Kiamat akan terjadi suatu hari, tetapi tak ada yang tahu kapan waktunya. Buddhisme tak menyebut tahun 2012, tak ada prediksi atau apa pun. Begitu diungkapkan Dagpo Rinpoche (80), Guru Buddhisme Tibet yang sangat dihormati.
“Dunia akan menjadi lebih baik tahun 2012 kalau kemarahan dan keserakahan berkurang,†ujarnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
Ditemui di sebuah rumah di bilangan selatan Jakarta, suatu pagi pekan lalu, Lobsang Jampel Jhampa Gyatso—nama lengkapnya—didampingi Rosemary Patton, penerjemah sekaligus muridnya sejak tahun 1980-an.
Ia menerima kami dengan hangat dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia menjawab pertanyaan kami dalam bahasa Tibet, dengan sesekali menambahkan terjemahan Rosemary dalam bahasa Inggris dan Perancis.
Rinpoche, dalam bahasa Tibet artinya ‘Yang Mulia’, ditambahkan di belakang nama seorang guru dalam tradisi Buddha yang mengalami pencapaian luar biasa.
“Masalah terbesar saat ini adalah keserakahan. Banyak orang mengumbar keinginan, terlalu egoistis, hanya memikirkan diri sendiri, kelompok sendiri, bangsa sendiri,†ujarnya.
Keserakahan menyebabkan perebutan kekuasaan dan upaya mempertahankannya dengan cara apa pun. Padahal, satu-satunya jalan bagi mereka yang berada di puncak adalah turun. Kekuasaan tidak abadi. Meski begitu, tak mudah memberikan pemahaman itu kepada mereka yang berkuasa, kecuali mereka mengalami persoalan besar dan mulai berpikir apa yang terjadi.
Ia mengingatkan, “Keserakahan membuat orang tidak bahagia karena tak ada yang benar-benar bisa memuaskan. Selalu mau lebih dan lebih tak pernah ada batasnya. Anda akan terus khawatir dan menderita.â€
Keserakahan bersama kemarahan dan kebodohan batin adalah racun mental, penyebab berbagai persoalan besar di dunia, seperti perang dan ketidakadilan.
Sumber kebahagiaan
Menurut Dagpo Rinpoche, setiap orang menginginkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan, tetapi tak tahu caranya. “Banyak yang mengira, dengan menumpuk kekayaan dan menguasai yang lain, mereka bisa bahagia. Sebenarnya itu adalah kualitas buruk dalam diri dan hasilnya adalah masalah bagi diri sendiri.â€
Meski begitu, bukan berarti kekayaan dan kekuasaan adalah hal tabu, tetapi kebahagiaan tak bisa disandarkan pada apa pun yang bersifat material, apa pun wujudnya.
Kebahagiaan ditemukan secara perlahan seiring peningkatan kualitas baik di dalam diri, seperti kesabaran, pengertian, penghargaan, cinta, welas asih, dan meminimalkan faktor mental yang mengganggu, termasuk kecemburuan, iri hati, dan ketidakpedulian. Latihannya seumur hidup, “Karena tingkat pencapaian berbeda-beda, tergantung seberapa besar kehendak melakukannya.â€
Ia melihat kondisi masyarakat tidak begitu kondusif karena cenderung lebih keras, lebih kompetitif, dan berhasrat besar menguasai yang lebih lemah. “Akan tetapi, manusia adalah makhluk paling mulia yang memiliki kpasitas jauh lebih baik untuk mencapai kebahagiaan.â€
Menurut Rinpoche, kebahagiaan dipahami bersamaan dengan pemahaman mengenai akar penderitaan, yaitu “ego†atau pandangan keliru tentang diri. Adalah suatu keutamaan kalau mau terus berlatih memahami nir-ego atau selflessness; bagaimana sebenarnya diri ini ada dan mengada, disertai kemampuan mengontrol pikiran.
“Mari mengembangkan sikap altruisme,†begitu ajakan Dagpo Rinpoche. Dalam Buddhisme, altruisme didefisiniskan sebagai batin pencerahan atau dalam bahasa Sanskerta, Bodhicitta.
