Sesi I Sabtu, 8-Januari-2011 10:05-12:05
Pertama-tama Rinpoche menyampaikan salam kepada peserta yang datang ke tempat ini untuk mendengarkan dharma.
Rinpoche menyatakan bahwa sudah 2 tahun berlalu sejak terakhir kali Rinpoche memberikan ceramah di tempat ini dan bertemu dengan peserta Jakarta, sehingga kesempatan kali ini sungguh membahagiakan.
Tapi sekadar berbahagia karena bisa bertemu kembali saja tidaklah cukup. Kita harus memastikan pertemuan ini memiliki makna.
Kita memiliki waktu dua hari, yakni hari ini dan besok. Kalau dua hari dibandingkan dengan keseluruhan hidup kita, tentu saja dua hari hanya waktu yang singkat. Tadi sudah disebutkan bahwa dua tahun telah berlalu sejak kita terakhir bertemu. Dua hari bila dibandingkan dengan dua tahun tentu juga merupakan waktu yang singkat.
Akan tetapi, dengan waktu yang sangat singkat ini, di mana kita bisa melewatinya bersama-sama, marilah kita lakukan apa yang diperlukan supaya waktu yang singkat ini bisa memiliki nilai besar, yakni sesuatu yang benar-benar bermakna.
Pertanyaannya, apakah benar-benar bisa dalam waktu dua hari kita mencapai sesuatu yang bernilai besar dan memiliki makna penting? Jawabannya, ya, bisa!
Alasan mengapa bisa dikarenakan masing-masing orang yang ada di sini telah memiliki kemuliaan terlahir sebagai manusia, sebuah kehidupan yang bebas dari kesulitan besar, yang sekaligus diberkahi dengan kondisi-kondisi yang menguntungkan. Singkatnya, yang dimaksud di sini adalah masing-masing individu yang ada di sini memiliki kapasitas batin seorang manusia, batin yang memiliki potensi yang berpikir secara luas dan mendalam.
Oleh karena itu, walaupun dalam waktu yang singkat, dikarenakan sifat dasar batin manusia yang sudah kita miliki, maka kita semua bisa mencapai sesuatu yang besar dalam rangka menolong orang lain dan juga diri sendiri. Dengan kapasitas batin manusia, seseorang bisa mengumpulkan kebajikan dan menghilangkan karma-karma buruk untuk kemudian mencapai kebahagiaan yng sejati. Demikianlah sifat dasar dari batin manusia.
Jadi, bagi Anda yang sudah pernah mendengarkan ajaran Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, jika Anda merenungkan pada bagian topik “Kemuliaan Terlahir sebagai Manusia,†yaitu merenungkan
1. Kebebasan dan kesempatan emas yang terkandung di dalamnya,
2. Potensi besarnya,
3. Betapa sulitnya kehidupan tersebut diperoleh,
Maka pada bagian “potensi besarnya,†ini bisa diuraikan dalam kaitannya pertama-tama potensi besarnya untuk mencapai kebahagiaan sementara dalam bentuk kelahiran kembali yang baik di dalam samsara; yang kedua, potensi besarnya dalam hal mencapai kebaikan yang pasti berupa pembebasan dari samsara hingga pencerahan sempurna; dan yang terakhir, potensi besarnya yang terkandung setiap saat, bahkan dalam satuan waktu yang paling singkat, yakni satu detik hingga satu momen.
Kalau dalam waktu yang sangat singkat tersebut, seseorang memiliki kesempatan untuk mencapai banyak hal, apalagi dalam waktu dua hari. Karena itu, dalam dua hari ini sudah pasti kita bisa mencapai sesuatu yang bernilai besar dan bermakna penting.
Tapi tentu saja itu semua bergantung pada cara berpikir seseorang. Jika seseorang bisa berpikir dengan baik dan mendalam, tentu saja kemungkinan untuk mencapai sesuatu yang besar dalam waktu yang singkat benar adanya, dan ini berlaku untuk kita semua yang memiliki waktu dua hari ke depan ini. Tapi, kembali lagi, semua bergantung pada cara berpikir dan cara pandang seseorang.
Kalau kita renungkan sejenak bagaimana kondisi kita hingga saat ini, betapa banyak kelahiran lampau yang sudah kita jalani, berbagai macam bentuk kehidupan yang sudah kita dapatkan, dalam semua kehidupan tersebut, apapun itu bentuknya, kita masih harus terus mengalami penderitaan-penderitaan akibat terlahir kembali, yakni kita masih harus menjalani proses kelahiran, penuaan, sakit, dan mati. Walaupun kita sudah terlahir kembali berulang-ulang kali, tapi kita toh belum melakukan apapun untuk mengubah kondisi ini, dalam artian, kita masih harus terus-menerus mengalami segala bentuk penderitaan samsara.
