Topik pembicaraan His Holiness pada malam itu (19:00 Waktu Indonesia Barat) adalah “Ethics and Society”, yang disampaikan dalam Bahasa Inggris oleh His Holiness dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis oleh Mathieu Ricard kepada publik kota Paris. Di Bandung, uraian His Holiness diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Berikut rangkuman isi pembicaraan yang disampaikan oleh His Holiness berdasarkan catatan tangan penerjemah:
Pertama-tama saya hendak menyatakan terima kasih dan penghargaannya kepada publik Prancis atas dukungan mereka terhadap beliau. (Seperti biasa, His Holiness yang selalu tampil ceria dan sering tertawa tergelak-gelak mengawali ceramah dengan mempersiapkan tempat duduknya yang nyaman. Beliau bercerita tentang kondisi fisik beliau yang sehat setelah sebelumnya sempat menjalani operasi pembuangan batu empedu di bulan Oktober 2008 yang lalu. Beliau juga menceritakan bagaimana perasaannya menanggapi apa yang terjadi di Tibet sejak insiden Maret tahun lalu, namun tetap berusaha menjaga kedamaian batinnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa seperti itu. Bahwasanya kejadian seperti itu menguatkan kembali praktik cinta kasih dan welas asihnya.)
Di abad-21 ini kita bisa melihat kemajuan-kemajuan materi, di mana hampir semua negara di dunia ini mengalami perkembangan secara materi. Akan tetapi, kemajuan materi ini bukanlah jaminan dalam memberikan kebahagiaan sejati. Kadang-kadang kita bisa mengamati bahwa orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan lebih damai batinnya dibandingkan dengan para miliuner yang selalu diliputi stres, kecemasan dan ketakutan. Oleh sebab itu, kemajuan materi memiliki batasan di dalam memberikan kedamaian dan kebahagiaan batin. Tentu saja kemajuan materi itu baik dalam rangka menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung yang bagus dan nyaman, akan tetapi masalah timbul ketika kita mengandalkan kebahagiaan kita sepenuhnya pada benda-benda materi. Benda-benda materi hanya bisa menyediakan kenyamanan fisik, dan bukan jaminan dalam mendapatkan kebahagiaan mental. Kebahagiaan mental hanya bisa diperoleh dari hal-hal yang bersifat mental pula.
Kadang kita melihat bagaimana seseorang yang dikelilingi oleh lingkungan yang tak bersahabat namun ia sendiri memiliki batin yang tenang. Namun, di sisi lain, ada orang yang dikelilingi oleh lingkungan yang sangat nyaman dan teman-teman yang bersahabat, namun ia sendiri dirundung oleh ketidak-bahagiaan. Oleh sebab itu, kebahagiaan kita bergantung pada kondisi internal batin kita sendiri.
Sehubungan dengan kekuatan internal batin, kita semua memiliki potensi yang sama. Yang pertama dan utama adalah berkaitan dengan faktor biologis. Bisa dilihat sejak awal kita memiliki kehidupan dan kemudian melangsungkan kehidupan tersebut, yakni sejak kita ada di dalam kandungan ibu. Dikatakan bahwa kondisi batin seorang ibu merupakan faktor yang sangat krusial terhadap bayi yang belum lahir tersebut, bahkan sampai setelah bayi tersebut dilahirkan. Keberlangsungan hidup sang bayi bergantung sepenuhnya pada kebajikan makhluk lain. Para dokter medis dan ilmuwan bahkan berkesimpulan keberlangsungan hidup seorang bayi pada minggu-minggu pertama kelahirannya sepenuhnya bergantung pada sentuhan kasih sayang sang ibu, termasuk pada perkembangan otaknya. Jelas sekali ini menunjukkan bagaimana faktor biologis yang terbentuk secara alami dan kebaikan hati makhluk lain sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup seorang makhluk. Kita bahkan dapat melihat faktor ini pada hewan, misalnya burung, kucing dan anjing, di mana anak-anak mereka bergantung sepenuhnya pada kasih sayang induk-induk mereka.
