Chötrul Düchen, juga dikenal sebagai Chonga Choepa atau Festival Cahaya, adalah salah satu dari empat festival Buddhis untuk memperingati empat peristiwa dalam kehidupan Buddha menurut tradisi Buddhisme Tibet. Chötrul Düchen dirayakan di hari kelima belas sejak tahun baru (Losar). Di hari itu, kita memperingati aktivitas Buddha Sakyamuni menunjukkan mukjizat bagi murid-muridnya untuk meningkatkan rasa bakti dan keyakinan mereka serta untuk menaklukan enam guru sesat yang membuat banyak orang di melakukan karma buruk di masa itu. Kisah lengkap peristiwa ini bisa dibaca di Sutra Si Bijak dan Si Dungu.
Perayaan Chötrul Düchen biasa dilakukan oleh komunitas Buddhisme Tibet atau biara tradisi Tibet dengan mempersembahkan pelita yang banyak dan terus menyala tanpa terputus selama 15 hari. Persembahan-persembahan nan megah juga dipersembahkan selama 15 hari penuh.
Chötrul Düchen di KCI
Keluarga Kadam Choeling Indonesia turut memperingati Chötrul Düchen dengan puja bersama di setiap Dharma Center di seluruh Indonesia. Puja-puja yang dibacakan adalah
Asal-Usul Chötrul Düchen: Buddha Menaklukkan 6 Guru Sesat dengan Mukjizat
Pada suatu waktu, Buddha tinggal bersama ratusan biksu yang ditahbiskan sepenuhnya di Hutan Bambu di luar Rajagraha. Penguasa negara itu, Raja Bimbisara, adalah salah satu penyokong terbesar Buddha. Dalam kesetiaan dan rasa hormat kepada Buddha dan para biksu, Raja mengarahkan banyak rakyatnya untuk selalu belajar dan praktik Dharma.
Enam guru sesat juga tinggal di sana pada waktu itu dan ajaran mereka yang sesat dapat menjadi sebab munculnya berbagai karma buruk. Adik Raja Bimbisara mengikuti guru-guru ini dan memberi persembahan yang besar kepada mereka, berpikir bahwa mereka mengajarkan jalan yang benar. Akibatnya ia menjadi terselimuti oleh banyak karma buruk sehingga meski Buddha telah hadir di hadapannya berkali-kali dan menunjukkan kemuliaan tanda-tanda pencerahan, ia tidak dapat melihatnya.
Raja Bimbisara membujuk saudaranya untuk melepaskan diri dari pengaruh keenam guru tersebut dan mendengarkan ajaran Buddha, tetapi saudaranya menjawab, “Saya punya guru sendiri. Mengapa saya harus mendengarkan Buddha?” Namun, merasa bahwa ia harus menghormati perasaan Raja Bimbisara, saudara itu memutuskan untuk mengadakan pesta dan memberi makanan dan hadiah kepada semua yang datang, termasuk Sang Buddha.
Keenam guru datang dan duduk di kursi tertinggi. Lalu ketika Buddha dan murid-murid-Nya tiba, mereka berjalan menuju beberapa kursi yang tersisa. Namun, sebelum mereka dapat mencapainya, keenam guru itu mendapati diri mereka terjatuh dari kursi tertinggi dan duduk pada kursi yang lebih rendah. Mereka mencoba tiga kali untuk duduk kursi yang lebih tinggi, tetapi setiap kali mencoba, mereka kembali terjatuh ke bawah. Akhirnya, merasa malu, mereka tetap di sana sementara Buddha dengan para murid-Nya duduk di kursi tertinggi.
Sebelum makanan disajikan, para tamu menerima air untuk bisa mencuci tangan. Ketika Buddha berada di kursi tertinggi, tuan rumah menawarkan air kepada-Nya terlebih dahulu, tetapi Buddha berkata, “Tawarkan dulu kepada gurumu.” Air kemudian ditawarkan kepada mereka, tetapi ketika air itu dituangkan, tidak ada yang mengalir ke tangan mereka. Tuan rumah mencoba lagi dan lagi, tetapi air tetap tidak mengalir. Dia kemudian menawarkan lagi kepada Buddha. Air mengalir dengan lancar ke tangan Buddha. Setelah itu, barulah air bisa mengalir ke semua orang.