Akan tetapi, saat ini, dengan kehidupan sekarang ini, kita berada dalam posisi paling baik untuk mengakhiri proses tersebut, yakni mengakhiri penderitaan kita. Dan sebagai gantinya, kita bisa mencapai tingkat kebahagiaan dari momen ke momen, dengan kata lain kebahagiaan yang tidak akan merosot lagi.
Cara untuk mencapai kebahagiaan yang tidak merosot itu sebenarnya cukup sederhana dan jelas, dalam artian, semata-mata menyangkut persoalan melatih batin kita, yaitu mengubah cara pandang dan cara pikir kita selama ini.
Pertanyaannya, bagaimana cara berpikir kita selama ini? Well, batin kita tidak berfungsi secara bebas. Sebagian besar orang dikendalikan oleh pikirannya, dan pikiran dikendalikan oleh unsur tertentu lagi, yaitu faktor-faktor mental pengganggu yang dikenal sebagai kilesa. Dalam kondisi demikian, boleh dibilang kita adalah pelayan dari seorang pelayan, dalam artian tidak memiliki kebebasan sama sekali. Selama kita masih berada dalam kondisi seperti ini, dengan batin yang di bawah kendali kilesa seperti ini, maka kita tidak akan pernah bisa bebas dan bahagia.
Terkecuali kalau kita sudah bisa membalikkan keadaan. Dengan kata lain, kita sudah mampu mengendalikan batin dan pikiran kita, yaitu mengganti kilesa dan mental-mental pengganggu dengan unsur yang positif, yaitu bentuk-bentuk pikiran yang bajik. Artinya kita sudah mampu membangkitkan pemikiran yang benar dan tepat, yang sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kalau sudah demikian, barulah kita bisa mendapatkan kebahagiaan.
Analogi yang bisa dipakai untuk menggambarkan kondisi kita sekarang ini adalah langit yang terselubungi oleh awan. Dengan cara yang sama, batin kita terselubungi oleh faktor-faktor mental pengganggu atau kilesa.
Sebagaimana yang terjadi sekarang ini, kalau kita melihat sesuatu yang menarik atau yang bagus-bagus, batin kita langsung meraih keluar, mendambakan barang tersebut dan berkeinginan untuk memilikinya, dan batin kita tak kuasa untuk mengendalikannya. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya, yaitu ketika kita melihat seseorang atau sesuatu yang tidak menarik, tidak menyenangkan, dan tidak kita sukai, sekali lagi, batin kita tidak kuasa mencegah munculnya perasaan enggan, cemas, menolak, bahkan marah, dan seterusnya. Jadi batin kita terombang-ambing di antara kedua jenis perasaan tersebut, dan kalau bukan salah satu dari kedua jenis kondisi tersebut yang muncul, maka yang tersisa adalah kebodohan batin dan kegelapan mental. Batin kita tidak jelas, tidak melihat kenyataan sebagaimana adanya, terselubung oleh kegelapan batin.
Tentu saja penjelasan tadi tidak berlaku untuk semua orang yang hadir di sini. Rinpoche yakin di antara peserta pasti ada yang sudah mampu mengendalikan pikirannya dengan lebih baik. Tapi yang tadi dipaparkan di atas merujuk pada orang biasa kebanyakan. Pada penghujung hari, terserah pada masing-masing orang untuk melihat ke dalam dirinya sendiri, melihat bagaimana munculnya pikiran-pikiran dalam batinnya, bagaimana ia bereaksi terhadap berbagai jenis situasi, untuk kemudian memutuskan apakah pemaparan di atas berlaku untuknya atau tidak.
Kalau berlaku, sangat penting sekali agar orang tersebut melakukan sesuatu untuk mengubahnya, karena selama seseorang masih berperilaku seperti itu, maka mustahil baginya untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.
Kembali pada analogi langit yang tertutup awan, di mana kondisi ini bisa berubah. Sama seperti langit jernih tanpa awan, maka batin juga bisa dibersihkan dari awan-awan mental pengganggu yang menghalanginya. Kalau demikian halnya, maka pelan tapi pasti, langit bisa menampakkan warna biru yang merupakan warna aslinya, dan ketika itu ada ruang untuk munculnya sinar matahari.
Seiring dengan seseorang membersihkan unsur-unsur negatif dalam pikirannya, maka sinar terang kebajikan akan menggantikan mental kelabu tersebut untuk kemudian menjadikan semua pikiran bersifat bajik. Artinya seseorang sudah bisa mengatasi kilesa-kilesa dan menggantikannya dengan kebajikan, untuk kemudian beranjak dari satu momen kebahagiaan menuju momen kebahagiaan berikutnya. Pada saat ini seseorang sudah dikatakan berada pada jalur yang akan menuntun pada kebahagiaan yang terus-menerus.
