“Masihkah ada harapan untuk Medan?”
Begitulah pertanyaan itu
terus-menerus dilontarkan oleh Suhu kepada anak-anak dalam
kunjungan Beliau ke Medan pada 16-19 Januari 2008. Memang, selama ini
Kota Medan menyandang predikat sebagai kota bisnis dengan gaya hidup
perkotaan yang materialistis.
Dengan latar pemandangan Kota Medan di malam hari , di tingkat ketujuh
(kamar 705) sebuah apartemen di pusat kota yang cukup dekat dengan Sun
Plaza, ikon kota Medan, di sebuah ruangan berukuran panjang 10 meter
lebar 4 meter, suara Suhu yang hendak men-“sikat habis” orang
Medan menggelegar hingga ke pojok ruangan. Hampir seluruh peserta yang
kebanyakan anak muda duduk bersila di lantai, sementara beberapa ibu-ibu
dan ai-ai duduk di kursi merapat ke sudut tembok. Di hadapan para peserta,
terpampang layar slide yang menyajikan materi yang dipersiapkan oleh
anak-anak Bandung.
Suhu adalah sosok yang cukup dekat dengan sifat-sifat dan penyakit
orang Medan sehingga mampu memaparkan segala keburukan orang-orang
Medan berikut gaya hidupnya. Dengan materi yang disajikan melalui slide
presentasi, Suhu mengupas topik Karma, mulai dari definisi hingga 10
perbuatan tak bajik. Tak lupa Suhu juga menyindir mentalitas orang Medan
yang mengejar makanan, pakaian dan reputasi. “Sehari makan empat
kali, pusing aku!”, demikian keluh Suhu terhadap kebiasaan orang Medan
yang suka makan enak. Suhu juga mempertanyakan filosofi tujuan hidup
agar tidak sekedar “Ciak lau, tang si” Tak pelak, peserta yang hadir pada sesi teaching umum terbatas yang dimulai pada
pukul 19.30 di ruang tamu Traveller?s Suite, Jl. Listrik, Medan, diajak
untuk berpikir dan berhadapan dengan diri dan lingkungannya sendiri.
Kunjungan Suhu ke Medan kali ini merupakan kunjungan yang kesekian
kalinya, namun sesi teaching kali ini merupakan sesi teaching dengan
peserta paling banyak dengan target peserta umum terbatas. Selain grup
belajar Brayan-Medan, turut hadir adalah beberapa mantan aktivis vihara di
Jogja yang sudah pulang dan menetap di Medan. Beberapa sempat curhat
dan mengutarakan kerinduan mereka terhadap dharma karena selama ini
larut dalam kesibukan sehari-hari. Ada juga yang rindu dengan kesibukan
mengakomodir orang-orang yang “mencari dharma”, karena dulunya
sering terlibat dalam kepanitiaan vihara. Selain itu, ada pula
mahasiswa-mahasiswi kota Medan dari Universitas Sumatera Utara dan
IT&B yang diundang oleh teman-teman mereka. Total peserta kurang lebih
mencapai 50 orang.
Di sela-sela kunjungan selama empat hari di Kota Medan, Suhu beserta
beberapa anak sempat pula mengunjungi Badan Warisan Sumatera (BWS),
sebuah lembaga non-profit yang bertujuan melestarikan warisan budaya
Kota Medan, yang berkantor di Jl. Sei Selayang No.39, Medan. Di lokasi
sekretariat yang merupakan sebuah rumah tua itu, rombongan sempat
bertemu dengan seorang pengurus BWS yang kebetulan juga seorang alumni
ITENAS Bandung jurusan Arsitektur bernama Suhardi Hartono. Suhu
sempat bertukar sapa dan berdiskusi dengan Mr. Suhardi mengenai budaya
dan konservasi bangunan tua. Di rumah ini juga dipajang foto-foto kota Medan zaman
dulu yang memperoleh lisensi dari Belanda untuk diperbanyak dan dijual
untuk menyokong kegiatan BWS. Ada satu perpustakaan kecil yang berisi
buku-buku Arsitektur yang menurut sekretarisnya sering dijadikan referensi
anak-anak Arsitektur Kota Medan yang mencari literatur gedung tua Kota
Medan. Ada juga barang-barang antik seperti meja, kursi, dan balai-balai.
Sesi terakhir digelar pada tanggal 18 Januari 2008 dan mengambil tempat di
salah satu kamar hotel bintang lima di Kota Medan. Sesi yang dikhususkan
untuk kalangan terbatas ini mengupas lebih dalam dengan materi “Guide
for Travel to The Jewel Land” oleh Guntang Jampel Yang yang
dikomentari oleh Ven. Dagpo Lama Rinpoche dengan pendahuluan: The
root of Dharma practice is kindness, The key to Dharma practice is pure
study, The measure of Dharma practice is turning from attachment of this
life, The essence of Dharma practice is the union of method and wisdom.
Suhu juga membahas penderitaan atau “Dukkha”. Kebetulan pada
malam itu, kamar hotel yang berukuran standar sempat diisi oleh hampir 40
kepala, sehingga ruangan menjadi cukup sumpek dan panas. Beberapa
peserta duduknya berjejalan sehingga pegal dan panas, contoh nyata dari
ketidak-nyamanan atau dukkha. Suhu menasehati bahwa segala
ketidak-nyamanan yang kita alami saat ini merupakan akibat dari karma di
masa lampau dan selama kita masih berada di dalam samsara, adalah hal
yang mustahil untuk meraih kenyamanan yang kekal. Sungguh ironi bahwa
segala sesuatu yang beredar di kota Medan, terutama banyaknya jenis-jenis
makanan Medan yang enak-enak hanyalah semata-mata untuk memuaskan
rasa enak dan rasa nyaman yang nyata-nyata tidak bisa diraih dan
dipertahankan. Dan selama ini, kita diterpa oleh 8 Angin Duniawi, terutama
ingin memperoleh reputasi dan pujian, sehingga jalan hidup mengikuti orang
kebanyakan.
Hingga menjelang sesi usai, malam pun merambat menuju dini hari. YM
Suhu sempat berpesan 3 poin:
1) Tanyakan diri sendiri: Motivasi praktik dharmamu apa?; 2) Tunjukkan
bahwa kamu serius; 3) Kasih PR.
Kalau 3 poin itu dirasa terlalu banyak, YM Suhu masih bisa kompromi
hingga menjadi 1 poin saja, yaitu: “Jaga motivasi setiap hari. Jaga jangan
sampai keterlaluan.”
Dengan latar jendela kaca yang menyajikan pemandangan malam Kota
Medan, Suhu terduduk sambil
bergumam, “Masihkah ada harapan untuk Medan?”