Jika kita menggunakan definisi bodhicitta yang dijelaskan di dalam Abhisamayalamkara, maka segalanya menjadi jelas karena semua poin disebutkan dengan jelas. Setiap aspek kualitasnya disebutkan, sehingga segala sesuatunya menjadi lebih tepat. Definisi bodhicitta dalam teks tersebut juga menjelaskan aspirasi/ niat yang harus ada supaya bodhicittanya menjadi lengkap. Penjelasan awal pada Sutra Kebijaksanaan lebih banyak menguraikan tentang aspek kebahagiaan/ mencapai tujuan semua makhluk, sedangkan aspek kebahagiaan/ tujuan pribadi kurang begitu diuraikan. Di dalam Ornament of Realizations, penjelasannya jauh lebih ringkas lagi, yakni hanya satu baris yang merangkum keseluruhan penjelasan yang eksplisit.
Je Rinpoche membagi penjelasan latihan batin tujuh poin instruksi sebab-akibat menjadi 3 bagian:
1. Aspirasi pada kebahagiaan makhluk lain
2. Aspirasi pada kebahagiaan sendiri
3. Aspirasi pada pencerahan sempurna
Sebelum munculnya Je Rinpoche, ada guru-guru lain yang memberikan penjelasan, tapi tidak setepat penjelasan Je Rinpoche. Kalau kita kembali melihat Sutra Kebijaksanaan, yakni pada bagian yang sesuai dengan aspek yang kedua, yaitu aspek yang membuat sebuah bodhicitta menjadi lengkap karena mencakup tujuan pribadi, yakni: ?Jika kamu benar-benar ingin mencapai Kebuddhaan yang mampu melihat semua fenomena dalam jumlah yang tak terbatas, kamu haruslah melatih penyempurnaan kebijaksanaan…? Jika seseorang ingin melihat semua fenomena dalam jumlah yang tak terbatas, yakni melihat semua fenomena bukan hanya pada level konvensional, tapi juga level ultimate, maka ia haruslah melatih penyempurnaan kebijaksanaan. Ada bagian singkat lainnya yang menjelaskan aspek lain dari bodhicitta, yakni bagian yang menyebutkan ?memenuhi tujuanmu sendiri…? dan ?dengan demikian mencapai Kebuddhaan.?
Jika seseorang ingin mencapai Kebuddhaan dalam kaitannya dengan semua fenomena, sejalan dengan pencapaian Kebuddhaan, ini adalah kondisi yang diwakili dengan kata kerja, bukan kata benda. Kata kerjanya adalah secara langsung menembus semua fenomena dalam jumlah yang tak terbatas, dengan kata lain, harus melatih diri dalam Sutra Ibu. Jika seseorang ingin memahami fenomena relatif dan ultimate, ia haruslah melatih diri dalam Sutra Ibu, yakni Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan.
Di dalam teks ?Essence of Refined Gold? hal. 29, seseorang membangkitkan bodhicitta dengan pernyataan berikut: ?Karena Buddha adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kapasitas untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan dan memberikan kebahagiaan, aku akan mencapai Kebuddhaanku sendiri agar dapat melakukan hal tersebut.?
Secara umum, bodhicitta terbagi dua, yakni aspirasi bodhicitta yang sederhana dan aspirasi bodhicitta dengan janji/ komitmen. Dalam aspirasi bodhicitta yang sederhana, seseorang membangkitkan niat untuk mencapai Kebuddhaan untuk menolong semua makhluk, tapi tidak terikat dengan janji/ komitmen. Jika seseorang berjanji untuk tidak pernah meninggalkan aspirasi bodhicitta (aspirasi bodhicitta dengan janji) maka ada sejumlah silanya. Sila-sila ini bertujuan untuk menjaga agar bodhicitta tidak merosot pada kehidupan saat ini (4 sila) dan dalam semua kehidupan yang akan datang (8 sila), total 12 sila.
