Menurut pandangan buddhis, tiap individu terbagi atas batin dan jasmani. Untuk jasmani, kita semua sepakat bahwa tubuh kita berasal dari bagian orangtua kita, yakni menyatunya sperma dan sel telur. Sedangkan batin mulai ada sejak momen konsepsi yang pertama sekali, yang masuk ke dalam sel yang merupakan gabungan unsur sperma dan sel telur tersebut.
Sperma dan sel telur dari orangtua kita membawa potensi yang mengandung empat unsur, yakni tanah, udara, api dan air. Arus batin yang memasuki gabungan unsur ini juga mengandung unsur-unsur yang membentuk batin. Gabungan keduanya, yaitu unsur fisik dan potensi yang terkandung di dalam arus batin, yang memungkinkan seorang individu untuk tumbuh berkembang dalam proses yang kompleks yang terjadi dalam 24 tahap.
Kalau arus batin atau kesadaran memasuki gabungan unsur-unsur fisik pada saat terjadinya konsepsi yang membentuk unsur fisik yang sempurna pada sebuah tubuh jasmani makhluk yang baru, pertanyaannya: dari mana datangnya batin atau kesadaran? Yakni batin atau kesadaran yang memasuki gabungan unsur fisik tersebut.
Kesadaran adalah sesuatu yang bukan materi, yakni bukan fenomena materi. Kesadarannya juga bukan berasal dari orangtua. Masing-masing kesadaran berbeda dan memiliki arus kesadaran tersendiri, yang berbeda antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. Jadi, kesadaran ini pastilah berasal dari momen terakhir kesadaran seorang makhluk pada kehidupan sebelumnya, yang ada sebelum kesadaran ini memulai kehidupan yang baru.
Kesadaran pada kehidupan sebelumnya ini pun, pada gilirannya, berasal dari kesadaran sebelumnya, yang bisa ditelusuri pada kesadaran pertama yang memasuki konsepsi. Dari mana datangnya kesadaran pertama ini? Sekali lagi, ini pastilah milik seorang individu pada kehidupan sebelumnya. Kesadaran tidak bisa mengambang-ngambang begitu saja, ia pastilah milik satu individu tertentu pada kelahiran sebelumnya.
Banyak orang yang membahas apakah seorang pria pada kelahiran sebelumnya adalah seorang wanita atau pria, dan sebaliknya, apakah seorang wanita di kelahiran sebelumnya itu wanita atau pria. Tapi ini adalah pembahasan yang tidak diketahui jawabannya dan juga tidak berguna. Yang penting diketahui bahwa kelahiran sebelumnya juga memiliki kelahiran sebelumnya, artinya memiliki sebab-sebabnya, yakni unsur fisik dan mental. Momen pertama kesadaran pada saat konsepsi berasal dari kesadaran pada momen sebelumnya. Sebelum momen yang sebelumnya, kesadaran ini miliki seorang individu lain di kehidupan sebelumnya pula. Momen pertama kesadaran seseorang pastilah berasal dari kesadaran individu lain di kehidupan sebelumnya.
Satu kesadaran pertama pada sebuah kehidupan pastilah berasal dari kesadaran pada kehidupan sebelumnya. Kesadaran pada kehidupan sebelumnya ini, pada gilirannya, berasal dari kesadaran sebelumnya juga. Demikian, mundur terus, terus, dan terus, hingga tidak ada ujungnya. Jadi, ada dua hal mengenai kesadaran yang harus kita pahami. Pertama, kesadaran tidak bisa dihasilkan oleh materi. Kedua, kesadaran tak memiliki awal, ia telah ada sejak waktu tak bermula.
Penting sekali bagi masing-masing orang untuk memahami doktrik akar Buddhisme. Yakni, samsara tak berawal, tidak ada satu titik waktu yang bisa kita tunjuk sebagai awal dimulainya samsara. Kesadaran tidak bisa muncul begitu saja dan kesadaran tidak bisa dihasilkan oleh materi fisik. Dengan memahami konsep dasar ini dengan baik, maka kita bisa memahami apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang, dan ini adalah sesuatu yang berharga untuk direnungkan. Karena apa yang terjadi di masa lampau memengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan.