Sebelum mereka makan, tuan rumah meminta Buddha untuk memberkati makanan. Buddha lalu mengatakan, “Minta restu dari gurumu sendiri.”. Tetapi ketika enam guru mencoba berdoa, mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun dan memberi
isyarat bahwa Buddha harus mengucapkan doa berkah. Buddha melakukannya dengan suara yang jelas, indah, penuh welas asih dan kebijaksanaan.
Berbagai makanan keluar dan dipersembahkan pertama kali kepada Buddha, tetapi Buddha berkata sekali lagi, “Tawarkan dulu kepada gurumu.” Makanan itu kemudian ditawarkan kepada mereka, tetapi semua yang mereka coba ambil terbang ke udara. Setelah makanan yang dipersembahkan kepada Buddha diambil oleh Buddha, barulah makanan yang terbang tersebut turun ke tangan mereka.
Sesuai tradisi India kuno, tuan rumah membuat permintaan kepada Buddha untuk mengajar setelah semua selesai makan. Buddha kembali mengatakan, “Mintalah gurumu berbicara tentang ajaran mereka.” Lagi-lagi enam guru itu, tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Mereka hanya dapat menggerakkan tangan dan meminta Buddha untuk menggantikan. Buddha berbicara dengan suara yang indah dan setiap pendengar mendengar sesuai dengan kondisi dan kapasitas yang dibutuhkan oleh mereka sendiri saat itu. Pemahaman semua orang meningkat pesat. Bahkan pemahaman Raja Bimbisara meningkat semakin tinggi. Banyak yang mencapai tahap jhana pertama hingga ketiga, bagi yang lain Bodhicita tumbuh pesat dalam batin mereka, dan beberapa bahkan mencapai Bodhicita spontan. Sejumlah besar orang mencapai tahapan tidak-kembali, dan yang lain mendapatkan apa yang mereka doakan selama ini. Secara keseluruhan kepercayaan kepada Triratna makin kokoh dalam diri semua makhluk yang hadir. Sejak saat itu, orang-orang Rajagraha selalu mempraktikkan ajaran Buddha.
Keenam guru sesat pergi dan marah karena kehilangan pengikut. Mereka meminta setan Mara untuk membantu membatasi aktivitas Buddha. Setan-setan itu bermanifestasi sebagai keenam guru dan pergi ke pasar untuk melakukan berbagai perbuatan magis seperti menembakkan air, nyala api, dan cahaya berbagai warna dari tubuh mereka. Orang-orang mengagumi perbuatan ini dan menjadi pengikut mereka. Keenam guru tersebut lalu menyatakan, “Melalui kejahatan Gautama kita telah jatuh ke dalam kemalangan. Semua raja, brahmana, dan penyokong dana yang dulu menyembah kami dan membawakan kami persembahan sekarang tidak lagi menghormati kami. Sekarang orang-orang mengejar Gautama, memberi segala yang mereka berikan untuk Gautama. Kami menantang Gautama — untuk setiap mukjizatnya, kami akan melakukan dua; jika Dia melakukannya enam belas, kita akan melakukan tiga puluh dua. Orang akan melihat sendiri siapa yang lebih kuat. ”
Keenam guru pergi ke Raja Bimbisara dan memintanya untuk menyampaikan tantangan mereka kepada Buddha. Raja menertawakan kesombongan mereka. “Kamu bodoh. Perbuatan ajaibmu tidak bisa dibandingkan dengan aktivitas Buddha. Tantangan anda seperti cahaya kunang-kunang dibandingkan dengan sinar matahari, seperti air dalam kuku sapi dibandingkan dengan lautan. Ini seperti rubah yang menantang singa.” Enam Guru bertahan dan berkata, “Anda akan melihat. Apa
yang terjadi sebelumnya bukanlah indikasi apa yang akan terjadi kelak. Ketika kita bertanding, akan jelas siapa yang lebih besar. ”
Raja Bimbisara mengunjungi Buddha dan menyampaikan tantangan yang dititipkan kepadanya, “Keenam guru itu ingin membandingkan perbuatan ajaib mereka dengan yang dilakukan oleh Tathagata. Maukah Anda menunjukkan kepada mereka kekuatan Anda untuk membalikkan pandangan salah mereka dan membimbing mereka untuk melakukan pekerjaan yang bajik? Ketika Anda melakukan ini, bolehkah saya ada di sana? ” Buddha menjawab, “Waktunya akan ditetapkan. Siapkan tempat yang cocok.”