Pada teks terjemahan hal. 30 bagian atas, disebutkan bahwa ?tidak cukup hanya membangkitkan aspirasi bodhicitta,? ini artinya tidaklah cukup membangkitkan aspirasi bodhicitta tanpa janji, tapi seseorang seharusnya berkomitmen untuk mewujudkan aspirasi tersebut. Untuk mencegah bodhicitta merosot, yang dimulai sejak kehidupan sekarang ini, seseorang haruslah membangkitkan antusiasme/ semangat dalam membangkitkan bodhicitta. Cara terbaik untuk membangkitkan antusiasme terhadap bodhicitta adalah dengan merenungkan manfaat-manfaat bodhicitta.
Jadi, hal pertama yang dilakukan untuk mempertahankan antusiasme terhadap bodhicitta adalah dengan merenungkan manfaat-manfaatnya. Ini tidak hanya mempertahankan, tapi juga memperkuat, dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan membangkitkan bodhicitta enam kali sehari.
Jika seseorang sudah membangkitkan bodhicitta, tapi mengabaikan bahkan satu orang makhluk pun, maka itu akan berpengaruh pada bodhicittanya. Sila ketiga untuk menjaga agar bodhicitta tidak merosot adalah tidak pernah mengabaikan bahkan satu orang makhluk pun, yang demi siapa seseorang membangkitkan bodhicitta. Sila keempat adalah berupaya keras untuk mengumpulkan kebajikan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk memperkuat dan meningkatkan bodhicitta.
Mari kita lihat pada sila pertama dari keempat sila untuk menjaga agar bodhicitta tidak merosot, yakni kita harus merenungkan dengan sukacita manfaat-manfaat bodhicitta enam kali sehari. Ada 10 manfaat bodhicitta yang tercantum pada lamrim, tapi dalam teks ini hanya 8 dengan urutan yang sedikit berbeda. Kedelapan manfaat tersebut adalah:
1) Kita akan menjadi obyek yang mulia untuk menerima persembahan dari dewa dan manusia
2) Kita akan melampaui silsilah Pendengar dan Perealisasi Sendiri
3) Kita tidak akan terkena penyakit atau bahaya
4) Kita akan dengan mudah mencapai berbagai macam aktivitas
5) Kita tidak akan terlahir kembali di alam-alam rendah
6) Jika terlahir di alam-alam rendah, kita akan dengan mudah untuk keluar dari sana
7) Kita akan dengan cepat memurnikan karma buruk yang berat
8) Kita akan mengambil bentuk fisik yang tidak bisa ditampung oleh semesta
Kalau kita membandingkan 8 manfaat di atas dengan 10 manfaat yang ada pada Garis-garis besar Lamrim, kita bisa melihat bahwa intinya kurang lebih sama, walaupun urutannya berbeda. Kalau kita merenungkan kesepuluh manfaat tersebut, akan cukup untuk menguatkan batin pencerahan kita. Sila kedua yang konsisten dengan tujuan memperkuat bodhicitta adalah membangkitkannya 6 kali dalam 24 jam, yakni dengan merenungkan formula ?Berlindung dan Membangkitkan Bodhicitta,? yakni:
Pada Buddha, Dharma, dan Sanggha yang mulia,
Aku berlindung hingga aku mencapai pencerahan
Dengan praktek berdana dan kebajikan lain yang kulakukan
Semoga aku merealisasikan Kebuddhaan demi kebaikan semua makhluk.
Kita bisa menggunakan bait di atas untuk membangkitkan bodhicitta enam kali sehari, dengan catatan kita mampu memahami maknanya dan tidak sekadar melafalkan saja. Yakni, kita harus memahami alasan mengapa kita perlu mencapai Kebuddhaan dan bertekad untuk mencapainya untuk dua alasan.