Rinpoche menjelaskan ini panjang lebar bukan berarti ini tidak berkaitan dengan ajaran Lamrim. Kalau ada yang beranggapan demikian, ia sudah pasti keliru. Justru penjelasan ini berkaitan erat dengan Lamrim, khususnya pada Tahapan Jalan untuk Motivasi Menengah, yakni pada bagian “Merenungkan bagaimana sebab-sebab penderitaan menempatkan dan mempertahankan kita di dalam samsara.”
Pada bagian ini, Lamrim menjelaskan asal-mula penderitaan samsara dan bagaimana proses yang melemparkan seseorang ke dalam samsara dan mempertahankannya di sana. Kita bisa melihat bahwa kehidupan lampau kita tak terhingga jumlahnya, bahkan tak berawal. Kalau kita mau menghitung jumlah kelahiran lampau yang sudah kita jalani, kita akan kewalahan karena tidak bisa dihitung. Poin yang ditekankan pada bagian ini adalah memang kita memiliki jumlah kelahiran lampau yang tak terhingga, saking banyaknya hingga Buddha pun kesulitan menghitungnya.
Tujuan dari perenungan ini ada dua, yakni: 1) ketika menyadari bahwa jumlah kelahiran lampau kita begitu banyaknya hingga tak terhingga, maka kita bisa menyadari pula betapa semua makhluk merupakan ibu-ibu kita selama berkali-kali yang tak terhingga pula. Seseorang yang bisa merenungkan betapa semua makhluk merupakan ibu-ibu kita, maka perenungan seperti ini sungguh bermanfaat! 2) Manfaat lebih langsung yang bisa kita dapatkan dari memahami betapa kehidupan lampau kita tak terhingga jumlahnya, adalah kenyataan bahwa walaupun kita sudah memiliki kehidupan yang begitu banyak, tak satu pun dari kehidupan itu yang telah memberikan kebahagiaan yang kita idam-idamkan.
Kesimpulannya, kalau kita tidak hati-hati, kalau kita tidak menyadarkan diri sendiri dan bertekad untuk berubah, maka keseluruhan kehidupan yang sekarang kita jalani menjadi kehidupan yang tidak efektif. Ini juga mencakup kehidupan-kehidupan yang akan datang. Dalam begitu banyak kehidupan lampau kita, kita gagal menemukan kebahagiaan yang kita inginkan.
Lebih lanjut, di kehidupan lampau kita sudah mengalami penderitaan tiada taranya. Di sisi lain, tak satu kebahagiaan samsara yang belum pernah kita alami atau capai sebelumnya. Dalam semua kehidupan lampau kita, kita sudah menikmati semua kebaikan-kebaikan yang sanggup ditawarkan oleh samsara kepada kita. Kita sudah menikmati kekayaan besar, sekaligus kita juga sudah kehilangan semua kekayaan tersebut. Tak ada kenikmatan samsara yang belum pernah kita alami. Kalau kita renungkan secara mendalam, kita akan muak terhadap samsara. Dengan demikian, perenungan ini bermanfaat untuk membangkitkan penolakan samsara.
Ada kutipan dari Sutra Barisan Tangkai, di mana Buddha mengatakan: “Karena nafsu keinginan, tak terhingga banyaknya tubuh jasmani yang sudah engkau sia-siakan sejak waktu tak bermula di dalam samsara. Sekarang adalah saatnya untuk mengumpulkan segenap keberanian dan berjuang mencapai pencerahan sempurna. Oleh sebab itu, musnahkanlah nafsu keinginan.”
Sebagaimana diketahui, ada dua jenis nafsu keinginan, yang positif dan negatif. Nafsu keinginan yang dirujuk pada kutipan di atas adalah yang negatif, yakni kemelekatan. Hanya dengan mengatasi kemelekatan, seseorang baru bisa mencapai pencerahan. Buddha mendorong kita untuk menghentikan serangkaian kelahiran kembali yang tak bermula ini, yang diakibatkan oleh kemelekatan kita sendiri.
Kita harus mengingat betapa banyaknya jumlah kelahiran lampau yang sudah kita sia-siakan, yang kesemuanya itu didominasi dan dikendalikan oleh kemelekatan. Jadi, satu-satunya cara untuk mengakhiri samsara adalah dengan membuang dan mengatasi kemelekatan kita terhadap lingkaran keberadaan atau samsara.