Raja Bimbisara meminta menteri-menterinya membersihkan dan menyiapkan ladang yang luas. Di sana mereka mendirikan takhta singa dan bendera kemenangan Sang Penakluk. Orang-orang dengan penuh semangat menunggu Buddha dan enam guru melakukan mukjizat mereka. Namun, yang mengejutkan semua, Buddha justru meninggalkan Rajagraha dan pergi ke kota tetangga Veiali. Orang-orang Visali, Licchavi, menyambut Tathagata. Ketika keenam guru mendengar bahwa Buddha telah pergi ke Visali, mereka menyatakan, “Gautama takut kepada kita. Dia telah melarikan diri! ”
Mereka semua pun mengikuti ke mana Buddha pergi. Raja Bimbisara dengan lima ratus gerbong, gajah, kuda, perbekalan, dan ribuan pelayan serta menteri pergi ke Visali. Keenam guru membawa tantangan mereka kepada Raja Licchavi yang kemudian mendatangi Buddha dan berkata, “Tolong tunjukkan kekuatan ajaib Anda dan taklukkan orang-orang ini.” Sekali lagi Buddha menjawab, “Waktunya akan ditetapkan. Siapkan tempat yang cocok.”
Tetapi sekali lagi Buddha pergi ke negara lain, Kausambi, diikuti oleh banyak orang dan enam pakar. Raja Udrayana dan orang-orang Kausambi menyambut Buddha. Melalui Raja Udrayana, keenam guru sekali lagi mengeluarkan tantangan mereka kepada Buddha, yang kembali menjawab, “Waktunya akan ditetapkan. Siapkan tempat yang cocok.” Raja Udrayana membuat persiapan besar, tetapi Buddha pergi ke daerah War, tanah Raja Shun Tsin, Dari War Buddha pergi ke Tigitsashiri, yang diperintah oleh Raja Brahmadatta. Dari sana Beliau pergi ke Kapila, negara kaum Sakya, dan akhirnya pergi ke Sravasti, tanah Raja Prasenajit. Buddha diikuti oleh para Raja dari negara-negara yang telah dilaluinya bersama dengan ribuan pembantu mereka serta oleh enam guru dengan sembilan puluh ribu pengikut mereka.
Keenam guru pergi ke Raja Prasenajit, dengan mengatakan, “Kami telah menyiapkan perbuatan magis kami. Banyak waktu telah berlalu sejak kami menantang Gautama, dan Dia masih melarikan diri.” Raja Prasenajit menjawab, tertawa. “Kamu tidak tahu apa-apa, namun kamu ingin menantang Raja Agung
Dharma. Orang seperti dirimu sendiri tidak bisa dibandingkan dengan Beliau.” Tetapi bagi mereka, Raja Prasenajit mengunjungi Buddha dan berkata, “Keenam guru itu ingin menantang Anda. Tolong tunjukkan kekuatan ajaibmu dan taklukkan mereka.”
Sekali lagi Buddha menjawab, “Waktunya akan ditetapkan. Siapkan tempat yang cocok.” Raja Prasenajit menyuruh para menterinya membersihkan dan menyiapkan ladang yang luas, membakar dupa dan menempatkan di sana takhta singa dan bendera Sang Penakluk.