Jika seseorang sudah memiliki praktek pribadi harian, maka sila mengembangkan bodhicitta 6 kali sehari ini tidak perlu dilakukan secara terpisah, karena sudah tercakup di dalam praktek-praktek seperti misalnya Lama Chopa, Guru Yoga Enam Sesi, ataupun Ganden Lha Gyama. Misalnya kita melafalkan bait perlindungan dan membangkitkan bodhicitta di pagi hari maka kita sudah menunaikan sila membangkitkannya 3 kali di pagi hari, dst. Akan tetapi, perlu diingat dan diperhatikan, bahwa sila ini hanya terpenuhi apabila seseorang benar-benar memahami bahwa pada saat pelafalan bait tersebut ia sedang memenuhi sila tersebut, yakni sila mempertahankan bodhicitta pada kehidupan sekarang. Hal ini harus jelas ada di batin orang tersebut.
Sila yang ketiga adalah tidak pernah mengabaikan bahkan satu makhluk pun, karena demi semua makhluk-lah seseorang membangkitkan bodhicitta. Seseorang tidak mematahkan sila ini bila misalnya sedang terlibat dalam sebuah pertengkaran dan kemudian mengucapkan kata-kata seperti ?saya tidak ingin melihat mukamu lagi,? ?enyahlah dari hadapanku,? atau ?saya tidak ingin bertemu denganmu lagi.? Sila ini tidak patah hanya dengan mengucapkan kata-kata tersebut, tapi sila patah ketika di dalam batin orang tersebut muncul pemikiran bahwa ?Saya tidak akan pernah melakukan apapun yang bermanfaat bagi orang itu untuk selama-lamanya,? atau ?Saya tidak akan pernah memberikan kebahagiaan atau meringankan penderitaan orang itu.? Sila itu akan patah pada saat seseorang benar-benar berpikir seperti itu, jadi bukan hanya sekedar bertengkar.
Sila berikutnya adalah mengumpulkan kebajikan, misalnya dengan memberikan persembahan. Sila ini cukup mudah untuk dipenuhi karena kita semua sering melakukannya, ketika kita mempraktekkan Ganden Lha Gyama, Guru Yoga Enam Sesi, dst, di mana praktek memberikan persembahan ini sudah tercakup di dalamnya. Sila ini juga terpenuhi ketika kita mempersembahkan makanan kita sehari-hari, atau mempersembahkan teh, dsb. Namun, yang penting adalah kita harus menyadari bahwasanya ketika kita melakukan hal-hal tersebut, kita sedang memenuhi sila kita, yakni sila mempertahankan bodhicitta pada kehidupan sekarang.
Berikutnya adalah 8 sila yang harus dijaga untuk mempertahankan bodhicitta pada kehidupan yang akan datang, yang terdiri dari 4 perbuatan hitam yang harus dihindari dan 4 putih yang harus dijalankan. Di dalam Essence of Refined Gold, sang penulisnya mengombinasikan keduanya, yakni sebuah perbuatan hitam yang harus dihindari langsung dibarengi dengan perbuatan putih sebagai antidotnya. Di teks-teks yang lain, keempat jenis perbuatan ini dipaparkan secara terpisah.
Di dalam hal. 31 dijelaskan, perbuatan yang harus dihindari adalah ?membohongi pemberi sila, guru spiritual, dsb, termasuk orangtua? dan perbuatan yang harus dilakukan adalah ?bertekad untuk tidak membohongi atau memberikan kesan yang tidak benar kepada orang-orang tersebut, baik serius maupun bercanda, dan pada kondisi nyawa taruhannya.? Untuk memenuhi sila ini kita harus jelas memahami apa yang dimaksud dengan kebohongan, supaya kita bisa menjaga sila ini dengan baik dan benar.
