Webcast Biezenmortel Sesi 6: Jika Aku Divonis akan Mati dalam Tiga Bulan…

  • March 19, 2011

Mari kita mulai sesi ini dengan membangkitkan motivasi dengan sebaik-baiknya yang bisa Anda lakukan, yakni dengan merenungkan betapa kelahiran sebagai manusia yang bebas dan beruntung ini merupakan momen untuk berjuang mencapai kesejahteraan semua makhluk, yakni dengan mencapai Kebuddhaan. Itulah sebabnya mengapa Anda semua ada di sini untuk mendengarkan ajaran Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk ketiga jenis praktisi.

(meditasi 5 menit untuk membangkitkan motivasi)

 

Pada sesi sebelumnya kita sudah melihat berbagai tahapan proses peleburan. Sekarang kita sudah sampai pada peleburan kesadaran. Di sini ada yang disebut sebagai kesadaran ‘penampakan putih.’ Pertama-tama yang melebur adalah kesadaran kasar, selanjutnya adalah kesadaran yang halus, hingga tinggal cahaya keputih-putihan seperti cahaya bulan. Sebenarnya tidak sepenuhnya putih, tapi seperti cahaya bulan. Kesadaran pada saat ini disebut kebijaksanaan superior atau dharmadatu. Peleburan kesadaran pada tahap ini disebut kebijaksanaan superior dharmadatu atau ‘penampakan putih.’

Sejak poin ini sudah tidak ada penampakan eksternal karena semuanya merupakan proses internal. Proses internal berikutnya, setelah ‘penampakan putih’ adalah ‘merah yang meningkat.’ Ibarat langit musim gugur yang disinari cahaya kemerah-merahan, yakni ketika langit cerah dan muncul cahaya kemerah-merahan, sebelum munculnya cahaya rembulan.

Setelah ‘merah yang meningkat,’ momen pertama berikutnya yang disebut ‘mendekati pencapaian,’ seperti seseorang yang pingsan dan tidak merasakan apapun, seolah-olah segalanya hitam kelam, tidak kelihatan apapun juga. Fase terakhir dikenal dengan sebutan ‘cahaya terang kematian.’ Penampakan ini muncul dalam mata batin, ibarat langit musim gugur, bebas dari apapun, kecuali berkas cahaya berwarna biru gelap. Pada saat ini, yang tersisa adalah batin yang sangat halus, dan ini merupakan kematian yang sebenarnya.

Fase terakhir ini memberikan kesan seolah-olah seseorang sedang memersepsikan kesunyataan, di mana semuanya terang dan jernih. Tapi ini sebenarnya bukan persepsi kesunyataan, karena persepsi kesunyataan harus direalisasikan pada saat seseorang masih sadar. Fase ini bisa berlangsung hingga tiga hari, tergantung kekuatan meditasi. Bagi para meditator yang terlatih, mereka bisa memperpanjang fase ini, artinya lebih dari tiga hari.

Setelah itu, yang terjadi adalah bergeraknya atau diaktifkannya angin halus. Angin ini menemani fase pertama berikutnya, yaitu fase dengan urutan berkebalikan. Fase ‘mendekati pencapaian’ terjadi di antara kematian dengan kehidupan berikutnya. Tadinya putih menjadi merah, sekarang urutannya merah menjadi putih. Ini berarti kita sudah terlahir di alam antara.

Sampai di sini, tergantung masing-masing orang, apakah ia terlatih dan memiliki persiapan atau tidak, maka ia bisa melanjutkan meditasinya di alam antara dan mengumpulkan kebajikan untuk kemudian terlahir di alam yang baik. Bagi mereka yang tidak terlatih, ketika terlahir di alam bardo mereka akan mengalami rasa takut, kemelekatan yang kuat, kemarahan, sehingga prosesnya menjadi sulit.

Bagi mereka yang memiliki persiapan yang baik akan bisa menjalankan praktiknya di alam bardo, dalam artian mempertahankan pandangan yang murni, yakni melihat segala sesuatunya sebagai sesuatu yang murni. Kalau tidak, maka segala sesuatunya tampak tidak murni. Melalui pelatihan dan persiapan, seseorang bisa memodifikasi dan mentransformasikan kelahiran di alam bardo ini menjadi meditasi istadewata, misalnya membayangkan kediaman istadewata, dan seterusnya. Ini adalah sesuatu yang mungkin untuk dilakukan. Jika tidak ada persiapan, mustahil seseorang bisa melakukannya. Justru mereka akan melihat alam bardo sebagai tempat yang tidak murni, kasar, dan seterusnya.

Pada akhir alam bardo ini, seseorang mengalami proses kematian di alam bardo, dengan proses peleburan yang sama, tapi kali ini lebih cepat. Pertama-tama kesadaran kasar akan melebur dan lanjut dengan proses berikutnya, tapi dengan durasi yang lebih cepat. Pada saat mencapai penampakan ‘cahaya putih kematian,’ semua proses ini muncul kembali, hingga ‘penampakan hitam’ dan seterusnya, hingga munculnya kesadaran kasar dan seseorang terlahir kembali dalam kehidupan yang baru.

