Pertama-tama, saya hendak menyapa Anda semua, baik yang hadir dan mendengarkan secara langsung di sini maupun dari tempat-tempat lain di seluruh dunia, di mana pun Anda berada. Saya ucapkan Tashi Delek kepada Anda semua.
Saya senang sekali kita bisa berkumpul bersama di sini. Alasan mengapa kita bisa berkumpul bersama di sini adalah karena kita memiliki tujuan yang sama, dalam artian kita semua berusaha untuk mengembangkan diri dan meningkatkan cara berpikir dalam rangka memberikan manfaat kepada semua makhluk. Tentu saja ini merupakan sesuatu yang sangat positif. Itulah alasan mengapa saya berbahagia terhadap kenyataan bahwa kita semua bisa berkumpul bersama di sini.
Lebih lanjut, karena kita sudah berputar-putar di dalam lingkaran eksistensi, sebenarnya kita semua sudah pernah bertemu sebelumnya. Kita sudah pernah bertemu dalam banyak kesempatan, bukan hanya dalam kehidupan ini saja, tapi dalam berbagai jenis kehidupan sebelumnya juga.
Dalam kehidupan ini saja, kita sudah saling bertemu dalam wujud manusia. Walaupun kita tidak terus-menerus bertemu sepanjang waktu dalam hidup ini, tapi kita bisa bertemu dalam kegiatan dharma seperti ini. Bisa pula dalam acara-acara sosial seperti makan bersama, dan sebagainya. Tapi dalam kesempatan ini, kita berada di sini di mana saya akan mengajarkan dharma dan Anda semua akan mendengarkan. Tentu saja kesempatan seperti ini amat berharga dan sungguh tak ternilai.
Di antara semua yang mendengarkan pada hari ini, beberapa orang, dikarenakan kemampuan yang diperoleh sejak kelahiran lampaunya, mampu mencapai kemajuan dengan cepat, yaitu kemajuan dalam hal mengembangkan pikirannya. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang perkembangannya tidak begitu cepat dibandingkan orang-orang yang pertama, dan ada juga yang mengalami kesulitan untuk meraih kemajuan.
Bagi yang merasa kesulitan untuk mencapai kemajuan, tapi selama Anda bertekad untuk meraih kemajuan tersebut, dan dengan demikian mengarahkan batin Anda pada tujuan tersebut, maka itu saja pun sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.
Ketika kita berbicara tentang meningkatkan pikiran atau batin, maka pada dasarnya ini merujuk pada pengembangan diri kita menjadi orang yang lebih baik hatinya, juga lebih meningkat kemampuannya.
Dari semua jenis pikiran bajik, yang paling unggul di antara semuanya adalah pikiran yang berniat mencapai pencerahan lengkap sempurna, atau Bodhicitta. Karena pikiran ini bertujuan untuk menghentikan penderitaan semua makhluk, tanpa terkecuali. Pikiran ini juga berniat mempersembahkan dan menuntun semua makhluk pada kebahagiaan tertinggi. Dengan tujuan inilah kita bertekad untuk mencapai Kebuddhaan. Pikiran apa lagi yang lebih bajik daripada ini?
Kalau kita sanggup membangkitkan pemikiran seperti itu, maka pada akhirnya kita akan mampu mengakhiri penderitaan kita sendiri, berikut penderitaan semua makhluk. Kita juga mampu meraih kebahagiaan tertinggi untuk diri kita sendiri, berikut kebahagiaan tertinggi untuk semua makhluk.
Ketika Anda mendengarkan penjelasan berikut istilah-istilah yang digunakan, seperti Bodhicitta, batin pencerahan, barangkali ada yang berpikir bahwa ini semata-mata urusan pengikut buddhis saja. Tapi di sini saya jelaskan, bahwa siapa pun yang memiliki batin, dengan kata lain, semua makhluk hidup, bisa memiliki niat untuk mengakhiri penderitaannya sendiri berikut penderitaan semua makhluk lainnya. Siapa pun yang sanggup mengembangkan niat untuk meraih kebahagiaan dirinya sendiri berikut kebahagiaan tertinggi semua makhluk, maka dia dikatakan memiliki wawasan dan cara pandang yang cukup luas. Aspirasi ini tidak terbatas untuk pengikut buddhis saja, namun terbuka bagi siapa saja yang berniat untuk mengembangkannya.
Niat untuk memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk mengatasi penderitaan dan meraih kebahagiaan bisa ditemukan pada hampir seluruh agama-agama besar di dunia, sejauh agama-agama tersebut memiliki cara berpikir yang luas dan terbuka.
Jika misalnya seseorang datang menghampiri dan bertanya, “Maukah Anda menjadi seseorang yang bisa menolong semua makhluk mengakhiri penderitaan mereka dan juga memiliki kapasitas untuk menuntun mereka pada kebahagiaan tertinggi ?” maka terlepas dari agama apa pun yang dianutnya, bisa dipastikan orang ini pasti akan menjawab, “Ya, saya mau.”
Itulah kerangka berpikir yang akan kita pakai dalam sesi pengajaran ini. Itulah tujuan kita bersama di sini. Bagi orang-orang yang berupaya untuk mencapai tujuan tersebut dan mengemban tanggung-jawab seperti itu, penting sekali baginya untuk memiliki motivasi yang bajik dan benar. Kalau Anda tidak mengetahui apa maksudnya, marilah saya coba mengingatkannya secara ringkas.