Penjelasan mana yang termasuk kebohongan atau tidak ada pada penjelasan karma dan akibat-akibatnya, yakni pada sepuluh jalan karma. Kebohongan terjadi ketika kita dengan sengaja mengubah kenyataan, mengidentifikasi sesuatu hal dan kemudian dengan sengaja memodifikasinya. Contoh, ketika kita sedang menuju suatu tempat dan kemudian seseorang datang dan menanyakan apakah kita bertemu dengan orang tertentu. Jika tadinya kita sedang berjalan dan tidak begitu memperhatikan, dan kemudian mengatakan, ?tidak, saya tidak melihat,? maka ini bukanlah kebohongan, karena tidak ada unsur merekayasa kenyataan. Namun apabila ketika kita melewati jalan tersebut dan memang berpapasan dengan orang yang sedang ditanyakan, dan kemudian kita dengan sadar mengingkarinya, maka ini adalah kebohongan, karena kita sudah merekayasa kebenaran, yakni mengubah apa yang sebenarnya kita lihat. Apabila tindakan berbohong ini tidak dibarengi dengan kilesa, yakni salah satu dari ketiga racun mental, maka tindakan ini termasuk berbohong, tapi bukan merupakan jalan karma berbohong yang lengkap.
Berikutnya, karma buruk yang harus dihindari adalah menyebabkan seseorang menyesali perbuatan baik yang telah dilakukannya. Jika seseorang telah bertindak murah hati, dan kemudian ada orang lain yang mengatakan, ?ya, bagus sekali apa yang kamu lakukan, tapi….mungkin sudah berlebihan,? dan akibatnya kita menyebabkan orang tersebut timbul keragu-raguan, maka ini adalah sesuatu yang harus kita hindari dengan segenap daya upaya. Bahkan jika kita memang menyadari bahwa sebuah tindakan berdana sudah melewati batas ataupun katakanlah tidak diberikan kepada ladang kebajikan yang besar, tapi biar bagaimanapun tindakan berdana itu sudah dilakukan, oleh sebab itu kita tidak perlu menyebabkan orang lain menyesalinya, karena ini adalah sebuah perbuatan yang sangat berbahaya.
Jika kita mengetahui seseorang berdana pada penerima yang tidak benar, maka kita seharusnya mengintervensi sebelum tindakan berdana itu dilakukan, dan dengan demikian kita tidak mematahkan sila. Antidot dari ini adalah menuntun orang-orang yang sudah siap untuk dibawa pada kendaraan agung. Jika misalnya seseorang mempercayai anda, dan kemudian orang tersebut menunjukkan ketertarikannya pada ajaran Buddha, terutama ajaran Mahayana, dalam kondisi seperti inilah barulah kita boleh dan harus mengarahkan seseorang pada ajaran Mahayana, yakni mengejar kendaraan agung. Akan tetapi, apabila orang tersebut lebih cocok dan memang menginginkan kendaraan kecil, maka inilah yang harus kita lakukan.
Berikutnya adalah berbicara kasar karena kemarahan kepada mereka yang telah membangkitkan bodhicitta, di mana ucapan kasar itu didorong oleh amarah kepada mereka yang sudah mencapai batin pencerahan. Antidotnya adalah kita harus melihat semua Mahayanis/ Bodhisatwa sebagai guru, yang artinya melihat semua orang sebagai guru. Jangan salah paham dengan kata guru di sini. Jika kita bisa melihat semua makhluk sebagai guru, tentu sangat baik sekali. Karena kita bisa belajar dari semua makhluk berdasarkan pada apa dan bagaimana orang tersebut. Mereka juga menjadi obyek di mana kita bisa mengumpulkan banyak kebajikan.
Tentu saja ini mudah dilakukan terhadap orang-orang yang tenang, damai, dan terkendali, karena tidak sulit bagi kita untuk melihat mereka sebagai orang yang bisa menjadi obyek mengumpulkan kebajikan. Tapi kebalikannya, yakni orang-orang yang kasar, bersifat bermusuhan, sangat mengganggu, dsb, yakni kurang lebih seseorang yang kalau kita ketemu dengannya kita ingin cepat-cepat menghindar, tentu saja cara pandang kita terhadap orang seperti ini berbeda. Kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk membangkitkan welas asih kepada mereka, menolong mereka, karena kita sadar bahaya dari kelakuan mereka yang pada akhirnya akan menimbulkan penderitaan.