Jadi berdasarkan penjelasan di atas, ada enam unsur di dalam tubuh. Tidak semua makhluk mengalami proses peleburan demikian, tapi hanya makhluk yang memiliki enam unsur. Mari kita ambil 5 menit untuk mengingat kembali di dalam batin proses-proses yang tadi dijelaskan, yakni penampakan merah, penampakan putih, penampakan merah yang meningkat, (kelewatan satu fase), hingga cahaya terang kematian, kemudian urutan prosesnya berkebalikan dan seseorang terlahir di alam bardo. Di dalam alam bardo seseorang kemudian mati dan mengalami proses peleburan secara cepat, hingga bangkit kembali dan terlahir ke dalam kehidupan yang baru.

Penjelasan proses ini utamanya dijabarkan di dalam Sutra Memasuki Rahim yang dimohon oleh Nanda. Di dalam sutra ini, Buddha menjelaskan proses kematian. Selain itu, di dalam Bodhicaryawatara, Guru Shantidewa mengajarkan kapanpun kita melihat tulang-belulang manusia atau binatang, janganlah dilewatkan begitu saja, tapi renungkan dari mana asalnya tulang-belulang tersebut. Tulang-belulang itu berasal dari tubuh jasmani yang tadinya begitu dirawat oleh pemiliknya, sama seperti kita begitu merawat dan memperhatikan tubuh jasmani kita. Sama halnya yang tersisa hanya tulang-belulang dari makhluk-makhluk tersebut, maka kita pun hanya akan tinggal tulang-belulang saja. Jadi, demikianlah yang harus kita renungkan, kapanpun kita melihat tulang-belulang makhluk hidup.

Setelah melihat proses kematian, berikutnya kita bertanya: Kapan kita akan mati? Ini menuntun kita pada poin kedua pada tiga poin utama meditasi sembilan bagian pada kematian, yaitu: Merenungkan tidak pastinya waktu kematian. Sama dengan poin pertama, poin kedua ini juga didukung oleh tiga alasan, yakni:
1) Di dunia ini pada umumnya, dan khususnya di masa kemerosotan ini, masa kehidupan tidaklah pasti.
2) Oleh karena sebab-sebab kematian adalah banyak, dan sebab-sebab kehidupan sedikit, tidak ada kepastian mengenai datangnya waktu kematian.
3) Oleh karena tubuh itu sangatlah rapuh, tidak ada kepastian mengenai datangnya saat kematian.

 

Beberapa jenis makhluk tertentu memiliki waktu hidup yang pasti. Misalnya makhluk yang terlahir di alam neraka. Umur mereka sudah ditentukan sejak awal. Tidak demikian halnya di alam manusia. Di dalam teks disebutkan Jambudwipa, yang artinya dunia tempat kita tinggal sekarang ini. Di sini, masa hidup manusia tidak pasti, terlebih lagi di zaman kemerosotan, semakin tidak pasti. Ini terjadi karena makhluk-makhluk di dalamnya memiliki kilesa yang kuat, berikut berbagai faktor lainnya.

Kebanyakan dari kita memikirkan dan mengakui bahwa suatu saat kita pasti akan mati, tapi bukan tahun ini. Kalau misalnya ada yang berpikir, ‘Semoga saya tidak mati tahun ini,’ ini merupakan tanda ingatan akan kematian. Yaitu, ada keraguan dalam batin tentang apakah kita masih akan hidup tahun ini atau tidak, yang sedikit lebih baik daripada tidak karena kebanyakan orang tidak memikirkan apapun, bahkan 100% yakin mereka tidak akan mati tahun ini. Sikap seperti ini sangat jauh dari sikap yang realistis, yakni keyakinan pasti bahwa mereka tidak akan mati tahun ini.

Kebanyakan orang mencari-cari alasan untuk mendukung mengapa mereka tidak akan mati tahun ini. Tapi alasannya tidak tepat, bahkan palsu. Misalnya ada yang mengandalkan kesehatan yang baik. Tapi kita tahu persis bahwa bahkan dokter dan perawat yang paling sehat sekalipun bisa saja mati duluan daripada pasien yang mereka rawat. Jadi, tidak ada jaminan kesehatan akan memberikan umur yang panjang.

Alasan semu lainnya berkaitan dengan orang-orang yang yakin akan hidup terus semata-mata karena masih muda. Ini merupakan sikap menipu diri sendiri. Tak berarti orang yang masih muda tidak bisa mati. Jadi, kita sudah melihat argumen-argumen yang membuat orang-orang percaya mereka akan terus hidup, apakah itu kesehatan, usia muda, dsb, yang bukan alasan nyata untuk mendukung hidup seseorang, tapi hanya merupakan imajinasi belaka.