Kita harus senantiasa ingat bahwa kita semua bukanlah makhluk yang terpisah-pisah. Justru sebaliknya, kita semua merupakan makhluk yang sangat berkaitan erat. Kita sudah terlahir kembali di dalam samsara sejak waktu tak bermula. Jadi, kita sudah berulang kali bertemu dalam hubungan yang sangat dekat dengan semua makhluk. Lebih lanjut, kita juga memiliki keinginan yang sama dengan semua makhluk. Semua makhluk ingin bahagia dan tidak ingin menderita. Inilah aspirasi yang dimiliki oleh semua makhluk. Jadi, inilah yang harus senantiasa kita sadari.
Berikutnya, semua kebaikan yang pernah kita nikmati, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang, itu semua bergantung pada kebaikan makhluk lain. Kita tidak bisa menikmati kebahagiaan begitu saja, karena kebahagiaan bukan sesuatu yang muncul dari kehampaan atau ruang kosong. Kebahagiaan hanya bisa kita nikmati dalam kaitan hubungan kita dengan makhluk lain. Dengan menyadari kebaikan makhluk lain, dan betapa dekat hubungan kita dengan mereka, ditambah dengan aspirasi bersama yang kita miliki, maka sebagai seorang buddhis, kita merasakan keprihatinan kepada semua makhluk. Kita bertekad untuk berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna demi semua makhluk. Inilah cara berpikir atau motivasi yang harus dikembangkan oleh mereka yang merupakan pengikut buddhis.
Bagi Anda yang bukan buddhis, misalnya Anda mengikuti agama lain, atau tidak mengikuti agama apa pun, Anda tetap bisa menyadari kemuliaan terlahir sebagai seorang manusia. Kemuliaan ini tidak seharusnya digunakan untuk mengejar kebahagiaan pribadi, namun Anda juga harus berupaya untuk menolong dan memberikan manfaat kepada orang lain. Anda harus menyadari bahwa efektivitas tindakan Anda dalam membantu orang lain bergantung pada seberapa besar dan kuat Anda bisa mengembangkan diri sendiri. Oleh sebab itu, Anda berada di sini untuk mengembangkan diri dan meningkatkan cara berpikir. Itulah niat yang harus bisa Anda bangkitkan, yaitu menjadi seseorang yang lebih baik dan lebih kuat dalam rangka menolong sebanyak-banyaknya orang lain.
Topik kita pada ajaran hari ini adalah menjawab pertanyaan, “Mungkinkah kita mencapai kebahagiaan tertinggi, yaitu kebahagiaan yang stabil?”
Prinsip buddhis menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban pasti, “Ya! Sangat mungkin.” Kebahagiaan tertinggi yang stabil sangat mungkin untuk dicapai, dan ini bisa dicapai bukan hanya satu atau dua orang saja, tapi semua makhluk memiliki kemungkinan untuk mencapainya.
Akan tetapi, Anda jangan salah memahami pernyataan bahwa kebahagiaan tertinggi yang stabil bisa dicapai oleh semua makhluk. Sebagai contoh, kita bisa mengamati makhluk yang terlahir sebagai binatang. Apabila seorang makhluk terlahir di alam binatang, maka dalam kehidupan seperti itu ia tidak memiliki kesempatan untuk meraih kebahagiaan tertinggi. Paling maksimal yang bisa dicapainya adalah kebahagiaan di alam binatang, tidak lebih daripada itu. Bukan berarti makhluk tersebut selamanya tidak akan pernah bisa mencapai kebahagiaan tertinggi, karena suatu hari nanti pasti akan bisa mencapainya. Cepat atau lambat ia akan mencapai kebahagiaan tertinggi.
Mengapa demikian? Pertama-tama, mari kita lihat apa yang dimaksud dengan makhluk hidup. Makhluk hidup adalah segala eksistensi bernyawa atau hidup, yang memiliki tubuh dan batin. Walaupun makhluk yang terlahir di alam tak berbentuk tidak memiliki jasmani yang kasar, namun tetap saja mereka memiliki jasmani yang halus. Jadi, makhluk hidup mencakup semua eksistensi yang bernyawa atau hidup, yang memiliki jasmani dan batin.
Antara jasmani dan batin, tentu saja batin jauh lebih penting. Kita semua menyadari bahwa kita memiliki batin, tapi sejauh menyangkut pertanyaan di mana, bagaimana, terdiri dari apa saja batin kita, itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri sendiri secara lebih lanjut.
Kita semua tahu bahwa batin adalah sesuatu yang tak tampak dan bukan sesuatu yang bisa dihubungi. Batin juga tidak memiliki bentuk, warna, ukuran, dan seterusnya. Sifat-sifat batin ini adalah sesuatu yang kita ketahui.
Buddhis mendefinisikan batin sebagai sesuatu yang jernih dan mengetahui. Artinya batin memiliki kemampuan untuk mengambil objek yang dicerapnya. Batin bisa mencerap dan mengetahui objeknya. Itulah sifat dasar batin. Tapi, di manakah batin berada? Di mana kah batin bisa ditemukan? Ini adalah pertanyaan yang harus kita pikirkan.
Bagaimana sebuah batin bisa eksis? Ia tidak bisa eksis dengan sendirinya. Batin membutuhkan dasar fisik sebagai tempat pertumpuannya, di mana dasar fisik ini yang kemudian menjadi asosiasinya untuk eksis dan berfungsi. Batin baru bisa berfungsi kalau berkaitan atau bergantung pada basis fisiknya. Batin bergantung pada basis fisiknya agar bisa eksis/ berfungsi.