Apabila kita mampu membangkitkan welas asih kepada orang-orang seperti itu, maka ini merupakan kesempatan untuk melakukan kebajikan. Cara lain melihat orang-orang seperti ini, seandainya kita tidak mampu membangkitkan welas asih, yakni sebagai berikut: ketika orang tersebut berperilaku buruk, misalnya bertemperamen atau berkarakter buruk, kita bisa menanyakan pada diri sendiri: apakah aku juga seperti ini? Jadi kita menggunakan mereka sebagai cermin untuk melihat diri kita sendiri.
Perbuatan buruk berikutnya yang harus dihindari adalah sifat hipokrit atau menipu orang lain, dalam artian kita tidak boleh menyembunyikan kesalahan dan berpura-pura memiliki kualitas baik yang sebenarnya tidak kita miliki. Tapi kita juga harus pandai-pandai melihat situasi dalam artian kita tidak perlu mengobral segala kesalahan kita kepada semua orang setiap saat, terutama kalau kita mengungkapkan kesalahan kita justru akan membahayakan orang lain. Kalau kasusnya sudah begini, lebih baik tidak mengungkapkan kesalahan kita karena justru akan membahayakan orang lain. Di sini bukan lagi masalah menyembunyikan kesalahan atau tidak, tapi lebih pada apakah sebuah tindakan membahayakan pihak lain atau tidak.
Jika kita mengungkapkan kesalahan kita dan akibatnya kita membuat orang lain tidak nyaman, maka kita harus menghindari melakukannya. Inilah yang sering dihadapi oleh Rinpoche ketika orang-orang datang berkonsultasi kepadanya dan kemudian Rinpoche menasihati mereka untuk tidak mengatakan kesalahan mereka kepada orang lain. Tapi orang-orang tersebut tidak mengindahkan nasihat Rinpoche dan tetap melakukannya, dan akhirnya harus kembali berkonsultasi kepada Rinpoche karena masalah baru yang muncul. Mereka berkata, ?Sekarang saya paham mengapa Rinpoche menasehati demikian.? Kemudian Rinpoche akan bertanya, ?Mengapa kamu melakukannya padahal sudah dibilang tidak usah?? mereka menjawab, ?Yah, karena saya merasa tidak jujur kalau tidak mengatakan kesalahan yang telah dilakukan.? Rinpoche menanggapi dengan mengatakan bahwa ini bukan masalah jujur atau tidak, tapi lebih kepada sifat naif. Orang sering salah paham antara ketidak-jujuran dengan kenaifan. Kebalikan dari perbuatan ini tentu saja kita harus senantiasa bersikap jujur, tapi juga cerdas, dalam artian tidak perlu mengatakan semua yang kita pikirkan kepada semua orang. Kita harus memikirkan akibat dari segala sesuatu yang kita ungkapkan keluar. Jika kita merasa ada yang bakal tersakiti, maka lebih baik hindari untuk mengatakannya.
Selanjutnya, apakah cukup bagi kita untuk membangkitkan aspirasi bodhicitta yang sederhana saja? Jawabannya adalah tidak. Kita harus berupaya untuk mempraktekkan Sumpah Bodhisatwa, yaitu melakukan aktivitas-aktivitas Bodhisatwa yang luas, serta melatih penyempurnaan (Paramita). Dengan mematangkan batin kita sendiri barulah kita bisa mematangkan batin orang lain. Jadi, kembali lagi, apakah membangkitkan aspirasi bodhicitta saja sudah cukup? Cukup untuk apa? Kalau untuk mencapai Kebuddhaan, tentu tidak. Walaupun membangkitkan bodhicitta yang sederhana saja sudah cukup untuk mengumpulkan kebajikan yang sangat besar, tapi belum cukup untuk mencapai Kebuddhaan, dengan demikian tidak cukup untuk memperjuangkan kebahagiaan semua makhluk. Sehingga kesimpulannya seseorang harus berupaya untuk mempraktekkan sumpah bodhicitta penerapan, dengan kata lain, mempraktekkan Sumpah Bodhisatwa. (jl)