Ketika kita mendengar kabar teman, kerabat, kenalan, yang sudah meninggal, yang sudah tidak berada bersama kita sekarang ini, maka kita harus bertanya, “Kapan giliranku?”
Sebenarnya, kalau mau jujur, sulit bagi kita untuk membayangkan bahwa kita akan mati hari ini atau besok. Untuk benar-benar meyakininya adalah sikap yang sulit untuk dikembangkan, kalau tidak melalui perenungan yang mendalam. Sebaliknya, kalau kita mau berupaya, barangkali kita bisa membangkitkan perenungan bahwa bisa jadi kita mati tahun depan. Misalnya, ada yang berpikir, “Barangkali tahun depan aku sudah mati.”

Misalnya, di ruangan ini, ada lebih dari dua ratus orang. Di antara sekarang hingga tahun depan, barangkali ada satu orang yang berkurang, artinya akan meninggal. Harusnya kita berpikir, “Di antara hari ini hingga tahun depan, apakah aku yang akan meninggal duluan?” Kalau Anda bisa berpikir demikian, itu bagus sekali, karena sikap demikian lebih bisa dikembangkan daripada kalau memikirkan Anda akan mati hari ini atau besok.

Tentu saja semua orang yang ada di ruangan ini akan mati suatu hari nanti, satu demi satu. Kalau Anda berpikir, “Sayalah yang kemungkinan besar akan mati duluan,” maka ini adalah sikap yang paling positif dan paling bermanfaat. Pertanyaan berikutnya, “Siapa yang akan mewanti-wanti kita sebelum kematian itu benar-benar datang?” Misalnya ada yang datang memberi tahu kita bahwa dalam waktu tiga bulan kita akan mati. Tentu saja pemberitahuan H minus tiga bulan ini sudah sangat telat, boleh dibilang kabar detik-detik terakhir, untuk mempersiapkan kematian kita. Tapi tiga bulan untuk mempersiapkan kematian lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Tapi, kan tidak ada yang bisa mewanti-wanti kita terlebih dahulu? Sebagian besar kematian akan menimpa orang-orang secara mendadak.

Kalau kita mau berupaya sekeras-kerasnya untuk merenungkan ketidakpastian waktu kematian, maka ketika kita sudah berhasil, bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa dan hanya khawatir saja. Bukan ini tujuannya. Tapi tujuan dari merenungkan ketidakpastian waktu kematian adalah siap sedia setiap saat. Je Rinpoche mengatakan, “Ingatlah kematian terus-menerus, persiapkan diri untuk pergi kapan saja.” Karena kita bisa mati kapan saja, maka strategi terbaik adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

Di dalam “Pembebasan di Tangan Kita,” Pabongka Dorje Chang sering mengutip guru beliau, Dagpo Lama Rinpoche, “…kita harus melatih sikap yang sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh guru dan penyelematku yang mulia:

“Jika aku tidak meninggal dalam satu atau dua bulan ke depan,
Semoga aku dapat mencapai hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupanku berikutnya.
Jika aku tidak meninggal dalam satu atau dua tahun ke depan,
Semoga aku dapat mencapai tujuan tertinggi dari seluruh kehidupanku.”
(Pembebasan di Tangan Kita, Buku Dua, Penerbit Kadam Choeling, hal. 194)

 

Karena kita tidak tahu kapan kita akan mati, maka kita harus mendahulukan apa yang paling genting, yakni memurnikan karma buruk sekuat-kuatnya dan mengumpulkan karma bajik sebanyak-banyaknya. Mengapa demikian? Karena kalau salah satu karma buruk kita matang di ranjang kematian kita, maka inilah yang akan menjerumuskan kita ke alam rendah. Oleh karena itu, kita harus memprioritaskan praktik purifikasi sekaligus akumulasi kebajikan.

Kita ambil waktu 5 menit untuk merenungkan ketidakpastian waktu kematian. Tidak ada kepastian sama sekali akan waktu kematian seseorang, tak peduli apakah kita sudah tua, masih muda, berada dalam kesehatan yang prima atau tidak. Tidak ada yang tahu seberapa lama lagi waktu yang dimilikinya. Ada begitu banyak orang yang berkumpul pada sesi ini, dan di antara kita semua, pasti ada yang akan mati duluan. Jadi kita harus berpikir, “Kemungkinan besar aku yang akan mati duluan karena tidak ada jaminan sama sekali bahwasanya bukan aku yang akan mati duluan. Jadi, kemungkinan besar, memang aku duluan yang akan mati.”

Perenungan seperti ini tentu tidak menyenangkan dan tidak kita sukai, tapi bukan berarti kita tutup mata dan tidak ambil pusing sama sekali, karena sikap seperti ini tidak tepat, bahkan merupakan kesalahan besar. Jadi kita harus berpikir, “Kalau aku mati duluan, apa yang harus kulakukan? Apa yang akan terjadi? Tidak ada yang akan mewanti-wantiku sebelumnya.” Ketika kita sudah benar-benar merenungkan demikian, maka kita bisa merujuk pada doa yang diajarkan oleh Dagpo Lama Rinpoche tadi. Yaitu, kita berdoa kalau seandainya tidak mati dalam waktu satu hingga dua bulan, semoga kita bisa mencapai sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan berikutnya. Seandainya kita tidak mati dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan, semoga kita bisa mencapai tujuan tertinggi dalam semua kelahiran kita yang akan datang. Berikutnya, kita juga bertekad untuk sesegera mungkin, selekas-lekasnya, melakukan praktik purifikasi dan akumulasi kebajikan.