Basis fisik mencakup badan jasmani yang kasar. Tapi, lebih spesifiknya lagi, batin bergantung pada apa yang kita sebut energi atau angin, yang beredar di sekujur tubuh kita dalam saluran-saluran yang berbeda. Jadi, batin bergantung/ berfungsi utamanya pada dasar energi atau angin ini. Energi atau angin ini pada gilirannya bergantung pada saluran-saluran yang beredar di dalam tubuh. Saluran-saluran ini tidak bisa berfungsi di ruang kosong. Ia pun bergantung pada jasmani.
Jadi, walaupun fungsi batin bergantung pada energi atau angin, namun energi atau angin ini bergantung pada saluran-saluran. Saluran-saluran ini bergantung pada tubuh jasmani. Demikianlah cara kerjanya sehingga batin juga bergantung pada jasmani kasar.
Kita tahu bahwa kadang-kadang bisa terjadi pada bagian tubuh tertentu, di mana energi atau angin tidak beredar pada salurannya di bagian tersebut. Akibatnya, bagian tubuh tersebut menjadi tidak peka, tidak hidup, dan kita kurang bisa merasakannya.
Batin seorang manusia bergantung pada energi dan saluran-saluran seorang manusia, maka batin ini disebut seorang manusia. Apabila sebuah batin bergantung pada energi dan saluran-saluran seekor binatang, maka batin ini disebut seekor binatang.
Pada semua tingkatan kehidupan, fungsi batin adalah yang mengetahui atau mempersepsikan. Sifat batin ada dua, yakni kesadaran dan kejelasan/ kejernihan. Kejelasan merujuk pada aspek non-material dari batin, yakni menunjukkan bahwa batin adalah fenomena non-materi, bukan fisik. Sedangkan aspek kesadaran pada batin merujuk pada kemampuannya untuk mencerap, yakni kemampuan batin untuk mencerap aspek-aspek objeknya.
Itulah deskripsi modus eksistensi konvensional dari batin. Selain itu, batin juga memiliki modus eksistensi tertinggi. Apa itu? Kenyataan bahwa batin tidak bisa muncul dengan sendirinya, ia bergantung pada fenomena lain, antara lain sebab dan kondisi. Jadi, batin tidak bisa berdiri sendiri. Ia tidak bisa dihasilkan oleh dirinya sendiri. Itulah modus eksistensi tertinggi pada batin, yakni tidak bisa dihasilkan oleh dan dari dirinya sendiri.
Karena batin secara modus tertingginya tidak bisa berdiri sendiri dan tidak dihasilkan oleh dirinya sendiri, maka batin hanya bisa eksis dengan bergantung pada sebab dan kondisi. Inilah yang menuntun kita pada modus konvensional dari batin tersebut, yakni sifat jelas/ jernih dan mengetahui. Modus tertinggi dari batin mengharuskannya bergantung pada modus konvensionalnya.
Jadi, modus eksistensi tertinggi dari batin adalah tidak dihasilkan oleh dirinya sendiri dan tidak bisa eksis secara inheren (inheren = esensial, intrinsik, melekat, menyatu). Dasar dari modus konvensional batin adalah jernih dan mengetahui. Sedangkan, menyangkut apakah batin itu terhalangi atau tidak, pada kondisi kita sekarang ini, dikatakan bahwa batin konvensional kita berada pada kondisi terhalangi.
Batin itu sendiri pada modus tertingginya bersifat tidak terhalangi. Pada modus tertingginya ia bukanlah sesuatu yang dihasilkan oleh dan dari dirinya sendiri. Sedangkan, pada level konvensional, batin adalah sesuatu yang eksis dengan bergantung pada sebab dan kondisi. Jadi, walaupun pada modus eksistensi tertinggi batin tidak terhalangi, namun pada modus konvensionalnya sekarang, batin kita terhalangi.
Kita harus melihat lebih dekat pada kenyataan bagaimana batin kita pada level konvensionalnya sekarang dikatakan sebagai batin yang terhalangi. Bagaimana batin kita bisa terhalangi? Untuk menjawabnya, kita perlu berbicara mengenai persepsi. Di dalam persepsi, kita berbicara mengenai batin utama atau kesadaran. Esensi batin utama adalah bersifat netral. Batin utama ini ditemani oleh setidak-tidaknya 5 faktor mental yang senantiasa hadir. Demikianlah kita bisa memahami mengapa batin kita dikatakan sebagai batin yang terhalangi.
Jadi, walaupun batin utama pada dasarnya bersifat netral, namun ia ditemani oleh faktor-faktor lain yang tidak netral. Faktor tidak netral ini utamanya adalah kebodohan batin yang mencengkram adanya eksistensi yang berdiri sendiri, sehingga batin utama yang ditemaninya menjadi bersifat melekat, bisa marah, terganggu, dan sebagainya. Ketika faktor mental ini muncul, maka ia akan mewarnai batin utama. Munculnya faktor mental ini akan serta-merta memengaruhi batin utama berikut keseluruhan 5 faktor mental yang senantiasa menemaninya. Keseluruhan batin dan faktor mental yang senantiasa hadir menjadi tercemar dan kehilangan sifat netralnya.
Kapan pun salah satu kilesa muncul di dalam batin, maka ia akan memengaruhi batin utama berikut keseluruhan faktor mentalnya. Mereka semua akan dicemari oleh kilesa tersebut. Sama halnya, bila yang muncul bukan kilesa tapi faktor mental bajik, misalnya keyakinan, maka batin utama berikut keseluruhan faktor-faktor mental lainnya akan dipengaruhi oleh faktor mental yang sifatnya bajik tersebut. Jadi, proses yang sama berlaku untuk faktor mental positif. Ketika ia muncul, keseluruhan aspek batin akan bersifat positif. Di bawah pengaruh ‘teman baik’ ini, yakni faktor mental bajik, maka keseluruhan batin akan diwarnai oleh sifat yang bajik.