Ada satu cerita ketika saya sedang menempuh penerbangan jauh dari Jepang ke Amerika yang memakan waktu 8 hingga 10 jam. Beliau mengamati ada sepasang anak muda yang memiliki 2 orang anak. Anak yang pertama masih kecil, yang kedua sudah lebih besar. Anak yang lebih besar lebih mudah diurus. Yang repot mengurusi anak yang lebih kecil, yang sering menangis dan lari ke sana ke mari. Awalnya kedua orang tersebut, ayah dan ibunya, menjaga anak-anak mereka bersama-sama. Tapi beberapa waktu kemudian sang ayah pun tertidur dan tidak mengurusi lagi. Sedangkan ibunya sepanjang malam masih terus terjaga untuk mengawasi anaknya. His Holiness bahkan sempat melihat betapa merahnya mata sang ibu yang menunjukkan betapa ia sudah begitu letih namun masih terus menjaga anaknya. Beliau mengamati bagaimana sang ibu melakukan semuanya dengan sukarela, penuh tanggung-jawab, tekad, dan energi kasih sayang yang luar biasa. His Holiness mengatakan kalaupun beliau memiliki sedikit rasa welas asih, itu pastilah didapatkan dari ibu beliau. Dan di sini, di ruangan ini, ada ribuan orang, juga datang ke dunia ini melalui seorang ibu. Anda semua menerima kasih sayang ibu, air susu ibu, sehingga anda semua memiliki potensi untuk menunjukkan dan memberikan kasih sayang, dan ini adalah sesuatu yang anda semua mesti ketahui.
Sekarang mari kita masuk ke topik kita, yaitu Masyarakat dan Etika. Apa arti Etika? Beberapa teman saya mengatakan bahwa Etika haruslah didasari pada keyakinan agama, namun teman-teman yang lain mengatakan tidak harus didasari pada keyakinan agama. Saya setuju dengan pendapat yang kedua. Etika adalah segala perbuatan dan perkataan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Apabila ada tindakan yang bermanfaat pada diri sendiri namun membahayakan makhluk lain, ini tidak bisa dikatakan sebagai etika. Perilaku beretika haruslah merupakan perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Contohnya kasih sayang, yakni berupa perhatian terhadap kebahagiaan orang lain. Kita bisa lihat contoh burung, di mana keberlangsungan hidup anak-anak burung sepenuhnya bergantung pada kasih sayang induknya. Ini adalah perilaku beretika dan etika ini tidak didasari pada keyakinan agama. Dan pada saat kita masih kecil sekali, saya rasa kita juga tidak mengerti apa itu agama, tapi kita sepenuhnya memahami kasih sayang ibu kita, dan ini semata-mata merupakan faktor biologis. Seorang ibu mengasihi anaknya agar mereka bahagia tanpa didasari konsep apapun atau agama apapun, tapi di sana sudah ada kasih sayang dan perilaku beretika di sana.
Jadi, kita bisa membagi etika menjadi dua bagian besar. Yang pertama adalah yang didasari pada keyakinan agama, dan kedua, yang tidak didasari oleh keyakinan agama. Yang kedua ini misalnya, semata-mata adalah hal-hal bajik. Dan sekarang kita bisa memahami apa itu spiritualitas. Spiritualitas juga bisa dibedakan antara spiritualitas yang didasarkan pada keyakinan agama dan yang tidak didasarkan pada keyakinan agama. Di sini, spiritualitas yang dimaksud adalah hal-hal yang sifatnya bajik, etika, dan moralitas, yang pada dasarnya mendatangkan kedamaian mental. Jadi tindakan fisik dan perkataan yang beretika sepenuhnya bergantung pada pola pikir atau keadaan mental yang beretika pula.
Etika moral merupakan sesuatu yang memiliki nilai-nilai universal, yang biasanya disebut nilai-nilai sekuler atau sekularisme. Ketika saya memakai kata ?sekuler? banyak orang merasa kata ini mengandung konotasi menolak agama. Di sini saya mengikuti nilai sekuler sebagaimana yang dianut oleh konstitusi India. Konstitusi India menganut nilai sekularisme tapi tidak bermaksud menolak agama. Bahkan sekularisme mencakup mereka yang tidak beragama. Oleh sebab itu, ketika saya menggunakan kata sekuler, banyak teman-teman Muslim ataupun Inggris yang mengatakan istilah itu tidak baik karena mengandung makna penolakkan terhadap agama, namun teman-teman saya yang lain mengatakan istilah itu sah-sah saja.