Dalam melakukan meditasi, kita mengajukan permohonan kepada guru spiritual yang ada di atas kepala kita, yang sifat dasarnya sama dengan Buddha dan Wajradhara. Kita mohon agar guru mengenyahkan semua halangan dan menganugerahi berkah kepada kita. Lakukan visualisi cahaya dan nektar, pertama untuk purifikasi, berikutnya untuk mendapatkan berkah agar kita merealisasikan poin ‘waktu kematian tidak pasti.’ Panjatkan permohonan setulus hati dan berdoalah sekuat-kuatnya karena poin ini lebih sukar bila dibandingkan dengan ‘kematian itu pasti.’ Kita memanjatkan permohonan, meminta berkah, dan seterusnya. 5 menit untuk meditasi yang sesungguhnya pada poin ini.

(meditasi 5 menit)

Alasan kedua yang mendukung ketidakpastian waktu kematian: Oleh karena sebab-sebab kematian adalah banyak dan sebab-sebab kehidupan sedikit, tidak ada kepastian mengenai datangnya saat kematian.

Sesungguhnya, sebab-sebab kematian banyak sekali. Alasan mengapa kita masih hidup sampai detik ini karena karma bajik kita belum habis. Kita masih menikmati kondisi yang bagus dan masih tetap hidup. Tapi, kehidupan yang masih kita miliki ini sangatlah rapuh. Gomchen Ngawang Wangpo menyebutkan hal ini pula dalam Lamrim beliau, yakni pada poin “jasmani yang rapuh ini mengandung faktor-faktor kematian yang banyak sekali.” Arya Nagarjuna menjelaskan bahwa banyak sekali penyakit, kecelakaan, dst, sehingga jasmani kita ibarat ‘gelembung air yang rapuh di tengah-tengah angin kencang.’ Gelembung air sudah pasti rapuh, apabila kalau berada di tengah angin yang kencang, maka jauh semakin rapuh.

Urutan poin ini dibalik di dalam Gomchen Lamrim, yaitu:
2) Tubuh jasmani yang rapuh ini mengandung faktor-faktor kematian yang banyak sekali.
3) Walaupun sebab-sebab kehidupan sedikit, ketika mereka berubah menjadi sebab-sebab kematian, maka engkau pasti akan mati, jadi ambil-lah manfaat dari dharma!
(The Essence of All Sublime Discourses, hal. 19)

 

Sedangkan, di Instruksi-instruksi Guru yang Berharga, urutannya sebagai berikut:
2) Oleh karena sebab-sebab kematian adalah banyak dan sebab-sebab kehidupan sedikit, tidak ada kepastian mengenai datangnya saat kematian.
3) Oleh karena tubuh itu sangatlah rapuh, tidak ada kepastian mengenai datangnya saat kematian.

 

Sekarang, kita lihat alasan ketiga, yakni betapa rapuhnya tubuh jasmani kita. Gomchen Ngawang Wangpo mengatakan bahwa tubuh jasmani kita yang rapuh ini mengandung sebab-sebab kematian yang banyak sekali.

Ada sebuah kutipan dari Aryadewa di dalam karya beliau, Empat Ratus Stanza, yang dikutip di dalam Lamrim Chenmo, yakni:

“Ketika keempat unsur tak berdaya untuk saling membahayakan satu sama lainnya,
Mereka disebut perpaduan yang seimbang, dan kesenangan fisik pun timbul.
Tapi sebenarnya tidak cocok sama sekali untuk menyebutnya sebagai ‘kesenangan’
Sebuah kumpulan yang pada dasarnya saling berlawanan.”
(Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, oleh Tsong-kha-pa, Jilid Satu dan Dua, Edisi awal untuk keperluan khusus pembabaran dharma oleh YM Dagpo Rinpoche di Dagpo Shedrup Ling, Kullu, India 30 Juli-14 Agustus 2010, Tim Penerjemah Kadam Choeling Indonesia, 2010, hal. 101.)

 

Keempat unsur dalam jasmani kita, kalau tidak seimbang dan saling menyakiti, maka bisa sangat berbahaya. Kalau seimbang, kita akan menikmati tubuh yang sehat. Tapi, begitu salah satu unsur menjadi terlalu kuat sehingga mendominasi unsur lainnya, maka tidak mungkin lagi kita menikmati tubuh yang nyaman. Sangat mudah sekali bagi unsur-unsur tubuh kita untuk saling mendominasi dan kehilangan keseimbangan. Kita tidak bisa berharap keempat unsur tubuh kita senantiasa seimbang setiap saat.