Faktor-faktor mental positif seperti keyakinan, berikut bermacam-macam kilesa, itu semua bersifat sementara. Artinya, mereka bisa muncul untuk waktu tertentu, namun setelahnya akan hilang. Mereka tidak hadir terus-menerus setiap saat. Karena sifatnya yang sementara dan muncul secara berkala, maka mereka tidak mesti selalu ada di dalam batin kita. Ini berarti kita bisa mengenyahkan kilesa untuk selama-lamanya, agar ia tidak pernah muncul lagi di dalam batin. Kita bisa mendepaknya keluar, karena ia bukanlah bagian intrinsik atau melekat pada batin, sehingga bisa dibuang.
Sehubungan dengan berbagai jenis faktor yang memicu timbulnya faktor-faktor mental, bagaimana itu bisa terjadi? Faktor mental itu muncul ketika sebab-sebab dan kondisi-kondisi tertentu sudah bertemu. Sebab dan kondisi yang positif akan memicu timbulnya faktor mental yang bajik. Sebab dan kondisi yang negatif akan memicu timbulnya kilesa dalam batin kita.
Dengan demikian, kita bisa berupaya dan bekerja untuk memastikan munculnya kondisi-kondisi yang menguntungkan, seperti keyakinan, dan sebagainya. Kita juga bisa berupaya agar sebab dan kondisi yang bisa menimbulkan kilesa tidak saling bertemu antara satu sama lainnya. Dengan kata lain, kita bisa mencegah bergabungnya sebab dan kondisi yang bisa memicu timbulnya kilesa. Dengan demikian, seiring dengan meningkatnya kebajikan di dalam batin serta berkurangnya faktor-faktor negatif, maka pada akhirnya kita bisa mencapai tingkat batin yang senantiasa berada dalam kondisi bajik.
Seiring dengan kita senantiasa mencegah faktor-faktor dan kondisi yang menimbulkan kilesa di dalam batin, maka kita akan sampai pada titik di mana semua kilesa sudah dihentikan. Dan pada saat penghentian total itu, kilesa tidak akan bisa muncul lagi di dalam batin kita. Tentu saja upaya menghentikan kilesa ini memerlukan proses secara bertahap. Namun, yakinlah bahwa kita bisa melakukannya karena sifat kilesa itu sendiri yang merupakan faktor yang sifatnya sementara di dalam batin kita. Kilesa bukanlah bagian yang melekat atau menyatu pada batin kita. Jadi, memang ada kemungkinan dan peluang bagi kita untuk mengenyahkannya dan dengan demikian meraih kebahagiaan tertinggi.
Di satu sisi, segala halangan batin kita bersifat sementara, tidak konstan, bukan bagian yang intrinsik atau menyatu pada batin kita, sehingga mereka bisa diatasi. Ketika kita mengatakan, sebagai contoh, kebodohan batin yang mencerap diri atau aku sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan benar-benar eksis secara inheren, bisa dibuang dan diatasi. Karena modus eksistensi batin tersebut tidak sejalan dengan bagaimana cara eksistensi batin yang sesungguhnya. Bahwasanya, batin tidak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri.
Oleh sebab itu, cengkraman yang menganggap diri atau aku sebagai eksistensi yang berdiri sendiri itu tidak akurat, keliru, dan bisa diatasi. Jika memang batin yang mencerap sifat berdiri sendiri itu adalah persepsi yang sebenarnya, maka tidak ada alasan mengapa kita harus membuang dan mengatasinya. Jadi, modus eksistensi yang mencerap adanya eksistensi yang berdiri sendiri tidak sejalan dengan modus eksistensi batin yang sebenarnya.
Salah satu dari banyak alasan mengapa kita menyatakan bahwa batin bukanlah eksistensi yang berdiri sendiri karena batin bergantung pada fenomena lain. Batin bergantung pada fenomena lain agar bisa eksis atau menunjukkan eksistensinya.
[ istirahat sejenak ]
Begitu kita sudah bisa memahami bahwa halangan batin bukan merupakan aspek yang inheren atau menyatu pada batin, bukan sesuatu yang intrinsik atau melekat padanya, maka ketika itu kita benar-benar bisa menyadari adanya peluang atau kesempatan untuk membebaskan diri dari halangan-halangan tersebut. Secara bertahap kita akan mampu mengatasi dan mengenyahkan halangan-halangan tersebut untuk selama-lamanya.
Dengan demikian, kita memiliki peluang untuk meraih tingkat batin yang sempurna. Ketika itu, semua kesalahan kita sudah disingkirkan dan semua kualitas positif kita sudah dikembangkan hingga pada tingkat yang paling sempurna. Ketika itu pulalah, kita sudah meraih kebahagiaan yang murni, yakni kebahagiaan yang tertinggi.
Jika sebaliknya, apabila batin memang eksis dan berdiri sendiri, tanpa bergantung sedikit pun pada sebab dan kondisi, maka persepsi yang mencerap adanya batin yang berdiri sendiri ini adalah persepsi yang benar, sehingga tidak bisa dibuang.
Kita bisa memahami mengapa batin tidak bisa berdiri sendiri dan dihasilkan oleh dirinya sendiri, yaitu semata-mata dikarenakan batin bergantung pada sebab dan kondisi. Karena adanya sebab dan kondisi, maka batin bisa eksis. Kalau tidak ada, maka batin juga tidak bisa eksis. Jika sebab-sebab yang dibutuhkan untuk menghasilkan batin tidak bertemu, maka batin juga tidak bisa dihasilkan atau tidak bisa muncul.