Bagaimana kita bisa mencapai hasil yang diinginkan tersebut? Caranya adalah mempraktikkan instruksi-instruksi yang telah diberikan oleh Buddha kepada kita berdasarkan welas asih agung beliau. Dengan kata lain, belajar, merenung, dan bermeditasi.
Langkah yang paling pertama sekali tentu saja mendengarkan instruksi, yakni menerima instruksi atau ajaran, dan itulah alasan mengapa Anda semua datang ke sini hari ini. Rinpoche menekankan betapa pentingnya membangkitkan motivasi yang bajik dalam kegiatan mendengarkan ajaran ini, yaitu mendengarkan dengan kerangka berpikir yang benar.
Jika Anda adalah pengikut Mahayana, maka Anda harus membangkitkan niat sebagai berikut: Didorong oleh welas asih kepada semua makhluk, yaitu keinginan untuk mengakhiri penderitaan mereka dan menuntun mereka pada kebahagiaan, maka Anda harus membangkitkan aspirasi untuk mencapai Kebuddhaan, yakni mencapai pencerahan lengkap sempurna supaya bisa menolong semua makhluk.
Apabila Anda adalah penganut Pratimoksayana di dalam ajaran Buddha, maka Anda bisa berpikir: Saya benar-benar berniat untuk mencapai pembebasan dari samsara. Untuk itu saya akan mendengarkan ajaran atau kata-kata Buddha untuk kemudian dilaksanakan dan dipraktikkan.
Kalau ada di antara Anda yang bukan Buddhis, artinya Anda memiliki agama sendiri atau bahkan tidak terikat pada agama tertentu apapun, Anda pun masih tetap bisa memiliki kehidupan yang memiliki nilai dan potensi besar. Oleh sebab itu, Anda juga bisa bertekad untuk menggunakan kehidupan ini dengan baik, bukan semata-mata untuk diri sendiri, tapi bertekad untuk membantu sebanyak mungkin orang yang Anda bisa bantu. Untuk mencapai tujuan tersebut, Anda berpikir bahwa Anda harus meningkatkan kualitas-kualitas baik di dalam diri Anda sendiri, dan untuk itulah Anda ada di sini untuk mendengarkan ajaran Buddha dan kemudian mempraktikkan apa yang sudah didengar.
Penting sekali untuk membangkitkan motivasi yang benar di dalam aktivitas mendengar. Selain itu, penting juga memperhatikan cara mendengarkan yang baik, yang artinya menghindari distraksi atau pengalihan perhatian. Anda harus mendengarkan dengan keseluruhan perhatian Anda. Jika telinga Anda mendengarkan suara atau kata-kata, tapi batin Anda mengembara ke tempat lain, maka ini sudah bukan termasuk aktivitas mendengar yang benar, dan kesalahan ini harus dihindari.
Ini adalah sesuatu yang harus kita perhatikan dengan hati-hati, semata-mata dikarenakan kita, untuk waktu yang sangat lama, telah berputar-putar di dalam samsara. Batin dan pikiran kita sudah terjerumus dalam segala bentuk kebiasaan buruk, artinya batin kita sudah sangat terbiasa dalam tindak-tanduk tak bajik. Misalnya, Anda semua bisa jadi sedang mendengarkan suara Rinpoche ataupun suara para penerjemah, tapi kemudian pandangan Anda jatuh pada bunga-bunga dan Anda berpikir, “Wah, alangkah bagusnya bunga-bunga tersebut.â€
Apa artinya? Ini berarti perhatian Anda sudah lari dan Anda sudah teralihkan. Melihat bunga merupakan bukti bahwa Pikiran dan perhatian Anda sudah tidak fokus dan teralihkan.
Itulah sebabnya mengapa guru-guru besar masa lalu mengatakan: “Ketika mendengarkan, dengarkanlah dengan keseluruhan perhatian Anda.â€
Bagaimana kita memahami ini? Pada dasarnya, dalam aktivitas mendengarkan kita menggunakan dua alat:
1) Kesadaran pendengaran (auditory consciousness), yakni indra pendengaran untuk mendengarkan sesuatu.
2) Kesadaran mental/ batin (mental consciousness), yang fungsinya untuk memikirkan atau memahami apa yang telah didengar.
Jadi, hanya dua alat di atas yang difungsikan.