Kalau kita menelusuri kembali, sebenarnya pada masa Revolusi Perancis ataupun Revolusi Bolshevik, di sana sudah terjadi penolakkan, yaitu penolakkan terhadap institusi agama, bukan pada agama itu sendiri. Kalau kita bicara agama yang merujuk pada nilai-nilai welas asih misalnya, maka semua orang bisa memahami dan menerima, maka agama adalah sesuatu yang baik dan kita harus bisa melihatnya dari sudut pandang yang obyektif dan tanpa bias. Dan di sini kita tidak menolak agama tersebut. Namun, kita mencemaskan kalau ada institusi agama yang katakanlah menyalahgunakan kekuasaannya hingga menimbulkan manipulasi dan eksploitasi. Inilah yang harus kita tolak, dan penolakkan terhadap institusi agama yang salah seperti ini justru merupakan sesuatu yang benar, yakni kita harus menolak ketidak-adilan. Ketika kita bicara tentang sekularisme, ia tidak mesti sesuatu yang berlandaskan pada agama. Ia semata-mata merupakan sesuatu yang berdasarkan pada akal sehat (common sense), seperti misalnya mengembangkan hati yang hangat, penuh kasih sayang dan tanggung-jawab.
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, masing-masing individu, sejak dari awal kehidupan, sudah berhubungan dengan etika. Pertama-tama, tubuh jasmani kita ini bisa terus hidup berkat kasih sayang dan pertolongan orang lain. Lebih lanjut, batin kita yang damai yang berlandaskan etika merupakan faktor yang sangat bermanfaat dalam menjaga kesehatan kita. Seseorang yang senantiasa diliputi oleh kemarahan, kebencian dan ketakutan akan selalu merasa tidak nyaman karena senantiasa dirundung ketakutan. Kemarahan, kebencian dan ketakutan selalu berkaitan satu sama lain. Sebaliknya, welas asih, kepercayaan diri, dan rasa aman juga selalu berkaitan. Dengan welas asih kita bisa menarik teman-teman baru dan saudara-saudara yang lebih tulus. Tapi kalau seandainya anda bertemu dengan anjing gila, yah sudah pasti kalau hanya mengandalkan welas asih saja anda seorang yang bodoh karena anda tetap harus lari menyelamatkan diri. Tapi secara umum, dengan adanya welas asih dalam batin, kita bisa melihat orang lain dengan welas asih dan menimbulkan kedamaian batin. Dengan demikian, kita bisa memperlakukan orang lain dengan lebih jujur dan dengan demikian menciptakan hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan.
Ketakutan dan kebencian sebenarnya menggerogoti sistem kekebalan tubuh kita, sedangkan di sisi lain, hati yang hangat, welas asih, pikiran yang terbuka, adalah sifat-sifat yang memperkuat sistem kekebalan tubuh. Saya mengatakan ini berdasarkan pengalaman saya sendiri sehingga saya bisa benar-benar membaginya kepada Anda semua. Rahasia dalam menjaga kesehatan yang baik adalah dengan memperhatikan kualitas-kualitas keadaan mental. Ini terutama hendak saya bagikan kepada kaum perempuan, terutama yang muda-muda. Mereka membelanjakan uang yang sangat besar untuk kosmetik dalam rangka mempercantik diri, padahal kecantikan yang sebenarnya berasal dari dalam. Kecantikan sejati adalah kecantikan pada mental seseorang. Ketika dua orang bertemu, biasanya mereka tertarik secara fisik. Dan ketika mereka semakin dekat, dalam waktu yang singkat, kadang dalam hitungan hari atau minggu saja, ketika mereka semakin mengenal satu sama lain, barulah mereka menyadari bahwa rekan mereka itu tidaklah secantik yang mereka bayangkan dan di sinilah muncul permasalahan. Jadi yang lebih penting itu kecantikan dari dalam. Yah, yang paling baik sih kalau misalnya bisa dua-duanya, yakni kecantikan fisik eksternal berikut kecantikan mental yang internal. Tapi di antara keduanya, yang lebih penting adalah kecantikan mental. Dengan memberikan perhatian pada kecantikan dalam ini niscaya para wanita bisa menarik lebih banyak orang dalam kehidupan mereka. Dan ini juga berlaku untuk kaum laki-laki. Jangan mengira kecantikan luar itu adalah tubuh yang gagah perkasa, karena yang lebih penting tetapkan kecantikan mental dari dalam. Oleh sebab itu, perilaku beretika sangatlah bermanfaat untuk kesehatan kita.