Ada sebuah analogi yang dipakai di dalam Pembebasan di Tangan Kita untuk menjelaskan keempat unsur yang ada di dalam jasmani kita. “Aspek komposisi jasmani kita ini seperti empat ekor ular yang ditempatkan di dalam satu pot, di mana ular yang paling kuat akan selalu mencoba untuk memakan yang lainnya.”

Jadi, tubuh kita ini ibarat satu pot berisi empat ekor ular. Kalau keempat ekor ular ini setara, tidak ada masalah dan kita baik-baik saja. Tapi begitu salah satu ekor ular mulai menaikkan kepalanya, sehingga posisinya lebih tinggi daripada ketiga ekor ular lainnya, maka ia akan mencoba mematuk ular-ular yang berada dalam pot tersebut. Jadi, unsur-unsur tubuh kita senantiasa berada dalam kondisi seperti itu.

Singkatnya, kita tidak bisa mengandalkan tubuh jasmani ini, karena unsur-unsur yang menyusun kesehatan kita bisa berbalik melawan kita dan menuntun pada kematian. Faktor-faktor kematian ini kita bawa-bawa terus ke mana pun kita pergi.

Di sisi lain, bukan hanya faktor kematian yang jumlahnya banyak, bahkan faktor-faktor pendukung daya hidup bisa berubah menjadi faktor penyebab kematian. Apa saja faktor pendukung daya hidup? Misalnya makanan, rumah, moda transportasi, obat-obatan, dsb, bisa berubah menjadi faktor penyebab kematian.

Kalau kita salah makan, atau rumah kita ambruk menimpa kita, atau mengalami kecelakaan, maka kita bisa mati. Obat-obatan yang berfungsi menyembuhkan, kalau tidak digunakan dengan tepat, pun bisa menyebabkan kematian. Jadi, kita bisa melihat betapa nyawa kita sangat sangat rapuh sekali sehingga waktu kematian kita sepenuhnya tidak pasti.

(istirahat sejenak)

Sebab yang mendukung ketidakpastian waktu kematian yang ketiga adalah tubuh jasmani yang sangat rapuh. Sebagaimana analogi yang sudah dikemukakan tadi, tubuh jasmani kita ibarat gelembung air yang berada di tengah-tengah hembusan angin kencang. Sesuatu yang sangat rapuh seperti ini bisa dihancurkan dengan sedikit kekuatan saja, yakni kekacauan sedikit saja sudah bisa menuntun pada kematian seseorang. Apalagi kalau kekuatannya sangat besar, tentu membuatnya jauh lebih mudah.

Kalau kita cukup kuat, maka kita bisa melawan kalau timbul kesukaran. Tapi karena kita sangat rapuh, bahkan sedikit tusukan duri saja sudah cukup untuk mematikan kita. Rinpoche menyaksikan sendiri bagaimana kebenaran poin ini. Suatu hari seorang anak muda yang cukup sehat memanjat langit-langit untuk menurunkan seekor serangga. Entah bagaimana, barangkali salah gerak, anak muda ini pun mengalami kelumpuhan dan harus duduk di atas kursi roda. Jadi, kita bisa melihat, saking rapuhnya tubuh jasmani kita, tidak dibutuhkan kekuatan besar untuk menimbulkan kerusakan dan kekacauan, hingga kematian.

Kalau kita sedikit lebih kuat, barangkali masalahnya tak terlalu genting. Tapi, masalahnya, tubuh kita ini sangat rapuh. Tubuh jasmani kita merupakan fenomena komposit atau fenomena yang terbentuk. Semua fenomena yang terbentuk akan mengalami kehancuran. Kalau seluruh dunia ini suatu hari nanti pasti hancur, apalagi tubuh jasmani kita yang begitu lemah dan rapuh ini?

Jadi kita sudah melihat ketidakpastian waktu kematian yang didukung oleh tiga alasan. Sebenarnya tidak sulit untuk dipahami. Kita ambil waktu 5 menit untuk memeditasikannya.

(meditasi 5 menit)

 

Secara umum, meditasi sembilan bagian pada kematian terdiri dari tiga prinsip pokok:
1) Merenungkan pastinya kematian
2) Merenungkan tidak pastinya waktu kematian
3) Merenungkan bahwa pada saat kematian segala sesuatu kecuali dharma tidak berguna

 

Masing-masing dari ketiga prinsip pokok di atas didukung dengan tiga alasan dan dari masing-masing prinsip pokok ini kita bisa menarik kesimpulan.

Yang pertama, mengenai kepastian kematian. Kesimpulan dari ini adalah kita harus mempraktikkan dharma dan benar-benar memutuskan untuk melakukannya, karena inilah satu-satunya hal yang bermanfaat ketika kita mati. Segala hal lainnya tidak berguna, jadi kita bertekad untuk mempraktikkan dharma.

Yang kedua, mengenai ketidakpastian waktu kematian. Kesimpulan dari ini, bukan hanya kita harus mempraktikkan dharma, tapi kita harus melakukannya sekarang juga. Kita tidak boleh menunda-nunda sebelum segala sesuatunya terlambat sudah. Karena kita tidak tahu kapan kita akan mati, maka kita harus praktik sekarang juga, karena kita bisa mati mendadak.