Untuk kesadaran lainnya, misalnya kesadaran penglihatan (visual consciousness), tentu saja masih tetap berfungsi, artinya mata Anda masih tetap terbuka dan Anda masih tetap melihat pemandangan sekitar, tapi jangan sampai terlalu memusatkan perhatian pada apa yang Anda lihat. Dengan kata lain, kesadaran penglihatan, dan juga penciuman, masih tetap berfungsi hingga tingkat tertentu, tapi tidak sepenuhnya difokuskan ke sana.
Dalam mendengarkan, hanya kesadaran pendengaran dan kesadaran mental saja yang benar-benar berfungsi dan aktif. Inilah yang dimaksud dengan mendengarkan sesuatu dengan keseluruhan perhatian sebagaimana yang dimaksudkan oleh para guru besar zaman lampau.
Resiko lain yang dihadapi dalam kegiatan mendengar adalah distraksi lain, yaitu kecenderungan untuk ngantuk atau tertidur. Seseorang yang menyerah pada kilesa ini, ketika mendengar, pertama-tama ia akan mendengarkan dengan penuh perhatian, yang pada awalnya dibutuhkan segenap upaya. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan orang ini pun dikuasai oleh kantuk. Jadi, prosesnya pertama-tama ia akan mendengarkan suara orang yang memberikan ajaran, tapi pelan-pelan…pelan-pelan…suaranya melemah dan semakin lemah..sampai akhirnya tidak mendengarkan apa-apa lagi.
Di sisi lain, barangkali banyak juga orang yang tidak memiliki permasalahan dengan pengalihan perhatian, artinya mereka sanggup mendengarkan dengan penuh perhatian. Orang-orang seperti ini mampu menghindari godaan untuk tertidur, tapi mereka memiliki permasalahan lain, yang merupakan sesuatu yang sangat disayangi, yakni apabila mereka mendengarkan semata-mata karena penasaran. Yaitu, keinginan untuk mendengarkan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah didengar sebelumnya.
Kalau demikian halnya, itu bukanlah aktivitas mendengarkan yang bermanfaat. Bisa jadi orang-orang ini memang mempelajari sesuatu yang baru, tapi secara keseluruhan, kegiatan mendengarkannya tidak akan memberikan manfaat penuh. Artinya, seseorang tidak mengaitkan apa yang didengar dengan dirinya sendiri.
Jadi, cara mendengar yang paling baik adalah mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak teralihkan oleh distraksi, dan mendengarkan dengan motivasi yang benar. Tambahan, seseorang harus mendengarkan dengan kerangka berpikir mengaitkan apa yang dijelaskan dengan diri sendiri, yaitu melihat bentuk-bentuk pikiran, sikap, dan respon diri sendiri terhadap apa yang dijelaskan.
Dengan membandingkan apa yang dijelaskan dengan diri sendiri, seseorang bisa meng-identifikasi apa saja yang perlu diperbaiki. Setelah berhasil di-identifikasi, ia pun bisa berniat untuk mengubah dan memperbaiki sikap-sikap dan pemikiran yang keliru. Jadi, kalau misalnya semua kondisi sudah bertemu, seseorang benar-benar bisa mencapai manfaat yang besar dalam waktu yang singkat.
Topik yang dimohonkan kepada Rinpoche untuk disampaikan adalah tentang karma, yakni bagaimana kita bisa mengubah karma. Sesuai dengan topiknya, tentu saja kita bisa mengubah karma, yang akan disampaikan oleh Rinpoche dalam empat langkah.
Pertama-tama, Rinpoche merasa pentingnya menjelaskan siapa yang menghimpun karma, yaitu siapa sebenarnya yang dimaksud dengan makhluk hidup, yaitu siapa yang menghasilkan karma karena makhluk hidup tentu saja menghasilkan karma. Poin pertama ini akan dibahas secara ringkas.
Yang kedua, bagaimana karma dihimpun atau dihasilkan.
Yang ketiga, apa sebenarnya yang dimaksud dengan karma itu sendiri. Yakni, dikarenakan pembahasan ini nantinya menuju pada cara mengubah karma, dalam hal ini merujuk pada karma yang tercemar atau terkontaminasi, karena karma inilah yang perlu diubah.
Yang keempat, bagaimana cara mengubah karma.
Karena dalam dua hari ini terbagi menjadi empat sesi, maka masing-masing sesi akan diperuntukkan untuk membahas masing-masing dari keempat poin di atas.
Barangkali di antara Anda ada yang sudah pernah mempelajari beberapa bagian dari poin di atas, tapi barangkali untuk sebagian lagi, topik ini merupakan sesuatu yang sepenuhnya baru, yang tentu saja tidak masalah sama sekali.