Contoh, persepsi hanya bisa muncul kalau beragam sebab dan kondisinya sudah bertemu. Antara lain munculnya suatu objek yang dicerap dan kondisi yang langsung mengiringi munculnya objek tersebut sehingga bisa dicerap, barulah batin bisa muncul. Bagi Anda yang sudah mempelajari tentang Batin dan Persepsi, barangkali akan lebih bisa memahami penjelasan ini. Sebagai contoh, tanpa adanya objek, maka persepsi yang mencerap objek tidak akan bisa eksis. Jadi, jelas sudah bahwa persepsi bergantung pada objek yang dipersepsikannya. Persepsi tidak bisa berdiri sendiri, tanpa bergantung pada hal lain apa pun, karena persepsi itu bisa muncul kalau ada objek yang dicerapnya.
Dengan demikian kita bisa memahami dan menyadari adanya peluang dan kesempatan untuk meraih tingkat kebahagiaan yang konstan, yang sudah tidak bisa merosot lagi. Tingkat kebahagiaan yang bisa diraih seseorang berbeda-beda, yaitu:
Penting sekali bagi kita semua di sini untuk yakin dan percaya bahwa semua makhluk, bukan hanya manusia, bukan hanya diri kita sendiri, yang memiliki peluang dan kemampuan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Inilah adalah sesuatu yang harus kita ingat dan sadari.
Alasan mengapa semua makhluk bisa dan mampu untuk mencapai kebahagiaan tertinggi sudah dipaparkan sebelumnya. Yaitu, apa yang menghalangi kebahagiaan kita sekarang adalah sesuatu yang sifatnya sementara, muncul secara berkala, tidak hadir terus-menerus di dalam batin kita.
Pada akhirnya, kita harus bisa sampai pada kesimpulan bahwa halangan tersebut bisa dienyahkan, karena sifat dasar dari halangan tersebut yang memang hanya sementara, bukan bagian yang inheren atau menyatu dengan batin.
Sehubungan dengan kemungkinan dan peluang untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, apakah itu bisa dicapai semua makhluk berdasarkan bentuk kehidupan yang sudah mereka dapatkan sekarang ini, apa pun itu bentuknya? Tidak mesti demikian. Karena bagi makhluk yang saat ini terlahir di tiga alam rendah, mereka tidak memiliki kebebasan untuk menciptakan sebab-sebab kebahagiaan sejati. Bagi makhluk yang saat ini terlahir di alam tinggi, baik alam tinggi berbentuk maupun tak berbentuk, mereka lebih mungkin dan lebih mudah untuk menciptakan sebab-sebabnya.
Bagi makhluk yang saat ini menderita di alam rendah, mereka tidak memiliki kebebasan untuk berupaya menciptakan sebab-sebab kebahagiaan tertinggi. Jadi, bagi makhluk-makhluk ini, mereka dikatakan ‘tidak bebas’, yaitu salah satunya ia tidak berada dalam kondisi bebas untuk mengatasi halangan-halangan batinnya.
Dalam rangka mengatasi halangan-halangan batin, seorang makhluk perlu menerapkan metode-metode untuk mengatasi halangan batin. Tapi, makhluk-makhluk di alam rendah dikatakan “tidak bebas”, yang artinya tidak bebas untuk menerapkan metode untuk mengatasi halangan-halangan batin.
Ketidak-mampuan untuk menerapkan metode untuk mengatasi halangan-halangan batin bermacam-macam. Ada orang yang tidak memiliki kapasitas atau kemampuan mental. Ada yang memiliki penghalang yang kuat untuk berpikir jernih. Orang seperti ini barangkali memiliki kapasitas mental untuk memahami sesuatu, tapi mereka memiliki penghalang yang kuat. Ada juga yang memiliki kondisi-kondisi bertentangan yang menghalangi perenungan sehingga mustahil bagi mereka untuk menerapkan metode-metode yang, apabila berlaku situasi sebaliknya, maka mereka bisa menggunakannya untuk menerapkan instruksi.
Di antara manusia yang sudah memperoleh kehidupan yang bebas dan beruntung sehingga mereka memiliki kapasitas untuk menerapkan metode untuk mengatasi halangan-halangan, apakah itu berarti mereka serta-merta sudah melakukannya? Tidak mesti demikian. Setiap orang yang hadir di ruangan ini saat ini memiliki kesempatan untuk menerapkan metode, tapi apakah Anda semua sudah menjalankan metode tersebut? Belum tentu! Terserah kepada masing-masing individu untuk menentukan apakah dirinya sudah menjalankan atau belum.
Jika ada orang di sini yang belum melaksanakannya, barangkali ia tidak memiliki kondisi-kondisi yang mendukung bagi dirinya, atau sebaliknya, ia memiliki sejumlah besar penghalang bagi dirinya untuk menerapkan metode. Bayangkan ada seorang pengikut buddhis. Ia sudah mempelajari metode untuk mengatasi halangan dan ia berniat untuk menjalankan metode tersebut. Tapi kemudian ia berpikir, “Pertama-tama, saya harus melakukan ini terlebih dahulu. Kemudian saya akan merampungkan proyek itu. Berikutnya, saya harus menyelesaikan pekerjaan ini. Barulah saya akan benar-benar menjalankan metode.” Kalau demikian halnya, orang ini akan keburu mati sebelum memperoleh kesempatan untuk menerapkan metode tersebut. Ketika sudah berpindah pada bentuk kehidupan lain, belum tentu ia masih memiliki kebebasan dan keberuntungan sebagaimana yang masih dinikmatinya sekarang.
