih dan welas asih. Beliau menjadikan ini sebagai praktik utamanya dan menyarankan agar muridnya melakukan hal yang sama. Saya sering merenungkan bahwa jika kita bisa menjalankan nasihat ini, kebaikan hati Beliau akan terbalas; dan paling tidak sebagian dari keinginan Beliau akan terkabulkan.
*Kata Pengantar Yang Mulia Dalai Lama 14 untuk buku berjudul “Jowo Atisha—India, Sriwijaya, dan Tibet—Sebuah riwayat singkat Mahaguru Atisha Dipamkara Sri Jnana” yang disusun oleh Rio Helmi, Yayasan Suvarna Dharma Cakra Loka, Bali, 2012.
Bab VI – BERTEMU DENGAN GURU SUVARNADVIPA
Kemudian para petapa menghadap Guru Dharmakirti Suvarnadvipa dan berkata: “Mohon dengarkanlah kami, O Guru yang Mulia. Hari ini telah tiba seorang ketua vihara dari India bernama Dipamkara Shri Jnana beserta seratus dua puluh lima pengikut. Mengarungi samudera luas selama empat belas bulan, mereka telah mengalahkan para mara, heretik, dan Mahesvara dengan merenungkan maitri dan karuna. Mereka tiba di pertapaan kami tanpa kelihatan tanda kelelahan tubuh, ucapan, maupun batin, dan kami, setelah 14 hari mendengar wejangan dharmanya, penuh mudita dan kebahagiaan. Kini ia ingin bertemu dengan Guru. Sang Maha Pandita ingin memperdalam Prajnaparamita yang telah melahirkan semua Buddha dari ketiga kurun waktu, dan juga ingin mengembangkan Bodhicitta dan semua pencapaian yang berakar padanya hingga sukacita yang tertinggi. Ia ingin juga mempraktikkan Mahayana dan doktrin-doktrin lainnya yang ada pada samudera ajaran Guru, selama siang dan malam. Demikian, dari lubuk welas asihMu, mohon berikanlah kesempatan untuk itu padanya.”
Mendengar kata-kata itu, Guru Dharmakirti Suvarnadvipa menjawab:
“Alangkah mulianya, penguasa bumi telah datang!
Alangkah mulianya, putra sang raja telah datang!
Alangkah mulianya, tuan semua makhluk telah datang!
Alangkah mulianya, pahlawan mulia telah datang!
Alangkah mulianya, dia telah tiba dengan pengikutnya!
Alangkah mulianya, di atelah mengatasi semua rintangan!
Alangkah mulianya, reputasinya tersebar luas!
Alangkah mulianya, dia telah datang dengan tulus hati!
O para bhiksu, kenakanlah jubahmu dan siapkan sambutan untuk Yang Mulia.”
Tak lama kemudian mereka siap: lima ratus tiga puluh lima bhiksu mengenakan ketiga jubah lengkap dengan membawa kendi untuk air suci dan gembrengan. Diiringi oleh enam puluh dua samanera, dan dipimpin oleh Guru Dharmakirti Suvarnadvipa sendiri, rombongan mereka yang telah ditahbiskan berjumlah lima ratus sembilan puluh tujuh orang. Dari kejauhan rombongan Dipamkara Shri Jnana sangat terkesan oleh rombongan penyambut ini.
Dipamkara Shri Jnana dan rombongannya spontan melakukan namaskara penuh menyambut kedatangan Guru Dharmakirti Suvarnadvipa, dan sebaliknya rombongan Guru Dharmakirti Suvarnadvipa pun melakukan namaskara penuh. Dipamkara Shri Jnana mempersembahkan banyak barang, permata dan emas yang sangat berharga. Para pengikut Dipamkara Shri Jnana mempersembahkan satu koin emas kepada masing-masing murid Guru Dharmakirti Suvarnadvipa.
Pertemuan mereka sangat mengharukan, baik Dipamkara Shri Jnana maupun Guru Dharmakirti Suvarnadvipa, mengingat hubungan mereka sebagai murid dan guru selama kelahiran yang berkali-kali. Guru Dharmakiti Suvarnadvipa mempersembahkan Buddharupang kepada Dipamkara Shri Jnana, dan meramalkan bahwa kelak Dipamkara Shri Jnana akan ke “Bumi Salju” (Tibet).
Dipamkara Shri Jnana menetap di Istana Payung Perak di Suvarnadvipa selama 12 tahun. Selama itu Beliau tidur di lantai, di ujung kaki tempat tidur gurunya. Di samping mempelajari segala aspek bodhicitta, Beliau dan rombongannya pertama-tama menerima pelajaran Abhisamayalamkara selama lima belas sesi, lalu instruksi tentang Sutra-sutra Prajnaparamita sesuai dengan yang diturunkan oleh Maitreya kepada Arya Asangha, kemudian secara bertahap mempelajari segala aspek dari silsilah kegiatan luas Maitreya dan Arya Asangha, dan juga metode pembangkitan bodhicitta “Menyetarakan dan Menukar Diri dengan Yang Lain” yang didapatkan oleh Santideva langsung dari Buddha Manjushri. Yang terakhir ini cukup menarik karena Guru Dharmakirti Suvarnadvipa juga menguasai metode pembangkitan bodhicitta “Tujuh Tahap Sebab dan Akibat,” dan dalam tradisi lisan juga telah menurunkan metode yang menggabungkan kedua metode itu. Setelah mempelajari dan mempraktikkan ini semua, Dipamkara Shri Jnana mencapai realisasi Bodhicitta.
Pada umur 45 tahun Dipamkara Shri Jnana kembali ke India. ia telah berguru kepada 157 guru, namun setiap kali ia menyebut atau mendengar nama Guru Dharmakirti Suvarnadvipa kontan air matanya mengalir. Suatu saat salah satu muridnya bertanya apakah Guru Dharmakirti Suvarnadvipa adalah gurunya yang terdekat, Dipamkara Shri Jnana menjawab: “Saya tidak membeda-bedakan guru-guru saya. Namun berkat kebaikan hati Guru Dharmakirti Suvarnadvipa-lah saya mendapatkan ketentraman batin dan intisari bodhicitta.”
*Dikutip dari “Jowo Atisha—India, Sriwijaya, dan Tibet—Sebuah riwayat singkat Mahaguru Atisha Dipamkara Sri Jnana” yang disusun oleh Rio Helmi, Yayasan Suvarna Dharma Cakra Loka, Bali, 2012, hal. 26-27.