Bagi yang sudah pernah mendengarkan atau mempelajari keempat poin di atas, janganlah berpikir bahwa Anda sudah pernah dengar sebelumnya atau sudah tahu semuanya tentang topik ini, karena sikap seperti ini tidak akan bermanfaat. Mempelajari kembali apa yang sudah pernah diketahui sebelumnya tentu tidak akan membahayakan, justru malah akan memberikan manfaat, karena Anda bisa meningkatkan pemahaman Anda akan topik ini. Lebih lanjut, seandainya ada pemahaman Anda yang masih keliru atau kurang tepat, maka dengan mendengarkan kembali penjelasannya, Anda bisa memperbaiki pemahaman Anda sehingga menjadi lebih tepat dan akurat.
Poin pertama, sehubungan dengan siapa yang mengakumulasi atau menghimpun karma. Jangan lupa bahwa karma yang dibahas di sini adalah karma yang tercemar atau terkontaminasi, bukan karma secara umum. Makhluk-makhluk yang menghimpun karma yang tercemar dimulai dari makhluk biasa seperti kita semua, sampai dengan makhluk agung yang sudah mencapai Marga Persiapan, yaitu makhluk yang sudah mencapai realisasi tinggi. Makhluk-makhluk ini masih juga menghimpun karma yang tercemar, yaitu karma yang melemparkan seseorang untuk terlahir kembali di dalam lingkaran keberadaan.
Seseorang yang masih terus menghimpun karma yang tercemar akan terus dilahirkan kembali ke dalam lingkaran keberadaan, terkecuali kalau ia sudah sanggup menembus kesunyataan. Begitu seseorang sudah bisa menembus shunyata secara langsung, maka ia sudah menghentikan karma pelempar yang akan melemparkannya ke dalam kelahiran-kelahiran kembali di dalam samsara.
Sekarang, masuk pada penjelasan makhluk hidup, yakni seseorang yang menghimpun atau memproduksi karma. Tapi, sebenarnya siapa yang dimaksud dengan makhluk hidup?
Buddha, oleh karena keterampilan agung beliau berikut welas asih agungnya, menjelaskan siapa sebenarnya makhluk hidup dengan berbagai macam cara. Alasan mengapa demikian, dipaparkan oleh Arya Nagarjuna, semata-mata menyerupai seorang guru sekolah yang mengajarkan huruf-huruf sesuai dengan kemampuan muridnya. Dengan cara yang sama, Buddha mengajarkan tentang makhluk hidup kepada murid-murid sesuai dengan kemampuan mereka. Dikarenakan kemampuan murid-muridnya yang berbeda-beda, Buddha memberikan penjelasan mengenai makhluk hidup dengan cara yang berbeda-beda pula.
Ketika Buddha mulai menjelaskan tentang siapa yang dimaksud sebagai makhluk hidup, pertama-tama disesuaikan dengan pendengarnya, dan dijelaskan dengan cara yang sederhana. Pada lain kesempatan, penjelasan yang semakin halus dan dalam pun diberikan, sampai akhirnya penjelasan akhir mengenai kebenaran sesungguhnya akan topik ini pun diberikan.
Penjelasan awal yang diberikan sehubungan dengan makhluk hidup adalah makhluk yang tidak memiliki ‘aku’ atau ‘diri’ yang kekal, tunggal, dan berdiri sendiri. Jadi, pada dasarnya, makhluk hidup dengan konsep ‘diri’ yang kekal, tunggal dan bisa berdiri sendiri inilah yang ditolak oleh pandangan Buddhis. Dari sini, Buddha kemudian memberikan penjelasan yang mulai beragam sehubungan dengan ‘diri’ atau ‘aku’ ini. Misalnya penjelasan bahwa ‘diri’ atau ‘aku’ sama dengan kelima skandha, ataupun sama dengan salah satu skandha, yaitu skandha kesadaran.
Hingga akhirnya sampai pada penjelasan sesungguhnya akan sifat dasar ‘diri’ atau ‘aku,’ yaitu penjelasan berdasarkan pandangan Madhyamika Prasangika, pandangan filosofis tertinggi di dalam filsafat Buddhis, di mana dijelaskan bahwa ‘aku’ atau ‘diri’ hanya eksis di dalam batin, artinya muncul dalam batin berdasarkan skhanda, sesuatu yang berdasarkan suatu kesan, kemudian dianggap sebagai sesuatu yang eksis (lalu memberi atribut pada hal itu seolah-olah ada dengan sendirinya). Batin mempersepsikan adanya diri/ aku, kemudian memberi nama ‘aku,’ yang terjadi semata-mata bergantung pada skandha, ia tidak bisa eksis dengan sendirinya atau berdiri sendiri.