Hari Pertama
Pada hari pertama musim semi, Buddha pergi ke ladang yang telah disiapkan untuknya dan duduk di atas takhta singa di hadapan orang banyak. Setelah menerima persembahan Raja Prasenajit yang luar biasa, Tathagata mengambil tusuk gigi dan meletakkannya di tanah. Tusuk gigi tersebut tumbuh sekaligus menjadi pohon yang luar biasa besar. Di cabang-cabangnya, nampak jelas terlihat dari beberapa kilometer jauhnya, tumbuh daun, bunga, buah, dan keluar permata yang indah dari segala jenis. Cahaya berbagai warna yang berasal dari permata itu sama briliannya dengan cahaya matahari dan bulan. Ketika ranting-ranting pohon berdesir ditiup angin, suara pengajaran dharma Buddha terdengar. Kemudian Buddha sendiri berbicara kepada orang banyak. Banyak orang yang mendengar mengalami kemajuan pesat – beberapa mencapai tingkat Arahat dan jutaan orang mematangkan dengan cepat benih untuk kelahiran kembali di alam-alam yang tinggi seperti manusia atau dewa.
Hari Kedua
Pada hari kedua musim semi, Raja Udrayana memberi persembahan besar kepada Buddha. Sang Tathagata kemudian memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Di kedua sisi takhta singa sebuah gunung permata muncul. Di setiap gunung mengalir mata air ajaib yang airnya memiliki delapan rasa yang berbeda. Satu gunung ditutupi dengan rumput yang rimbun untuk memberi makan dan memuaskan hewan, sementara yang lain ditutupi dengan makanan khusus untuk memuaskan manusia. Buddha kemudian berbicara ajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing orang, dan banyak yang dibebaskan dari penderitaan mereka dengan hanya mendengar saja. Beberapa dari mereka yang hadir menghasilkan pikiran Bodhicita spontan dan banyak dari makhluk alam rendah yang mendapatkan kelahiran kembali sebagai manusia atau dewa.
Hari Ketiga
Pada hari ketiga Raja Shun Tsin memberikan persembahan kepada Tathagata. Setelah makan, Buddha membilas mulut dengan air. Di tanah tempat air jatuh,
sebuah danau besar terbentuk yang memanjang tiga ratus kilometer. Airnya memiliki delapan rasa dan dasar danau ditutupi dengan tujuh jenis permata. Sejumlah besar bunga lotus dari setiap warna tumbuh di permukaannya dan aromanya memenuhi udara; oleh sinar cahaya memancar ke segala arah. Ketika orang-orang melihat ini, mereka sangat Bahagia. Ketika Buddha mengajar, beberapa dari mereka yang hadir mencapai Bodhicita spontan dan banyak makhluk alam rendah yang mendapatkan kelahiran kembali sebagai manusia atau dewa.
Hari Keempat
Pada hari keempat Raja Indravarma menyiapkan persembahan untuk Buddha. Buddha menciptakan kolam yang mengeluarkan delapan aliran. Kedelapan aliran ini membentuk lingkaran lalu kembali ke kolam. Dalam suara arus aliran air tersebut, orang-orang mendengar ajaran lima kekuatan, tujuh aspek Bodhicita, jalan beruas delapan, tiga tahapan jalan menuju pencerahan, enam jenis kemahatahuan, dan empat kebenaran mulia. Dari ajaran ini, banyak yang mencapai pemahaman tentang dampak Kebuddhaan dan banyak yang mencapai kelahiran kembali di tingkat tinggi manusia atau dewa. Kebajikan mereka yang hadir dan mendengarkan pun meningkat berkali-kali lipat.
Hari Kelima
Pada hari kelima Raja Brahmadatta dari Varanasi menyiapkan berbagai persembahan untuk Buddha. Tathagata mengeluarkan cahaya keemasan yang memenuhi seluruh dunia. Cahaya ini mencapai semua makhluk hidup dan memurnikan dari batin dari tiga racun. Semua makhluk menjadi damai jasmani dan rohani dan mereka yang berkumpul dipenuhi suka cita. Ketika Buddha berbicara, banyak yang mendapatkan pemahaman Bodhicita, banyak yang menanam benih kelahiran kembali sebagai manusia atau dewa, dan tak terhitung banyaknya yang meningkatkan karma bajik mereka.