Sutra tersebut lanjut mengatakan pada bait selanjutnya. Bagian awalnya sama dengan bait sebelumnya. Berikutnya, dengan mengingat jumlah kelahiran lampau yang sudah disia-siakan karena pengaruh kemelekatan, renungkan juga bahwa pada saat bersamaan, telah muncul Buddha-buddha yang jumlahnya banyak sekali, setara dengan molekul air di Sungai Gangga. Walau demikian, engkau belum berhasil menyenangkan Para Buddha dan tidak mencicipi nektar ajaran mereka.
Ada yang mengartikan jumlah molekul air di Sungai Gangga setara dengan jumlah butiran pasir di dasar Sungai Gangga. Tapi bukan ini yang dimaksud karena jumlah molekul air jauh lebih besar daripada jumlah butiran pasir di Sungai Gangga.
Intinya, tak terhingga jumlahnya Buddha-buddha yang muncul di dunia. Makhluk-makhluk lain sudah berhasil meminum nektar ajaran Buddha dan mencapai pembebasan hingga pencerahan sempurna. Tapi, kita tertinggal di belakang. Kita gagal menarik manfaat dari kehadiran Buddha yang begitu banyak jumlahnya.
Itu sebabnya di dalam teks kita dirujuk sebagai makhluk yang hidup di zaman kemerosotan. Yang dimaksud dengan zaman kemerosotan ini artinya zaman ketika makhluk-makhluk yang hidup di sana adalah makhluk yang ketinggalan, alias sisa-sisanya, yang belum berhasil ditaklukkan oleh Para Buddha.
Para Buddha bertekad untuk menaklukkan para makhluk di zaman kemerosotan, makanya kita memiliki koneksi yang kuat dengan Buddha Sakyamuni, karena Buddha Sakyamuni muncul di zamana kemerosotan untuk menolong makhluk-makhluk seperti kita-kita ini. Yakni, Buddha bertujuan memenuhi kesejahteraan makhluk seperti kita.
Buddha Sakyamuni sangat baik kepada kita. kebaikannya jauh melampaui Buddha-buddha lainnya. Walaupun demikian, ketika Buddha Sakyamuni muncul di dunia ini, beliau belum menaklukkan kita secara langsung karena pada saat itu kita sedang mengembara di sudut samsara lainnya. Sekali lagi, kita tidak bisa menarik manfaat. Sekali lagi, kita ketinggalan. Oleh karena itu, Buddha tidak punya pilihan lain kecuali bermanifestasi dalam wujud makhluk biasa agar bisa dilihat oleh makhluk-makhluk biasa seperti kita, yakni makhluk-makhluk yang kebajikannya kurang.
Dalam hal ini, Buddha muncul dalam wujud seorang guru, seorang guru yang kadang-kadang kita merasakan keyakinan yang mendalam, tapi di lain waktu kita merasa marah kepadanya. Kita bisa melihat guru karena Buddha memang muncul dalam wujud yang bisa dilihat oleh makhluk biasa seperti kita. Agar bisa menaklukkan kita secara langsung, Buddha harus muncul dalam wujud seorang guru spiritual, untuk menaklukkan perilaku kita.
Demikianlah Buddha muncul dalam wujud makhluk biasa di zaman kemerosotan seperti ini. Dan kepada Buddha dalam wujud seorang guru inilah kita kadang-kadang merasakan keyakinan, kadang-kadang tidak. Kadang-kadang kita mempertanyakan perilaku guru, bahkan bisa sampai memiliki pandangan salah terhadap guru hingga kehilangan keyakinan sama sekali. Di lain waktu, barangkali kita bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, artinya mempertanyakan apa yang selama ini kita lakukan, tapi di lain waktu kita bisa membangkitkan keyakinan terhadap guru. Inilah permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam hubungan dengan guru.
Dengan merenungkan apa yang telah terjadi di masa lampau, kita bisa bertekad untuk berubah. Penting sekali merenungkan masa lampau dalam hal betapa banyaknya kesempatan yang sudah kita sia-siakan, yang akan memberikan inspirasi bagi kita untuk berubah. Penjelasan yang diberikan di dalam teks menyebutkan bahwa kita harus menggigit bibir bawah kita, atau ada juga istilah ‘memasukkan dagu ke dalam mulut,’ yang keseluruhannya berarti bahwa kita harus mengumpulkan segenap keberanian dan bertekad untuk mengubah situasi kita.