Jadi, ‘aku’ atau ‘diri’ inilah yang ditolak oleh semua aliran Buddhis, yaitu ‘aku’ yang kekal, tunggal, dan berdiri sendiri. Sehubungan dengan salah satu penjelasan Buddha, bahwa ‘aku’ hanya eksis kalau bergantung pada skandha-nya, maka di sinilah muncul beberapa variasi, yaitu pada bagaimana hubungan di antara ‘aku’ atau ‘diri’ dengan skandhanya. Banyak aliran filosofi yang menjelaskan bahwa di antara skandha-skandha tersebut, bisa ditemukan ‘diri’ atau ‘aku’. Kalau demikian halnya, berarti ‘diri’ atau ‘aku’ tersebut masih bisa muncul dengan sendirinya dan bisa berdiri sendiri. Di sinilah letak perbedaan pandangan antara berbagai aliran filosofi Buddhis sampai dengan liran yang tertinggi, Madhyamika Prasangika.
Di dalam pandangan Madhyamika Prasangika, aliran filsafat Buddhis yang tertinggi, tidak ada ‘diri’ atau ‘aku’ yang bisa ditemukan di antara skandha. Walaupun ‘diri’ atau ‘aku’ bergantung pada skandha, tapi apabila seolah-olah bisa berdiri dengan sendirinya, inilah yang ditolak.
‘Aku’ atau ‘diri’ hanyalah penampakan yang muncul di dalam batin berdasarkan atau bergantung pada adanya skandha, atau sesuatu yang dilabeli oleh batin berdasarkan pada skandha. Tidak ada konsep ‘aku’ yang muncul dengan sendirinya, tidak boleh ada terbersit sedikitpun pemikiran akan adanya ‘diri’ atau ‘aku’ yang bisa muncul dengan sendirinya dan bisa berdiri sendiri. Bukan skandha yang menghasilkan aku, tapi batin mempersepsikan aku berdasarkan skandha.
Untuk memahami penjelasan ini dengan lebih baik, ada sebuah analogi yang digunakan oleh Guru besar India, Chandrakirti, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Je Tsongkhapa. Chandrakirti mengatakan: Ibarat seseorang yang melihat gulungan tali tapi salah memahaminya sebagai ular.
Je Tsongkhapa menjelaskan bahwa ketika subuh, di mana hanya ada sedikit cahaya, dan di atas tanah terdapat seutas gulungan tali, maka kalau ada orang yang datang, ia dengan mudah sekali menganggap seutas tali itu sebagai seekor ular. Ketika melihat tali, ia berpikir “Oh, itu ada ular.â€
Ini berarti ketika skandha dipersepsikan oleh batin, maka berdasarkan kesan, seseorang menganggap adanya aku di dalam skandha tersebut. Ketika melihat skandha, mereka berpikir, “Oh, ini adalah si A, si B, si C, dst†Mereka bisa mengenali orang-orang tertentu dikarenakan mereka melihat skandha orang-orang tersebut, tapi sebenarnya orang-orang yang dikenali berdasarkan skandha tersebut tidak eksis di dalam skandha-skandha mereka.
Sama seperti tidak ada unsur ular di dalam tali, ‘diri’ atau ‘aku’ tidak dihasilkan oleh skandha. Untaian atau gelungan tali tidak menghasilkan ular, skandha tidak menghasilkan ‘diri’ atau ‘aku’.
Misalnya kita lihat di Indonesia ini yang memiliki banyak jenis tumbuh-tumbuhan. Seandainya seseorang berjalan di hutan pada saat subuh atau senja, dalam kondisi tidak banyak cahaya, ketika ia melihat seutas tali di tanah, maka dengan mudah ia akan menganggapnya sebagai seekor ular. Orang ini bukan hanya berpikir bahwasanya itu adalah ular, tapi ia juga benar-benar merasa takut, karena ia memang benar-benar merasa itu adalah ular. Tapi sebenarnya tidak ada unsur ular sedikitpun di dalam tali tersebut.
Tidak ada sifat atau kualitas ular sedikitpun yang terkandung di dalam tali tersebut. Semuanya murni hanya persepsi, yaitu kesan yang ditangkap oleh batin, yaitu persepsi akan adanya ‘aku’ sebagaimana kita jelas memahami bahwa tidak ada kualitas ular sedikitpun yang terkandung di dalam tali, tapi dikarenakan batin menangkap kesan adanya ular, sehingga batin pun bisa merasa ketakutan.