Dalam situasi dan kondisi yang negatif, ketika kita tidak memiliki kondisi-kondisi positif yang mendukung praktek dharma, maka kita harus berupaya untuk mengurangi faktor-faktor negatif tersebut dan berusaha mengumpulkan kondisi-kondisi positif.
Sehubungan dengan jenis-jenis kebahagiaan yang dikehendaki semua makhluk, sebagaimana sudah dijelaskan, ada 4 jenis kebahagiaan, yakni:
Di antara orang-orang yang mendengarkan ajaran saat ini, barangkali ada yang bisa mencapai keempat jenis kebahagiaan tersebut sekaligus pada kehidupan saat ini juga. Yang lain barangkali tiga dari empat jenis tersebut. Yang lainnya lagi barangkali dua. Sedangkan bagi mereka yang mampu mencapai jenis yang pertama, pencapaian ini tidak tergolong pencapaian yang berarti dan berharga. Seandainya seseorang hanya sanggup mencapai kebahagiaan jenis pertama, ia bukanlah seorang praktisi dharma. Walaupun tentu saja kebahagiaan jenis pertama tetap bisa dicapai.
Kebahagiaan tingkat kedua adalah kebahagiaan samsarik. Kebahagiaan ini juga bisa dicapai dan menjadi tujuan seorang makhluk, yakni kebahagiaan terlahir di alam-alam tinggi di dalam samsara. Namun, kita harus mengesampingkan kebahagiaan tingkat kedua ini. Orang yang mengejar kebahagiaan ini juga bukan termasuk praktisi dharma.
Kelahiran di alam bahagia di dalam samsara bukan merupakan kebahagiaan yang sejati. Kadang-kadang kita bisa mendapatkan kelahiran di alam yang baik, tapi berikutnya kita mungkin terlahir di alam menyedihkan. Ketika terlahir di alam yang baik, barangkali kita bisa merasakan kebahagiaan hingga tingkat tertentu, tapi secara keseluruhan kebahagiaan samsarik adalah kebahagiaan yang tidak stabil dan tidak bisa diandalkan.
Bagi Anda yang sudah terbiasa mendengarkan penjelasan ini sebelumnya, tentu ini semua terang-benderang dan jelas adanya. Namun, bagi Anda yang baru pertama kali mendengarkan penjelasan ini, barangkali Anda bertanya-tanya apa yang sedang dibicarakan. Kelahiran kembali di alam yang tinggi dan bahagia masih tergolong kelahiran di dalam samsara. Misalnya kelahiran kembali sebagai manusia sehingga ia bisa menikmati kebahagiaan di alam manusia.
Kebahagiaan pada kelahiran berikutnya adalah sesuatu yang bisa diraih berdasarkan basis kehidupan saaat ini. Namun, kebahagiaan tersebut singkat sekali. Pada kehidupan ini saja pun kita bisa memahami betapa singkat hidup ini dan tidak ada jaminan apa yang akan terjadi setelahnya. Kita bisa saja terlahir kembali dalam bentuk yang sama sekali berbeda. Jadi, benar-benar tidak ada jaminan!
Kebahagiaan samsara secara keseluruhan merupakan kebahagiaan yang tidak bisa diandalkan dan tidak stabil. Di sisi lain, ada peluang untuk sepenuhnya bebas dari lingkaran keberadaan ini. Pembebasan dari samsara adalah kondisi yang secara radikal berbeda dari kondisi sebelumnya. Seorang makhluk yang sudah bebas dari samsara, ia sudah tidak lagi terpengaruh oleh kilesa sehingga ia tidak terpaksa lagi untuk terlahir kembali di dalam samsara akibat kilesa dan karmanya. Kebahagiaan yang dinikmatinya adalah kebahagiaan yang stabil dan tidak berubah serta tidak merosot lagi.
Sebagai contoh, sekarang ini kita memiliki bermacam-macam kilesa, seperti kemarahan, dan seterusnya. Kilesa ini muncul tanpa adanya pilihan bagi kita, artinya kita tidak bebas. Kilesa muncul bertentangan dengan kehendak kita. Akibatnya, kita terombang-ambing dan didesak oleh kilesa, yang pada akhirnya mengakibatkan ketidak-bahagiaan berikut penderitaan. Begitu kita sudah bebas dari samsara, maka semua kilesa kita juga sudah berhenti. Alhasil, kita akan menikmati kebahagiaan yang stabil dan konstan.
Bayangkan saja kalau misalnya dalam kehidupan ini saja pun, kita bisa mengurangi kilesa sedemikian rupa, maka kesulitan-kesulitan dalam hidup kita juga akan berkurang dengan signifikan. Jadi, walaupun belum dienyahkan sepenuhnya, hanya dikurangi saja pun, itu sudah memberikan manfaat besar yang bisa kita nikmati.
Jika Anda sudah memiliki peluang seperti itu, namun masih belum dilaksanakan dengan penuh upaya, itu bisa dikarenakan beragam alasan yang sudah disebutkan sebelumnya. Karena sering kali terjadi ketika kita bertekad untuk mempraktekkan dharma dan benar-benar berupaya, ada saja yang muncul yang perlu dikerjakan terlebih dahulu. Selalu ada rencana yang harus dilakukan. Akibatnya kita selalu menunda-nunda apa seharusnya sudah kita lakukan.
Kita berpikir barangkali kalau sudah pensiun maka kita akan benar-benar melakukan praktek spiritual. Kalau pikiran-pikiran seperti itu yang muncul di dalam batin Anda, maka kemungkinan besar Anda tertarik pada kehidupan saat ini. Artinya, Anda benar-benar tergerak dan terdorong pada kehidupan saat ini. Dengan kata lain, Anda mengalami apa yang disebut “kemelekatan pada kehidupan saat ini.”