Perumpamaannya ibarat seseorang yang sudah setengah jalan mendorong tembaga menaiki gunung. Kalau dilepas atau kalau tidak hati-hati, dengan mudah ia akan jatuh berguling-guling ke bawah. Saat itu sudah barang tentu bukan waktunya untuk main-main tapi sebaliknya harus ‘menggigit bibir bawah’ dan bertekad mendorong tembaga hingga ke puncak gunung.
Jadi, yang harus kita upayakan adalah berjuang mengendalikan pikiran, artinya mengurangi sifat-sifat jelek dan mengembangkan sifat-sifat bajik. Singkat cerita, inilah harus kita latih secara bertahap. Ketika batin kita kasar dan liar, inilah yang akan menjerumuskan kita ke dalam alam rendah. tapi, sebaliknya, jika batin kita jinak, terkendali dan tenang, maka ini akan menuntun kita pada kelahiran di alam tinggi hingga akhirnya mencapai pembebasan.
Itulah sebabnya Yang Mulia Shantidewa mengatakan, “Selain mengawasi batin, apalagi yang harus dilakukan?” Mengawasi batin artinya menngendalikannya, dan tidak perlu kegiatan macam-macam lainnya.
Guru-guru masa lampau mengatakan bahwa batin kita sangat responsif terhadap kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk kita ibarat kertas yang sudah tergulung untuk waktu yang sangat lama, kalau kita ratakan, ia serta merta akan tergulung kembali. Jadi batin kita persis seperti itu, senantiasa kembali pada kebiasaan lama yang buruk.
Sebagai contoh, sekarang kita mempelajari dan mencoba merenungkan kematian dan ketidak-kekalan. Kita duduk di sini untuk mencoba melatihnya. Tapi begitu kita meninggalkan sesi ini, apa yang terjadi? Kita langsung kembali ke kebiasaan lama dan berpikir dengan cara yang berlawanan dengan perenungan ketidak-kekalan. Perenungan kita tidak cukup kuat untuk dibawa dan dipertahankan pada sesi berikutnya atau pada kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan buruk yang dimaksud di sini merujuk pada cengkraman keabadian. Walau tidak terlalu kasar atau terang benderang, tapi di balik pemikiran kita, kita beranggapan bahwa kita akan “hidup selama-lamanya.” Akibatnya, kita berpikir kita akan menetap lama di suatu tempat, dan bukannya berpikir akan pergi. Tidak ada yang berpikir, “apakah saya masih bisa datang ke sini tahun depan?” tapi semua orang beranggapan dia pasti bisa datang. Ini adalah bukti sikap mencengkram kekekalan.
Masalahnya, akibat dari kebiasaan buruk mencengkram kekekalan, kita memiliki sifat mementingkan diri sendiri. Padahal sifat ini tidak realistis, tidak sesuai dengan kenyataan. Kita berpikir kita akan hidup selamanya, karenanya kita mementingkan diri sendiri, bukannya mementingkan orang lain. Karena yang kita pikirkan adalah diri sendiri semata-mata. Atau dalam bentuk yang lebih halus, kita menomor-satu-kan diri sendiri, baru kemudian memikirkan orang lain. Artinya kita mengutamakan diri sendiri dulu, apa yang kita inginkan, baru kemudian kita memikirkan orang lain. Ini semua akibat kebiasaan buruk yang sudah terbentuk di kehidupan lampau. Saking lamanya, kebiasaan buruk ini sukar dihilangkan karena kita sudah begitu terbiasa dengan pemikiran seperti ini, yakni pemikiran yang mementingkan diri sendiri, dst.
Yogi besar, Milarepa, mengatakan bahwa bahkan batang kayu atau tanduk yang kaku sekali pun masih bisa dibengkokkan kalau direndam dalam air. Tapi “Batinku yang kaku ini lebih sulit untuk dibengkokkan.” Kita tahu, batang kayu kering dan tanduk adalah materi yang kaku, tapi kalau direndam dalam air, keduanya masih bisa dibengkokkan. Tapi, Milarepa mengatakan bahwa batin kita jauh lebih kaku sehingga jauh lebih sulit untuk dilenturkan.