Yang ketiga, mengenai segala sesuatu yang tidak berguna pada saat kematian, kecuali dharma. Ada tiga sub-poin di sini, yakni: 1) Kekayaan atau harta kita tidak berguna; 2) Teman dan kerabat tidak berguna; 3) Bahkan tubuh kita tidak ada gunanya.

Mengapa harta kekayaan kita tidak berguna? Karena menjelang kematian, tak peduli seberapa besar kekayaan yang dimiliki seseorang, bahkan walaupun separuh dunia ada dalam genggamannya, atau seberapa pun megahnya kekayaan tersebut, tak secuil pun yang bisa dibawa ke kehidupan berikutnya. Jadi, pada saat kematian, semua kekayaan itu pada akhirnya sia-sia belaka.

Mengapa teman dan kerabat tidak berguna? Karena biar seberapa baiknya teman kita, seberapa hebatnya kerabat kita, seberapa banyaknya murid-murid yang kita miliki, seberapa agungnya guru spiritual yang kita miliki, dan kalau menjelang kematian mereka semua memegangi kita di atas ranjang kematian kita, apa gunanya? Ketika tiba waktunya batin dan jasmani kita berpisah, tidak ada kata kembali. Kita pun tak bisa membawa serta teman dan kerabat barang seorang pun.

Mengapa tubuh jasmani kita tidak berguna? Tubuh jasmani ini adalah sahabat kita yang paling setia dalam hidup ini. Kita menghabiskan waktu paling banyak dengannya. Tapi sahabat setia ini pun berbalik mengkhianati kita. Ketika mati, batin meninggalkan tubuh jasmani, sehingga jasmani ini menjadi tak berguna.

Satu-satunya yang bisa kita bawa adalah karma baik dan karma buruk kita. Di antara dua karma ini, tentu saja karma buruk tidak ada gunanya, sehingga yang bermanfaat adalah karma baik. Jadi hanya kedua hal inilah yang bisa kita bawa menuju kehidupan berikutnya.

Sebagai kesimpulan poin ini, Gomchen Ngawang Wangpo meringkasnya dalam bait:

“Singkat cerita, kamu harus melepaskan semua hal-hal yang baik dalam kehidupan ini,
Dan tanpa diragukan, mereka pun akan melepaskanmu.
Akibatnya, jangan terjebak dengan tubuh jasmanimu,
Dengan orang-orang yang kamu cintai, dengan kekayaanmu, tapi berjuanglah untuk mempraktikkan dharma!”
(The Essence of All Sublime Discourses, hal. 19)

 

Tak peduli seberapa megah dan jayanya kebaikan-kebaikan yang dimiliki seseorang dalam kehidupan ini, semuanya harus ditinggalkan. Mereka juga akan meninggalkan kita. Jadi kita tidak bisa mengandalkan diri pada mereka semua. Ketika mati, kita tidak bisa membalikkan atau mencegah prosesnya. Jadi, akibatnya, sebagai kesimpulan, kita bertekad untuk tidak terjerumus pada kemelekatan terhadap tubuh jasmani, kekayaan, dan teman serta kerabat. Sebaliknya, kita bertekad untuk memusatkan perhatian satu-satunya pada praktik dharma.

Gomchen Ngawang Wangpo lanjut mengatakan:

“Untuk alasan-alasan inilah, jangan anggap enteng instruksi ini dan pergi mencari ajaran-ajaran tingkat tinggi yang sebenarnya di luar jangkauan kemampuanmu;
Ataupun berputus-asa dengan berpikir, ‘Apa gunanya, kalaupun aku bermeditasi, aku tidak akan bisa mencapai apapun,’
Panjatkan permohonan dan bangkitkan keberanian!”

Jadi, kalau ada yang berpikir bahwa instruksi pada perenungan kematian ini adalah ajaran yang rendah dan mencari ajaran yang lebih tinggi, ini adalah kekeliruan. Barangkali ada yang berpikir instruksi ini hanya diperuntukkan bagi pemula sedangkan dirinya bisa melakukan praktik yang lebih tinggi dan mengabaikan perenungan kematian ini, bahkan tidak mencobanya sama sekali, ini pun adalah kekeliruan.

Jangan menyerah dalam praktik meditasi Anda. Anda senantiasa bisa memanjatkan permohonan kepada guru spiritual dan mengumpulkan segenap keberanian untuk memeditasikan kematian dan ketidak-kekalan. Kita belum membicarakan ketidak-kekalan yang halus, tapi di sini kita membicarakan ketidak-kekalan yang kasar, yakni kematian. Ini sebenarnya bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Kita ambil waktu 5 menit untuk memeditasikan poin ketiga ini, yakni “Merenungkan bahwa pada saat kematian, segala sesuatu kecuali Dharma tidak berguna.”