Jika segala aktivitas yang Anda lakukan adalah aktivitas yang mendahulukan kehidupan saat ini, artinya menganggapnya lebih penting, maka alasan di balik itu tidak begitu rumit. Alasannya sederhana, yaitu dikarenakan kita melekat pada aktivitas-aktivitas kehidupan saat ini.
Kalau demikian halnya, apakah itu berarti kita harus berhenti melakukan semua aktivitas normal yang kita lakukan selama ini? Tidak! Seperti yang sudah sering saya jelaskan, yang perlu dihentikan adalah kemelekatan pada kehidupan saat ini. Karena kemelekatan tidak memberikan manfaat apa pun dan tidak berguna sama sekali. Penting sekali bagi kita semua untuk memahami hal ini. Mari kita ambil sedikit waktu untuk merenungkannya.
[perenungan 3 menit]
Di sisi lain, seandainya kita bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bagi orang-orang yang kita cintai, seperti anak-anak kita, orang tua kita, dan sebagainya, barangkali itu tidak termasuk mengejar kebahagiaan pada kehidupan saat ini. Tapi tentu saja itu bergantung pada motivasi kita, yaitu kita harus memiliki motivasi yang benar-benar altruistik. Kita benar-benar bertujuan mencapai kebahagiaan orang-orang yang kita cintai, anak-anak, orang-tua, secara altruistik, semata-mata demi kebahagiaan mereka. Aspirasi inilah yang mendasari keinginan ini bukan termasuk kemelekatan pada kehidupan saat ini.
Tapi yang terjadi biasanya adalah, dan ini sering kali terjadi, adalah motivasi kita tercampur dengan keinginan atas kebahagiaan diri sendiri. Anda mengejar kebahagiaan anak-anak Anda karena itu adalah anak-anak Anda. Anda berupaya meraih kebahagian bagi orang tua Anda karena mereka adalah orang tua Anda. Jadi, kita bisa melihat adanya kepentingan pribadi yang terlibat di sini. Keinginan kita bukan aspirasi yang murni. Keinginan itu bercampur baur dengan sifat mementingkan diri sendiri.
Kalau kita sudah memahami kerugian-kerugian mengejar kebahagiaan pada kehidupan saat ini saja, artinya beraspirasi semata-mata pada kebahagiaan saat ini saja, dan ketika mati kita akan berangkat dengan tangan kosong, tidak punya persiapan, maka kita akan semakin memahami kerugian serta kesia-siaan aspirasi seperti ini. Kalau kita mengarahkan tujuan kita pada kehidupan berikutnya yang lebih baik, apakah sebagai manusia atau pun bentuk-bentuk kehidupan lainnya, itu adalah sesuatu yang mungkin kita raih.
Tapi sesungguhnya, aspirasi mencapai kebahagiaan pada kehidupan berikutnya di dalam samsara juga memiliki kekurangan. Kekurangan utamanya adalah menghalangi timbulnya aspirasi untuk mencapai pembebasan. Kalau demikian, berarti kita memiliki apa yang disebut “kemelekatan pada samsara secara umum/ keseluruhan.” Aspirasi mencapai pembebasan dan kemelekatan pada samsara adalah dua hal yang tidak sejalan.
Selama tidak ada aspirasi untuk bebas dari samsara sepenuhnya, maka selama itu pula lah kita belum bisa mencapai pembebasan tersebut. Begitu kita sudah memahami ketidak-mampuan untuk diandalkan yang menjadi sifat dari kebahagiaan samsara, maka aspirasi kita terhadapnya juga akan lenyap. Sebaliknya, kita akan beraspirasi untuk mencapai pembebasan dari samsara secara keseluruhan, yang merupakan aspirasi yang lebih tinggi.
Walau demikian, aspirasi mencapai pembebasan dari samsara masih mengandung penghalang. Yaitu, halangan bagi seorang makhluk untuk mengembangkan sikap altruistik mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna. Kalau seseorang hanya beraspirasi pada pembebasan samsara dirinya saja, maka itu tidak sejalan dengan tekad untuk mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk.
Kita harus mengenyahkan sikap mengejar pembebasan pribadi dari samsara. Sebaliknya, utamanya kita harus memikirkan makhluk lain. Kita berniat untuk mencapai kebahagiaan mereka dan menuntun mereka semua pada kebahagiaan. Untuk tujuan inilah, kita beraspirasi untuk mencapai Kebuddhaan, yang merupakan aspirasi tertinggi. Dengan aspirasi ini, aktivitas apa pun yang dilakukan akan benar-benar berfungsi sebagai sebab untuk mencapai Kebuddhaan. Dan pada akhirnya, sebab-sebab inilah yang memungkinkan kita untuk benar-benar mencapai Kebuddhaan.
Jadi, kita bisa menyimpulkan adanya 3 jenis penghalang. Pertama, halangan berupa niat untuk mengejar kebahagiaan pada kehidupan saat ini saja. Kedua, halangan berupa niat untuk mengejar kebahagiaan samsarik. Ketiga, halangan berupa niat untuk mengejar pembebasan pribadi dari samsara. Inilah ketiga jenis penghalang yang merintangi aspirasi untuk mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna.
Ada berbagai metode yang bisa diterapkan untuk mengatasi berbagai jenis penghalang tersebut. Saya sudah menjelaskannya di sini tahun lalu. Kita juga sudah menyimpulkan hasil ajaran tahun lalu dengan sangat baik. Di sini saya hendak mengingatkan kembali apa yang sudah kita simpulkan tahun lalu.