Jetsun Milarepa adalah seorang yogi sejati, seorang praktisi besar. Beliau telah menjelaskan sifat dasar batin kita dengan sangat akurat, yaitu kebiasaan buruk batin kita yang mencengkram kekekalan.
Tidak ada metode yang lebih baik untuk melenturkan batin kita yang kaku dibandingkan dengan metode unggul yang disebut Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk ketiga jenis praktisi. Di dalam Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan, Buddha mengatakan bahwa semua Buddha dari ketiga kurun waktu telah mencapai Kebuddhaan dengan bertumpu pada sutra ini.
Inilah instruksi yang sekarang ini kita andalkan untuk mengubah cara berpikir kita. Penting sekali kita mendengarkan instruksi ini dengan motivasi yang benar agar mendapatkan manfaat. Artinya, kita mendengarkan ajaran dengan motivasi untuk bekerja demi kebahagiaan semua makhluk, untuk menuntun mereka semua pada kebahagiaan dan mengatasi semua penderitaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita harus mencapai Kebuddhaan. Untuk tujuan inilah, kita sekarang akan mendengarkan dan mempraktikkan ajaran Lamrim, atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk ketiga jenis praktisi.
Kita sudah membahas poin (1) dan (2) di atas. Akan sangat baik sekali kalau kita bisa memeditasikan ulang kedua poin di atas, tapi karena waktu terbatas kita akan lanjut pada materi selanjutnya. Tapi jangan lupa untuk merenungkan kedua poin tersebut berulang-ulang, supaya api semangatnya tetap menyala dan tidak padam.
Berikutnya, (3) Bagaimana cara mengingat kematian yang sesungguhnya.
Sebelumnya kita sudah melihat bagaimana seseorang yang berkaki cepat, memiliki kekayaan dan kekuatan yang besar, tetap tidak bisa lolos dari kematian. Selanjutnya, kita juga sudah melihat dua alasan berikutnya, yaitu:
Poin kedua pada meditasi sembilan bagian pada kematian adalah merenungkan tidak pastinya kematian. Untuk tujuan praktik, biasanya meditasi pada proses kematian disisipkan sebelum poin kedua ini. Yakni, sebelum merenungkan ketidakpastian waktu kematian, kita merenungkan proses kematian.
Kesimpulan yang seharusnya ditarik dari poin pertama, yakni merenungkan pastinya kematian, adalah: “Saya akan mati. Kematianku tidak bisa dihindari.” Kalau sudah bisa sampai pada kesimpulan ini, maka berikutnya adalah memeditasikan proses kematian.
Penjelasannya: untuk menegaskan kepastian kematian, kita merenungkan tiga sebab yang mendukungnya hingga sampai pada kesimpulan bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa dihindari. Pertanyaannya: Kematian itu seperti apa? Di sinilah kemudian kita menyisipkan meditasi pada proses kematian, yakni kita melihat apa saja yang kita alami pada saat kematian. Baru kemudian kita bertanya: Kapan kita mati? Di sinilah kita masuk pada poin “merenungkan tidak pastinya waktu kematian.” Inilah urutan penjelasan yang akan kita ikuti. Kita istirahat sejenak.
Sekarang kita masuk pada meditasi proses kematian. Bagi murid-murid senior yang sudah terbiasa dengan meditasi ini, tentu tidak ada masalah. Tapi bagi Anda yang relatif masih baru, barangkali poin ini agak sukar untuk dilakukan. Topik ini bukan sesuatu yang tabu, tapi tetap saja, ini adalah topik yang sulit. Jika terlalu sukar bagi Anda, Anda cukup mendengarkan saja, tidak perlu mengaitkan pada diri Anda sendiri. Tentu saja, dalam mendengarkan penjelasan proses kematian, seseorang seharusnya mengaitkan pada dirinya sendiri, bukan pada orang lain. Tapi bagi mereka yang belum sanggup memeditasikannya dengan mengaitkannya pada diri sendiri, tetap bisa melakukannya dengan berpikir, “Saya akan memeditasikan proses kematian sebagaimana yang diajarkan oleh Buddha.”
Itulah sebabnya mengapa selama ini Rinpoche mengajarkan poin ini bukan berkaitan dengan diri sendiri. Tapi seiring dengan berjalannya tahun demi tahun, ada murid-murid yang sudah cukup senior. Sekarang adalah waktunya bagi mereka untuk memeditasikan topik ini dengan mengaitkan pada diri sendiri.