Hari Keenam
Pada hari keenam warga Licchavi memberi persembahan kepada Buddha. Buddha kemudian memungkinkan semua yang ada di sana untuk mampu melihat ke batin satu sama lain dan masing-masing melihat batin orang lain baik dan buruk. Semua mengalami keyakinan besar dan memuji Buddha. Tathagata kemudian mengajarkan Dharma yang suci dan banyak yang mencapai pemahaman yang luar biasa. Beberapa mencapai realisasi bodhicita, beberapa Arahat, dan makhluk yang tak terhitung banyaknya mencapai kelahiran kembali sebagai manusia dan dewa.
Hari Ketujuh
Pada hari ketujuh, para warga Sakya memberi persembahan kepada Buddha. Buddha memberkati semua pendengar sehingga mereka pada kehidupan mendatang menjadi Raja Cakravartin (Raja yang mendukung Dharma), masing-masing memiliki tujuh permata ajaib, memerintah negara kecilnya sendiri, dan memiliki banyak menteri yang terhormat. Semua sangat senang dengan ini dan ketika Buddha mulai mengajar mereka, yang memiliki keyakinan besar mendapatkan realisasi bodhicita spontan, banyak yang mencapai Arahat, dan yang lainnya mendapatkan benih kelahiran kembali sebagai manusia atau dewa.
Hari Kedelapan
Pada hari kedelapan, Dewa Indra mengundang Buddha dan menyiapkan takhta singa yang besar. Ketika Tathagata duduk, Indra sendiri memberikan persembahan di sebelah kiri Buddha sementara Dewa Brahma memberikan persembahan di sebelah kanan. Mereka membungkuk di hadapan-Nya sementara orang-orang duduk dengan tenang. Buddha meletakkan tangan kanan di atas takhta singa di bumi dan membuat mudra, lalu terdengar suara terompet gajah.
Lima pelindung Dharma ganas datang mengaum dan takhta enam guru sesat dihancurkan. Setelah itu, Arya Vajrapani datang dengan nyala api menembak dari sudut Vajra-Nya. Keenam guru itu ketakutan, melompat ke air dan menghilang. Menyadari bahwa guru-guru mereka telah meninggalkan mereka, sembilan puluh ribu pengikut guru-guru sesat akhirnya berlindung pada Buddha dan meminta untuk ditahbiskan sepenuhnya. Buddha menyambut mereka dan rambut gimbal serta janggut kusut yang menandakan mereka sebagai murid dari enam guru secara ajaib menghilang.
Buddha mengajar mereka semua sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengerti. Membebaskan diri dari belenggu kemelekatan, kebencian, dan ketidaktahuan, masing-masing mencapai tingkatan Arahat. Kemudian Tathagata memancarkan delapan puluh empat ribu sinar cahaya dari pori-pori tubuh-Nya sehingga cahaya memenuhi seluruh langit. Pada setiap titik sinar keluar teratai yang indah, dan di atas setiap teratai muncul seorang Buddha bersama para murid-Nya. Setiap Buddha mengajarkan ajaran yang sama dengan Tathagata. Semua merasakan suka cita melihat pemandangan ini dan keyakinan mereka meningkat pesat. Kemudian Buddha mengajarkan Dharma suci dan banyak yang membangkitkan Bodhicita, beberapa mencapai tingkat kesucian tertentu, dan banyak sekali yang menghasilkan benih untuk terlahir kembali sebagai manusia atau dewa.
Hari Kesembilan
Pada hari kesembilan, Brahmaraja memberi persembahan kepada Buddha. Tathagata merentangkan tubuh hingga mencapai surga tertinggi Brahma. Dari tubuh ini, cahaya bersinar ke segala arah dan dari ketinggian ini Buddha memberikan pengajaran.