Penawar untuk halangan berupa kemelekatan pada kehidupan saat ini adalah perenungan kemuliaan terlahir sebagai manusia yang bebas dan beruntung; serta perenungan kematian dan ketidak-kekalan. Salah satu faktor yang harus diatasi dalam rangka menaklukkan kemelekatan pada kehidupan saat ini adalah kurangnya keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk mencapai kemajuan dalam perjalanan spiritual seseorang.
Dengan memeditasikan kebebasan dan keberuntungan terlahir sebagai manusia, seseorang akan lebih memahami kondisi hidupnya yang sudah diberkahi dengan kebebasan dan keberuntungan. Karena sesungguhnya, perasaan tidak mampu sebenarnya merupakan suatu bentuk kemalasan, yakni kemalasan dalam bentuk rasa putus asa. Kalau seseorang merenungkan kualitas-kualitas yang terkandung dalam kehidupannya sekarang, yaitu kebebasan dan keberuntungannya, maka ia akan sampai pada kesimpulan bahwa dirinya memiliki kapasitas dan kemampuan, sehingga tidak perlu merasa tidak mampu. Perenungan inilah yang mengatasi kemalasan dalam bentuk keputus-asaan dan rasa tidak mampu.
Kita sering kali membenarkan perasaan tidak mampu yang sebenarnya merupakan bentuk kemalasan, yaitu kemalasan berupa keputus-asaan. Misalnya dengan berkata, “Tidak, tidak, saya benar-benar tidak bisa berbuat banyak.” “Saya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik.” “Saya kurang banyak belajar.” “Saya belum banyak belajar,” dan seterusnya. Berikutnya, kita beralasan terlalu sibuk, terlalu banyak pekerjaan, tidak ada waktu untuk praktek, terlalu tua, dan sebagainya.
Jadi, di satu sisi kita sebenarnya malas, di sisi lain kita juga membenarkan sifat malas tersebut. Contohnya dengan beralasan sudah terlalu tua sehingga tidak bisa meraih pencapaian apa pun. Tentu saja ini adalah argumen yang keliru. Walaupun mungkin Anda sudah tidak muda lagi, tetap saja Anda bisa memiliki kapasitas dan Anda bisa memanfaatkan kapasitas tersebut. Semua orang bisa melakukan sesuatu, seberapa besar atau kecilnya kapasitas yang dimiliki.
Seekor gajah bisa mengangkut beban yang berat. Seekor kuda bisa mengangkut beban seekor kuda, walaupun lebih kecil daripada yang bisa diangkut oleh gajah. Seekor domba bisa mengangkut beban seekor domba. Seekor tikus bisa mengangkut beban sesuai kapasitas seekor tikus. Bahkan, seekor semut kecil sekali pun, bisa mengangkut beban seekor semut.
Kita semua bisa melakukan sesuatu, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sebagai contoh, hanya beberapa menit batin kita yang dipenuhi oleh pikiran-pikiran bajik, itu saja pun sudah sangat penting dan berharga.
Apabila ada argumen atau alasan-alasan yang hendak membenarkan sifat malas berupa kemalasan dalam bentuk keputus-asaan, dengan mengatakan terlalu banyak pekerjaan atau aktivitas, maka ini adalah alasan yang perlu kita cermati lebih dekat. Alasan ini bisa dipatahkan pertama-tama dengan trik mentransformasikan semua aktivitas yang dilakukan menjadi aktivitas yang bajik. Untuk melakukannya, ini semua tergantung pada motivasi ketika melakukan aktivitas tersebut.
Kadang-kadang ketika sibuk dan tenggelam dalam pekerjaan, kita lupa akan motivasi kita, sehingga kita sepenuhnya terlibat dalam pekerjaan itu semata-mata. Namun, batin kita memiliki kemampuan untuk men-transformasikan pekerjaan menjadi aktivitas yang bajik. Yakni, dengan memastikan bahwa kita melakukan pekerjaan dengan motivasi yang benar. Kalau tidak, maka pekerjaan profesional apa pun yang kita lakukan bisa jadi hanya berupa alasan untuk bentuk kemalasan lainnya, yaitu kemalasan karena terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang keliru.
Untuk mengembangkan motivasi yang bajik, seseorang mungkin akan kesulitan kalau dia tidak memiliki kebiasaan untuk itu. Tapi seiring dengan kita berlatih dan membiasakan diri untuk membangkitkan pikiran-pikiran bajik yang kuat, dan latihan ini dijalani terus-menerus secara berulang-ulang, maka kualitasi motivasi kita tentu akan meningkat. Dengan demikian, kita akan mampu membangkitkan motivasi yang kuat. Dengan motivasi yang kuat ini, pada gilirannya kita akan mampu mengubah semua kegiatan menjadi aktivitas yang bajik.
Jadi, perenungan pada kemuliaan terlahir sebagai manusia yang diberkahi dengan kebebasan dan keberuntungan akan menghasilkan kesimpulan bahwa kita memiliki kapasitas yang besar. Kesimpulan ini pada gilirannya akan mengatasi kemalasan dalam bentuk rasa putus asa atau rasa tidak mampu.
Berikutnya, perenungan pada kematian dan ketidak-kekalan merupakan penawar bagi sikap menunda-nunda praktek spiritual. Seringkali kita menunda-nunda praktek spiritual di kemudian hari, misalnya dengan mengatakan besok, kemudian besoknya lagi, dan besoknya lagi, demikian seterusnya.
Sampai di sini untuk sesi ini. Kita lanjutkan 3 jam dari sekarang.