Pemikiran akan kematian memang pemikiran yang sulit, apalagi seseorang harus benar-benar membayangkan dirinya menjalani proses kematian. Tapi sebagaimana yang sudah disampaikan, murid-murid senior sudah harus mulai melakukannya. Bagi praktisi Tantra, baik di tahap pembangkitan maupun tahap perampungan, ada meditasi peleburan yang terkait dengan meditasi tantra. Praktik seperti ini juga terakomodir di dalam Lamrim.
Setelah kita merenungkan pastinya kematian melalui tiga alasan pendukung, maka kita sampai pada kesimpulan: saya pasti akan mati. Pertanyaan berikutnya: Bagaimana kita mati?
Penjelasan instruksi menghadapi kematian yang terkandung di dalam Permohonan untuk Terbebaskan dari Jalan Bardo yang Berbahaya karya Panchen Losang Choekyi Gyaltsen menyebutkan: Ketika dokter sudah angkat tangan, ketika ritual sudah tidak berguna, ketika sahabat, keluarga dan kerabat sudah tidak tahu apa yang mesti dilakukan, mohon berkahilah aku agar aku bisa mengingat guru spiritualku. Terjemahan ini tidak persis kata per kata.
Pertama-tama, bayangkan kita jatuh sakit dan sakit kita parah. Tidak ada pengobatan apapun yang mampu menyembuhkan. Puja yang dilakukan oleh sanak keluarga sudah tidak berguna. Dokter pun sudah geleng-geleng kepala. Sahabat-sahabat sudah putus harapan. Cuman kita sendiri yang terus berharap, “Semoga aku bisa sembuh. Setelah sembuh aku akan melakukan ini dan itu.” Tapi tentu saja ini adalah pemikiran yang sia-sia. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? pada dasarnya, sesuai dengan instruksi yang diberikan di dalam teks, kita berdoa “berkahilah aku semoga aku bisa mengingat instruksi-instruksi guruku.” Artinya, jika selama ini Anda memegang praktik tertentu, maka menjelang kematian adalah waktu paling sesuai untuk mempraktikkannya.
Jika Anda memiliki praktik spiritual yang serius dan murni, misalnya banyak belajar, banyak melakukan praktik, dsb, maka Anda bisa mendapatkan kepercayaan diri hingga tingkat tertentu, untuk memasuki kehidupan berikutnya. Dengan demikian bisa mendapatkan kelahiran yang baik. Kalau Anda termasuk yang ini, berarti tidak masalah dan nasihat ini tidak menyangkut Anda.
Tapi, sebagian besar orang tidak memiliki kepercayaan diri untuk mati. Mereka bahkan tidak tahu apa yang semestinya dilakukan menjelang kematian. Ketika seseorang akan mati, apa artinya? Ini berarti ia akan kehilangan semua hal yang sudah dikumpulkan dengan susah payah sepanjang hayatnya: teman, kekayaan, tubuh jasmani, orang-orang yang disayangi, murid, guru, orangtua, kerabat, semuanya akan berpisah dan ditinggalkan. Pemikiran akan perpisahan ini bukanlah pemikirkan yang menyenangkan.
Sutra Lalitawistara menyebutkan: Perpisahan ibarat daun-daun yang berguguran dari sebatang pohon. Kalau sudah gugur, daun-daun itu tidak akan bisa melekat lagi pada pohonnya, untuk selama-lamanya. Sama halnya, ketika kita berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi, kita tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi. Memang kita masih bisa bertemu pada kelahiran berikutnya, tapi ketika itu, kita sudah tidak mengenali mereka lagi. Dan juga, kita tidak bisa bertemu kembali dengan orang yang persis sama. Ini adalah hal yang mustahil. Perpisahan adalah sesuatu yang definitif, sesuatu yang pasti. Bagi mereka yang sudah mengalaminya tentu tahu bahwa ini bukanlah perasaan yang menyenangkan.
Jadi, ketika mati, sahabat, keluarga, dst akan meninggalkan kita. Bahkan ‘teman yang paling setia’ pun akan meninggalkan kita, yakni tubuh jasmani yang sudah kita sayangi selama ini. Ia pun akan mengecewakan kita dan harus kita lepaskan ketika beranjak menuju kehidupan berikutnya.