Hari Kesepuluh
Pada hari kesepuluh, Empat Raja Penjuru Besar yang melindungi Dharma mengundang Buddha untuk mengajar. Buddha merentangkan tubuh hingga menyelimuti samsara untuk mencapai istana masing-masing raja. Sinar cahaya mengalir dari Buddha, menunjukkan tulisan ajaran-Nya.
Hari Kesebelas
Pada hari kesebelas penyokong dana besar Anathapindika memberi persembahan kepada Buddha, yang duduk di atas takhta singa dalam meditasi. Meskipun seluruh warga yang hadir tidak dapat melihat wujud Buddha, tubuh-Nya memancarkan cahaya keemasan, sementara dengan suara yang bagus Buddha menjelaskan ajaran-Nya.
Hari Kedua Belas
Pada hari kedua belas, perumah tangga Tseta mengundang Buddha untuk mengajar. Tathagata memasuki meditasi welas asih agung. Cahaya keemasan memancar dari tubuh-Nya dan membentang ke seluruh dunia. Cahaya ini membersihkan tiga racun dari benak setiap orang dan rasa welas asih mereka meningkat. Mereka saling merasakan cinta seperti ayah dan ibu mencintai anak-anak mereka, seperti seorang saudara lelaki yang menyayangi saudara perempuannya.
Hari Ketiga Belas
Pada hari ketiga belas, Raja Shun Tsin memberi persembahan kepada Buddha. Sang Tathagata duduk di singgasana singa dan dua sinar setinggi lima belas meter terpancar dari tubuh Buddha. Di titik setiap sinar cahaya ada bunga lotus dan dari setiap lotus, seorang Buddha muncul. Dari tubuh masing-masing Buddha membentang dua sinar cahaya dan pada masing-masing keluar juga lotus dengan Buddha dan seterusnya hingga memenuhi seluruh alam. Semua Buddha menguraikan ajaran Dharma yang sama.
Hari Keempat Belas
Pada hari keempat belas, Raja Udrayana memberi persembahan kepada Buddha. Dia menaburkan segenggam bunga di depan Buddha. Setiap helai bunga itu berubah menjadi satu gerobak penuh permata. Sebanyak seribu dua ratus lima puluh gerobak yang penuh permata berharga pun muncul di hadapan Buddha. Buddha lalu mengajarkan Dharma kepada makhluk di seluruh dunia bagaikan seorang dokter menyembuhkan orang sakit.
Hari Kelima Belas
Pada hari kelima belas, di hari terakhir perayaan musim semi, Raja Bimbisara membawa hadiah kepada Buddha. Buddha kemudian memberi tahu Raja Bimbisara untuk membawa bejana untuk wadah makanan. Bejana yang dibawa Raja secara ajaib terisi dengan makanan dengan seratus rasa yang berbeda. Ketika hadirin yang hadir memakan makanan tersebut, tubuh dan pikiran mereka benar-benar terpuaskan.
Buddha bertanya kepada mereka, “Mengapa ada kesengsaraan yang tak terukur di samsara?” Dengan perkataan tersebut, delapan belas jenis makhluk menyadari bahwa kesengsaraan mereka disebabkan oleh perbuatan yang telah mereka lakukan sendiri. Mereka merasakan keyakinan besar pada Buddha. Seperti pada hari-hari sebelumnya, mereka yang berkumpul mencapai kemajuan besar pada tingkatan spiritual. Beberapa mendapatkan realisasi Bodhicita spontan, beberapa mencapai tingkat kesucian Arahat, beberapa mencapai tingkat tanpa-kembali, banyak yang memperoleh benih kelahiran kembali sebagai manusia atau dewa, dan banyak yang mendapati kebajikan mereka meningkat drastis.
Sumber:
https://www.rigpawiki.org/index.php?title=Chotrul_D%C3%BCchen
https://buddhaweekly.com/15-miracles-15-days-chotrul-duchen-day-buddhas-gre at-miracles-buddha-reluctant-use-miraculous-powers-displayed-15-miracles-he lp-correct-errors-six-prideful-teachers/
https://fpmt.org/edu-news/ideas-and-advice-for-losar-and-the-fifteen-miracl e-days-of-chotrul-duchen-2020/