Kita lakukan meditasi dengan merujuk pada kutipan dari Gomchen Lamrim di atas, yakni mengaitkannya dengan kekayaan, barang-barang kepemilikan, teman, keluarga, dan tubuh jasmani kita sendiri, yang semuanya tak berguna pada saat kematian. Kita renungkan alasan-alasan mereka tidak berguna pada saat kematian.

(meditasi 5 menit)

 

Demikianlah kita merampungkan penjelasan tentang kematian. Sebagai buddhis, kita mengakui kelahiran kembali dan ketika mati kita tidak lenyap begitu saja, tapi akan terlahir kembali. Lain cerita kalau kita sudah bebas dari samsara. Tapi kalau belum, berarti kita akan terlahir kembali, dan hanya ada dua kemungkinan, yakni kelahiran kembali di alam rendah atau di alam tinggi.

Kalau kurang beruntung, kita akan jatuh ke alam rendah, yang berarti kita menghadapi implikasi besar. Kita akan mengalami penderitaan hebat untuk waktu yang sangat lama. Jadi, sangat penting dan darurat bagi kita untuk menerapkan metode-metode untuk menghindari kemungkinan buruk ini. Metode utama untuk menghindarinya adalah merealisasikan berlindung di dalam batin kita. Artinya, benar-benar melatih praktik berlindung yang murni dan merealisasikan perlindungan di dalam batin kita.

Sebagai buddhis, kita mengambil perlindungan atau trisarana, jadi ada perlindungan dalam diri Anda hingga tingkat tertentu. Tapi jangan berpuas diri sampai di situ saja. Anda harus terus-menerus meningkatkan kekuatan perlindungan Anda. Murid Je Tsongkhapa, Yang Maha Mengetahui Gyelsab Je mengatakan, keseluruhan ajaran Buddha dharma bisa dicakupkan dalam topik berlindung. Jadi, jangan bayangkan bahwa topik berlindung atau trisarana adalah topik yang dangkal, alih-alih mudah. Jangan berpuas diri dengan tingkat perlindungan yang Anda miliki sekarang, sebaliknya berjuanglah untuk meningkatkannya terus-menerus.

Kalau mendengar instruksi yang barusan diberikan, barangkali ada yang membayangkan bahwa dia harus mencari rujukan lain untuk praktik berlindung, melakukan praktik berlindung yang berbeda dari apa yang selama ini telah dilakukan, atau bahkan melafalkan bait berlindung lain, bukan bait berlindung yang biasa dilafalkan, yakni “Kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, aku berlindung hingga aku mencapai pencerahan….” dan seterusnya.

Tentu saja tidak perlu bersikap demikian. Kalau Anda sudah memiliki praktik berlindung berikut bait mengambil perlindungan, berarti Anda percaya dan yakin pada praktik dan bait yang sudah Anda gunakan selama ini. Anda tinggal perlu meneruskan dan meningkatkannya dari sana. Yakni meningkatkan praktik perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha untuk mencapai pencerahan yang lengkap dan sempurna. Ini adalah bait yang sudah Anda ketahui. Yang perlu dilakukan adalah: Pastikan Anda melafalkannya dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, tulus, dan lengkap. Pastikan perlindungan Anda bukan sekadar ongkos mulut. Jadi, yang Rinpoche minta hanya ini: Praktikkanlah berlindung dengan semurni dan sebaik mungkin. Karena praktik berlindung bisa menjadi praktik yang sangat luas dan mendalam.

Berikutnya, tidak cukup kalau hanya mengambil perlindungan. Agar perlindungan itu efektif, Anda harus menjaga sila-sila berlindung. Yakni, instruksi-instruksi mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Secara umum, sila berlindung adalah mempraktikkan karma dan akibat-akibatnya. Praktik ini terdiri dari menghentikan apa yang harus dihentikan dan melakukan apa yang harus dilakukan, sesuai prinsip-prinsip hukum karma.

Praktik inti dari menjalankan hukum karma dan akibat-akibatnya adalah menghindari sepuluh jalan karma hitam. Sepuluh jalan karma hitam ini adalah pondasi semua sila. Yaitu, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan tindakan asusila, dan seterusnya. Tapi, tidak cukup hanya menghindari. Kalau seseorang hanya kebetulan tidak melakukan jalan karma hitam, bukan berarti ia sudah menjaga silanya. Diperlukan sikap dan pemikiran yang sadar bahwa ia sedang menghindari pembunuhan, dan seterusnya.

Bagi Anda yang memiliki sila-sila Samanera dsb, tentu lain cerita. Tapi, kalau tidak, penting sekali bagi Anda, setiap kali bangun di pagi hari untuk memformulasikan kembali sila-sila menghindari sepuluh jalan karma hitam ini di dalam batin Anda, yakni tidak membunuh, tidak mencuri, dst. Anda harus melakukannya dan menjaganya dengan sadar barulah dikatakan Anda mempraktikkan penghindaran terhadap sepuluh jalan karma hitam, bukan hanya sekadar kebetulan tidak melakukan karma hitam.