Jadi, ketika memeditasikan proses kematian, jangan lupa membayangkan diri kita jatuh sakit. Kita berbaring di atas ranjang. Tapi, sebelum mulai, pertama-tama panjatkan permohonan kepada guru spiritual. Tidak perlu lama-lama karena kita tidak punya banyak waktu. Intinya kita memohon kepada guru spiritual berikut seluruh objek perlindungan agar memberkahi kita dengan semua kondisi yang mendukung meditasi kita, serta menghalau semua kondisi yang tidak mendukung. Semua faktor-faktor positif kita meningkat, cahaya dan nektar yang melebur ke dalam diri memberkahi kita dengan semua berkah sehingga kita siap untuk melaksanakan meditasi. Kita akan melakukan meditasi hingga poin yang tadi sudah dijelaskan.
Poin penting yang harus kita renungkan dalam meditasi kita, yang tadi lupa diterjemahkan, adalah kita akan mati sendirian, dan satu-satunya yang menemani kita ke kehidupan berikutnya adalah karma bajik dan karma buruk berikut jejak-jejaknya yang sudah kita kumpulkan selama ini.
Sebagaimana yang sudah disebutkan, tubuh jasmani kita mengandung unsur tanah, udara, api, dan air. Pada saat proses kematian, unsur-unsur tersebut mengalami proses peleburan. Satu per satu unsur yang membentuk tubuh jasmani mengalami peleburan sesuai dengan urutannya. Tubuh jasmani kehilangan daya dukung yang menyokong kehidupan. Dimulai dari unsur bentuk, prosesnya terjadi dalam berbagai tahapan. Ada proses internal dan eksternal. Proses eksternal adalah tanda-tanda yang bisa diamati ketika proses peleburan terjadi.
Ketika unsur tanah melebur, anggota tubuh seperti kaki dan tangan melemah dan mengecil. Penampakan internal yang terjadi adalah penampakan mirip kebijaksanaan superior seperti cermin. Mata fisik sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Jadi, ketika unsur tanah melebur, kaki tangan menciut dan menjadi longgar, tidak bisa berfungsi sebagaimana biasanya. Kita mengalami perasaan seperti sedang tenggelam. Proses ini bisa diamati oleh orang lain, misalnya orang yang sakit parah dan akan meninggal biasanya minta ditarik ke atas karena memang ia merasa seperti akan tenggelam. Indra mata juga melemah. Mata bisa terbelalak, bisa juga tertutup, tapi frekuensi kedipan sudah jauh berkurang.
Ini adalah proses yang sempat diamati oleh Rinpoche ketika beliau menjenguk mantan atasannya yang sudah sekarat. Mantan atasan ini bukan buddhis. Rinpoche bekerja padanya selama bertahun-tahun, karena itu Rinpoche menjenguknya. Ketika di Rumah Sakit, mantan atasan yang memiliki mata yang besar ini terbaring dengan mata membelalak lebar dan jarang berkedip. Ia sudah tidak bisa melihat jauh sehingga barangkali tidak bisa melihat Rinpoche juga. Jadi, demikianlah kondisi yang terjadi ketika unsur tanah mulai melebur.
Tanda internal lainnya adalah proses peleburan atau menurunnya fungsi-fungsi tubuh, kadang-kadang disebut sebagai “death-like parlor.” Ini merujuk kepada menurunnya kekuatan atau daya hidup seseorang. Jangka waktu fase ini bervariasi, tapi penampakan internal adalah seperti bayangan, yakni ketika hari panas terik kita seolah-olah melihat genangan air di aspal.
Berikutnya, unsur tanah melebur menjadi air. Tapi ini adalah kiasan semata-mata, karena unsur tanah tidak bisa melebur menjadi air. Ketika unsur tanah melebur, ini berarti unsur ini sudah tidak berfungsi lagi. Unsur tanah yang melebur pada saat kematian berbeda dengan pengertian unsur tanah pada umumnya. Unsur tanah pada umumnya adalah unsur eksterior, sedangkan unsur tanah seorang manusia adalah sesuatu yang bersifat internal. Ketika melebur, ini berarti energi atau kekuatan dari unsur tanah ini melemah. Ketika disebutkan unsur tanah melebur menjadi air, ini berarti urutan peleburan berikutnya adalah unsur air.