Ketika kita mempersepsikan/ melihat/ memikirkan skandha-skandha kita, dan berdasarkan skandha tersebut kita mempersepsikan adanya ‘aku’ dan kita berpikir “Inilah aku,†kita membayangkan adanya diri kita sendiri, dan memang kita kan membayangkan diri sendiri. Tapi kita tidak membayangkan atau memikirkannya sehubungan dengan ketergantungannya terhadap skandha, kita hanya merasa diri kita memang ada dengan sendirinya, memang sudah ada dari sononya, yang tentu saja merupakan persepsi yang keliru.
Persepsi keliru yang kita dapatkan berdasarkan penampakan skandha dalam batin kita, sehingga batin kita menangkap kesan adanya ‘diri’ atau ‘aku’, yang tidak bergantung pada hal lain apapun juga. Kita membayangkan ‘diri’ atau ‘aku’ yang bisa berdiri sendiri tanpa harus bergantung pada skandha, dan ‘diri’ atau ‘aku’ ini bukanlah pihak yang menghimpun karma, karena ‘diri’ atau ‘aku’ yang bergantung pada skandha memang eksis.
‘Aku’ yang menghimpun atau mengumpulkan karma adalah ‘aku’ yang dipersepsikan sehubungan dengan skandha, yaitu ‘aku’ yang muncul di dalam batin dalam kaitan atau hubungannya dengan aku yang memiliki skandha. Yaitu ketika seseorang berpikir ‘Inilah aku, aku ada, aku akan pergi ke sini, aku akan pergi ke sana, aku akan melakukan ini, aku akan melakukan itu,’; ‘Aku’ yang sederhana ini, yang muncul atau dipersepsikan oleh batin berdasarkan skandha, ‘aku’ inilah yang menghimpun karma.
Untuk memberikan penjelasan yang lebih sederhana, apabila tidak semua yang hadir di sini memahami penjelasan ‘aku’ dan skandha, maka untuk gampangnya kita bisa membagi makhluk hidup menjadi dua pembagian, yaitu jasmani dan batin.
Contoh, kalau kita sakit kepala, kemudian kita berpikir ‘aku sedang kesakitan, kepalaku sakit, aku sakit,’ maka ‘aku’ yang kita persepsikan berdasarkan sakit fisik ini memang eksis, dan inilah yang disebut dengan ‘aku’ yang konvensional. ‘Aku’ atau ‘diri’ yang demikian adalah ‘aku’ kita yang berfungsi. Kembali pada contoh sakit kepala, aku yang sakit kepala kemudian minum obat dan sakit kepalanya hilang, dan ‘aku’nya merasa lebih baik. Jadi, ‘aku’ yang sakit, kemudian sembuh, inilah ‘aku’ yang berfungsi, dan aku ini memang eksis.
Sebenarnya ketika kita sakit kepala, bukan kitanya yang sakit kepala, tapi kepalanya yang sakit, yaitu salah satu bagian tubuh kita yang mengalami kesakitan fisik. Tapi ketika kita sakit kepala, kita bilang ‘aku sakit kepala,’ yang merupakan indikasi yang jelas kalau ‘aku’ eksis semata-mata bergantung ada skandha, dalam hal ini, salah satu bagian tubuh kita.
Di mana ‘aku’ yang merasakan sakit? ‘Aku’nya tidak ada di dalam kepala, pun bukan kepalanya itu sendiri, jadi semata-mata hanya penampakan oleh batin.
Jadi, sekarang kita sudah memaparkan poin pertama, siapa atau apa yang menghimpun/ mengumpulkan/ menghasilkan karma, yaitu ‘aku’ yang semata-mata berfungsi tadi. Tentu saja ini hanya penjelasan ringkas dan tidak mudah untuk dipahami dan diresapi. Oleh sebab itu, Rinpoche minta kepada hadirin semua untuk benar-benar memikirkan dan merenungkannya baik-baik.
Lanjut, sebenarnya apa yang tadi baru dijelaskan mengenai ‘aku’ tersebut, dirasakan tidak cukup dan tidak diterima oleh penganut aliran filosofi buddhis lain. Karena penjelasan bahwasanya ‘aku’ hanya semata-mata penampakan oleh batin, dirasakan tidak cukup, sehingga muncul penjelasan ‘aku’ yang berkaitan dengan skandha, apakah ‘aku’ sama dengan keseluruhan skandha, atau sama dengan salah satu skandha. Tapi dari kedua penjelasan ini, kedua-duanya mengindikasikan adanya ‘aku’ yang dihasilkan oleh skandha, yang bisa berdiri sendiri.
Sampai di sini, menurut jadwal seharusnya ada sesi Tanya-Jawab, tapi kalau kita tunggu sampai jam 4 untuk tanya-jawab, pada saat itu kita sudah masuk topik lain. Jadi, ada baiknya sesi tanya-jawab kita lakukan sekarang, mumpung masih berada pada topik ini. Kalau ada yang mau bertanya untuk poin pertama ini, silahkan.