Di antara sepuluh jalan karma hitam, barangkali ada yang sukar untuk dijaga. Untuk ini, jangan putus asa. Justru sebaliknya, Anda harus semakin bertekad untuk mempraktikkannya. Kalau belum bisa sekarang, berdoalah bisa melakukannya segera. Berdoalah agar Anda bisa melakukannya sesegera mungkin, yakni menjaga sila dengan murni dan lengkap. Jangan angkat tangan dan menyerah kepada sila-sila yang sulit untuk dijaga. Justru sebaliknya, Anda harus berjuang, kalau belum menghentikannya secara keseluruhan, minimal mengurangi frekuensinya.

Jangan lupa untuk senantiasa memerhatikan tindak-tanduk Anda, apapun itu. Jangan dihiraukan atau dicuekkan begitu saja. Kalau Anda melakukan tindakan bajik, bangkitkanlah sukacita dan bermudita atas kebajikan yang sudah Anda lakukan. Kembangkan perasaan senang dan riang, karena ini akan meningkatkan kebajikan itu sendiri. Kalau Anda melakukan tindakan tak bajik, jangan juga dicuekkan, dengan mengatakan, “Ya, sudah. Aku memang melakukan hal yang buruk.” Justru Anda harus berjuang untuk memurnikan karma-karma buruk tersebut, dengan praktik pengakuan dengan penyesalan dan seterusnya. Ini akan mencegah karma buruk ini berkembang lebih pesat sekaligus mengumpulkan kebajikan. Inilah yang akan mendukung Anda untuk berkembang dan menghindari karma-karma buruk di waktu akan datang.

Transmisi akan diselesaikan besok. Besok ada inisiasi umur panjang tapi tidak akan disiarkan melalui webcast karena seseorang tidak bisa menerima inisiasi melalui internet. Jadi, selesailah sesi pembabaran dharma hingga hari ini. Rinpoche mendapatkan kesan bahwa semua peserta retret telah berupaya keras, kesan yang didapatkan dari pengamatan. Rinpoche berharap peserta retret mendapatkan manfaat karena retret ini sudah pasti memberikan manfaat kepada Rinpoche. Rinpoche bisa saja berdiam di rumah dan merenung sendiri, tapi berkat adanya retret seperti ini, Rinpoche berkesempatan berbagi kepada orang lain. Jadi, semoga retret ini bermanfaat kepada semua pihak, baik Rinpoche maupun peserta.

Rinpoche diberitahu bahwa retret di Biezenmortel ini bukan hanya sekali dua kali saja diselenggarakan, tapi sudah berlangsung selama sepuluh tahun. Ini adalah sesuatu yang luar biasa dan bisa terjadi berkat upaya Kadam Choeling Holland. Rinpoche berterima-kasih kepada mereka untuk semua upaya yang sudah dikeluarkan sehingga bisa memberikan manfaat kepada banyak orang. Rinpoche juga berterima kasih kepada para penerjemah. Ada satu orang penerjemah di lokasi retret, dua penerjemah di tempat lain, satu di Indonesia.

Sesi pembabaran dharma ini juga disiarkan melalui webcast sehingga bisa menjangkau banyak orang. Rinpoche berterima-kasih kepada orang-orang yang sudah bekerja keras untuk menyelenggarkan webcast ini. Rinpoche berterima kasih kepada semua pihak. Walaupun orang-orang Belanda masih bisa bertemu dengan Rinpoche besok, tapi ada beberapa orang yang pulang hari ini, jadi Rinpoche memberikan sedikit kata penutup.

Lanjut, walaupun ada webcast, ada Lama yang mengajar, ada penerjemah, tapi kalau tidak ada peserta, maka retret ini tidak bisa berjalan. Jadi, Rinpoche berterima-kasih dan bersukacita kepada semua peserta, baik yang hadir secara fisik di Belanda, maupun yang mengikuti via webcast. Permintaan Rinpoche: Mohon lanjutkan upaya-upaya Anda untuk mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan dharma. Rinpoche akan mendoakan agar apa yang Anda lakukan bisa sukses.

Rinpoche mendorong semua pihak untuk melanjutkan upaya-upayanya hingga ke waktu yang akan datang. Sekarang kita akan melimpahkan kebajikan luar biasa yang sudah kita kumpulkan bersama, yakni kebajikan-kebajikan yang kita hasilkan dengan mendengarkan, merenungkan, dan memeditasikan dharma dengan motivasi yang bajik. Kita menggabungkan semua kebajikan ini dengan kebajikan kita pada ketiga masa dan membaca doa dedikasi Lamrim. Kita dedikasikan supaya semua makhluk lekas-lekas merealisasikan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi.

*** Selesai***(JL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • slot gacor
  • https://fti.unissula.ac.id/wp-content/themes/urat-kuda/
  • https://fik.umj.ac.id/berita/
  • https://attaqwa.umj.ac.id/quick/
  • rajawali888
  • rajawali888
  • kpr777
  • pulsa777
  • pulsa777
  • toto7788
  • https://ft.umb.ac.id/cacatoto/