Jangan lupa untuk senantiasa memeditasikan proses ini benar-benar terjadi pada Anda, bukan memikirkannya secara umum. Yakni, membayangkan, “Ya, skandha bentukku, kaki tanganku mulai melemah dan mengecil…” dan seterusnya.
Berikutnya, skandha perasaan, berikut semua unsur yang terkandung di dalamnya, akan melebur. Pada saat ini, seseorang bisa mengalami perasaan yang menyenangkan ataupun menderita. Penampakan yang terjadi ibarat kebijaksanaan keseimbangan batin. Proses yang terjadi berikutnya tidak bisa diamati secara eksternal.
Untuk proses peleburan unsur air, ini lebih jelas. Secara garis besar, cairan tubuh akan mengering, yakni air liur, keringat, urin, dan seterusnya. Ketika air liur mengering, bibir terlihat mengerut dan kering. Lidah dan lubang hidung pun ikut mengering. Lidah juga terasa kelu dan tebal. Indra telinga mulai berhenti berfungsi sehingga tidak bisa mendengar. Bagi mereka yang ingin menolong orang melalui proses kematian harus melakukannya sebelum sampai pada proses peleburan ini. Yakni, ketika unsur bentuk mulai melebur, sebelum skandha perasaan melebur. Pada tahap ini, seseorang tidak bisa mendengar suara dari luar, tapi ada semacam suara menderu dari dalam. Penampakan internal yang terjadi adalah melihat asap melayang-layang di ruangan. Bayangkanlah diri Anda benar-benar mengalami proses ini.
Berikutnya, skandha yang melebur adalah skandha diskriminasi atau identifikasi. Pada proses ini, tubuh jasmani mulai terurai. Tubuh jasmani berfungsi sebagai basis bagi kehidupan dan batin. Ketika skandha diskriminasi terurai, kita tidak bisa mengenali orang lagi, apakah itu kerabat, teman, orangtua, dsb. Di sini, ada kebijaksanaan yang terurai, yang disebut so sor thog pei ye she, kurang lebih artinya kebijaksanaan yang membedakan. Pada tahap ini kita tidak bisa mengenali orang lagi.
Pada saat ini, unsur api juga melebur, yakni tubuh kehilangan panas dan kemampuan mencerna makanan. Kalau makanan dimasukkan ke dalam mulut, kita akan memuntahkannya keluar. Saat ini, indra penciuman merosot dan kita kesulitan bernafas. Tarikan nafas pendek, hembusannya panjang, artinya nafas kita tidak berimbang. Kita juga sudah tidak bisa lagi mencium bebauan. Penampakan internal pada proses ini adalah ibarat melihat kunang-kunang di kegelapan, mirip percikan api di ruang yang gelap.
Saat skandha faktor-faktor pembentuk melebur, kita sudah tidak bisa bergerak lagi. Kita juga tidak bisa mengingat kejadian apapun. Pada saat ini, unsur udara melebur. Ada sepuluh jenis angin di dalam tubuh kita dan semuanya melebur, yakni angin di bagian anggota tubuh, dst, semua ditarik kembali, masuk ke jantung hati. Pada tahap ini kita sudah tidak bernafas lagi. Kebanyakan orang mengatakan ini sudah mati. Lidahnya juga sudah menebal dan memendek, indra pengecap sudah tidak berfungsi. Indra perasa di tubuh juga sudah tidak berfungsi, karenanya sudah tidak merasakan apa-apa. Penamapakan internalnya adalah ujung percikan nyala pelita mentega, ibarat lidah api yang sedikit bergoyang.
Pada tahap ini, peredaran angin kasar di dalam tubuh sudah berhenti. Semua unsur angin sudah tidak berfungsi dan kita sudah tidak bernafas. Umumnya orang beranggapan tahap ini sudah mati, tapi dari sudut pandang buddhis, ini masih belum sepenuhnya mati, karena masih ada kesadaran halus. Masih ada langkah-langkah peleburan halus yang harus dilalui sebelum seseorang benar-benar mati. Inilah tahap yang disebut “aktivitas penampakan putih.”
Kita lanjut pada sesi berikutnya.