Tanya: Tadi disebutkan ada pembagian 5 Skandha dan 2 Skandha. Mohon dijelaskan.
Jawab: Kelima skandha bisa dikelompokkan lagi menjadi dua bagian besar, yaitu Skandha Fisik dan Skandha Mental. Skandha fisik hanya ada satu, yaitu tubuh jasmani. Skandha mental ada empat, yaitu berbagai macam unsur yang membentuk batin, yakni: Perasaan, Identifikasi, Faktor-faktor Pembentuk, dan Kesadaran. Jadi penjelasan ini diberikan semata-mata untuk mempermudah, karena tidak semua orang memahami penjelasan Panca Skandha, sehingga pembagian lebih mudahnya adalah pembagian Fisik dan Mental, yaitu seorang makhluk hidup terbagi menjadi Tubuh Jasmani dan Batin.
Tanya: Tadi disebutkan bahwa seseorang memahami shunyata akan berhenti mengumpulkan karma. Mohon dijelaskan.
Jawab: Ya, seseorang yang sudah menembus shunyata secara langsung akan berhenti mengumpulkan karma yang tercemar. Jadi bukan sembarang karma atau karma secara umum, tapi karma untuk terlempar kembali dalam salah satu kelahiran kembali di dalam samsara. Sehubungan dengan shunyata atau kekosongan itu sendiri, shunyata adalah konsep atau istilah yang negatif, yakni pemahaman bahwa tidak ada satu pun eksistensi yang bisa berdiri sendiri tanpa harus bergantung pada fenomena lain. Yaitu, tidak ada satu pun eksistensi yang memiliki hakekat yang sejati (intrinsik), yang memiliki sifat dasar yang sejati (inheren), dan berdiri sendiri tanpa bergantung pada fenomena lain (independen). Ketika seseorang sudah mampu menembus pemahaman ini dengan sebenar-benarnya dan secara langsung, yang disebut sebagai penembusan shunyata secara langsung, maka ia sudah menjadi seorang Arya, yaitu ia sudah mencapai tingkat realisasi spiritual seorang Arya. Dengan menembus shunyata secara langsung, maka terhentilah proses menghimpun atau menghasilkan karma-karma pelempar baru untuk dilahirkan kembali di dalam samsara.
Tanya: Apakah analogi ‘aku’ dengan ‘skandha’ bisa diterapkan dengan perumpamaan benda dengan bayangannya? Apakah boleh dibilang bayangan tidak ada kalau tidak ada bendanya? Apakah benda ada dulu, baru ada bayangannya, atau sama-sama muncul secara berbarengan, atau bagaimana?
Jawab: Untuk analogi objek dengan bayangannya atau pantulan di cermin untuk dikaitkan dengan penjelasan ‘diri’ atau ‘aku,’ tergantung pada bagaimana analogi tersebut digunakan. Jika Anda melihat bayangan seseorang, dan kemudian berdasarkan bayangan tersebut Anda mempersepsikan adanya orang tertentu, dengan kata lain, berdasarkan skandhanya, batin Anda mempersepsikan adanya ‘diri’, maka pemakaian analogi bayangan dengan objek sudah benar. Dengan cara yang sama kita bisa menggunakan analogi pantulan cermin. Ketika berdasarkan pantulan di cermin, seseorang kemudian mempersepsikan adanya ‘diri’ atau ‘aku’, maka proses yang sama juga bisa diamati di sini, yaitu analogi yang menjelaskan bagaimana ‘diri’ atau ‘aku’ dipersepsikan.
Sehubungan dengan pertanyaan apakah objek dan bayangannya bergantung pada fenomena lain, kalau ini yang ditanyakan, jawabannya tentu saja ya. Eksistensi segala sesuatu bergantung pada hal atau fenomena lain. Jika ada satu botol air memiliki bayangan, maka bayangan itu bergantung pada adanya botol air. Botol air itu sendiri bergantung pada hal lain, misalnya karena itu adalah botol plastik, maka bergantung pada adanya plastik, orang yang membikin plastiknya, orang yang membikin botolnya, karena botol air, berarti bergantung pada adanya air, botol, dst. Jadi, segala sesuatu bisa eksis tergantung pada fenomena atau hal lain. Lebih lanjut, kalau menurut pandangan Madhyamika Prasangika, bayangan botol bergantung pada adanya botol, dan adanya botol juga bergantung pada adanya bayangannya.
Rinpoche mengucapkan ‘Selamat Menikmati Makan Siang’ untuk seluruh peserta.
***Akhir dari Sesi 1***
[JL]