Berbuat bajik dan melakukan hal-hal yang memberi manfaat bagi semua makhluk hidup adalah jalan menuju kebahagiaan. Itulah prinsip etika hidup. Ia berpesan, “Mari meningkatkan sikap dan tingkat laku lebih menghargai, lebih mencintai, dan lebih welas asih terhadap sesama dan semua makhluk hidup.â€
Paling dihormati
Dagpo Rinpoche adalah pendiri aliran filsafat Buddhis Gelugpa di Perancis. Ia mulai mengajar Buddhisme tahun 1977, setahun sebelum mendirikan Pusat Dharma, Ganden Ling Institute di Paris, yang mengajarkan Buddha Dharma, berdoa, dan meditasi.
Saat invasi China memorakporandakan Tibet tahun 1959, Dagpo Rinpoche bersama pendampingnya, Thupten Puntchog, akrab disapa Geshela, lolos ke India, menempuh bahaya untuk mengikuti Dalai Lama XIV demi menjaga Buddhisme dan kebudayaan Tibet dari kepunahan.
Ia berangkat ke Paris, tahun 1960, untuk membantu penelitian tentang kitab dan budaya Tibet, lalu mengajar bahasa Tibet dan sejarah Buddha Dharma di Lembaga Nasional Bahasa dan Peradaban Timur Universitas Sorbonne sampai pensiun pada tahun 1992.
Dagpo Rinpoche dikenal sebagai salah satu Guru Buddhisme Tibet paling dihormati untuk pelajaran “Lamrin†(Tahapan Jalan Menuju Pencerahan). Ia memberi ceramah di pusat-pusat Dharma di Italia, Swiss, Belanda, dan kota-kota lain di Perancis.
Sejak tahun 1989 ia berkeliling ke beberapa negara di Asia dan memberi pelajaran terstruktur di Indonesia setiap tahun, kecuali tahun 1998. Tahun ini ia diundang membimbing retret di Bandung dan ceramah umum di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ia juga dikenal sebagai satu dari sedikit guru yang mewarisi sebagian besar ajaran Sang Buddha tentang Bodhicitta. Komunitasnya meyakini dia sebagai reinkarnasi Dharmakirti. Pengakuan Dalai Lama XIII (1876-1933) diberikan saat ia berusia 12 bulan.
Dharmakirti (bahasa Tibet: Serlingpa), pangeran dari Wangsa Syailendra di Suwarnadwipa (Sumatera), adalah pemegang ajaran itu pada abad ke-10. Kebudayaan Buddha berkembang pesat di Nusantara pada abad ke-7 sampai ke-10 di bawah Kerajaan Sriwijaya. Pada masa itulah Candi Borobudur dibangun. Perguruan Tinggi Agama Buddha-nya dikenal di seluruh dunia.
Guru Buddhis dari India, Atisha, yang kemudian mengajar Buddhisme di Tibet, beroleh pelajaran lengkap mengenai Bodhicitta dari Mahaguru Dharmakirti.
Namun, Dagpo Rinpoche tak pernah membicarkan silsilah reinkarnasi. Alasan memenuhi undangan ke Indonesia tahun 1989 adalah, “Ingin mengenal negeri ini besar dan indah dengan kebudayaan yang sangat kaya.â€
Ketika ditanya apakah ia tahu alasan Bhante Pannyavaro Mahathera, anggota Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia, memberi sebagian relik (abu) Atisha kepadanya, Dagpo Rinpoche hanya mengatakan, “Beliau tak bicara apa-apa.â€
Rinpoche lahir 1 Februari 1932 di Kongpo, tenggara kota Lhasa, Tibet, sebagai anak ketiga pasangan Tsering Dondrup dan Drolma Tsering. Meski menjalani pendidikan sangat keras, dalam biografi yang ditulis Jean-Philippe Caudron, Le Lama Venu du Tibet, dikisahkan masa kecil yang gembira bersama dua kakak perempuannya, Yeche La dan Mungyur la.
Ia masuk Biara Bamcho (berdiri tahun 1070) pada usia enam tahun, ditahbiskan menjadi calon biksu setahun kemudian. Pada usia 13 tahun, ia belajar filsafat Buddhis di Biara Dagpo Dratsang dan ditahbiskan menjadi biksu oleh Dalai Lama XIV tahun 1959 di Bodhgaya, India.