Sebagai manusia, sejak mulai dari awal kehidupan sampai menjelang kematian, kita sangat bergantung pada masyarakat. Satu orang tidak bisa hidup sendirian tanpa pertolongan orang lain, yakni dari masyarakat. Oleh sebab itu, nilai-nilai etika sangat berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Welas asih sangat sangat penting untuk membangun masyarakat yang bahagia dan stabil. Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berlandaskan welas asih, dengan demikian barulah kita bisa mendapatkan masyarakat yang bahagia, dan kita harus memperjuangkan nilai-nilai ini.
Ada tiga cara dalam memperkenalkan nilai-nilai etika dan welas asih ke dalam masyarakat.
Pertama, melalui agama-agama teistik, yang menganut konsep satu tuhan yang sakral dan menciptaka segala sesuatu, di mana tuhan ini sifatnya mutlak dan memiliki kasih sayang dan welas asih. Dan orang-orang yang menganutnya kebanyakan berlandaskan pada keyakinan sehingga mempraktikkan cinta kasih dan welas asih dari tuhan ini hingga pada saat kematiannya dan ini hal yang baik.
Cara kedua adalah melalui agama-agama non-teistik, utamanya buddhisme dan jainisme. Agama ini berlandaskan pada konsep kausalitas, sebab dan akibat. Mereka bertujuan mendapatkan kebahagiaan dan mengatasi penderitaan. Jika seseorang menyakiti orang lain ia akan menderita, dan sebaliknya, apabila ia menolong, melayani dan memberi manfaat kepada makhluk lain, ia akan bahagia pula. Dengan demikian mereka mengembangkan sifat welas asih, yakni keinginan untuk melayani orang lain.
Yang ketiga adalah apa yang disebut sebagai cara sekuler. Di dunia ini ada sekitar 6 miliar manusia dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak percaya pada agama. Jumlah mereka yang banyak menjadikan mereka kaum mayoritas dan tentu saja mereka semua adalah manusia. Mereka juga menginginkan kehidupan yang bahagia dank arena jumlah mereka yang besar menyebabkan mereka memiliki peran yang besar pula. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk menjangkau pada kaum ini jadi ke manapun saya pergi saya selalu mempromosikan hal ini, yaitu dalam rangka membangun masyarakat yang bahagia yang berlandaskan pada etika sekuler.
Lebih lanjut, perilaku beretika atau welas asih bisa dibagi menjadi dua tingkatan.
Yang pertama, faktor biologis yang kita dapatkan dari perilaku ibu kita. Akan tetapi, welas asih ini masih bercampur dengan kemelekatan, bahkan kadang bisa menimbulkan kebencian. Dalam kondisi apapun, welas asih seperti ini sifatnya terbatas, bias, dan hanya ditujukan pada teman-teman kita dan tidak bisa menjangkau musuh kita. Apa yang kita inginkan? Yang kita inginkan adalah welas asih yang tak terbatas, tidak bias, dan maha luas. Welas asih biologis sepenuhnya bergantung pada perilaku orang lain terhadap kita. Yang harus kita lakukan adalah mengubahnya, yakni welas asih yang berdasarkan pada orangnya. Kita bisa melakukannya pertama-tama dengan mencintai diri sendiri. Seseorang yang membenci dirinya sendiri tidak mungkin bisa mencintai orang lain. Oleh sebab itu, pertama-tama kita harus bisa mencintai diri sendiri, dan dengan penalaran memahami diri sendiri, bahwasanya kita menginginkan kebahagiaan dan mengatasi penderitaan. Kemudian, kita mengalihkan perhatian pada diri sendiri dan ditujukan pada orang lain. Bahwasanya orang lain juga manusia yang sama seperti diriku, yang juga menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan. Jika kita mampu melihatnya dengan cara demikian, maka kita akan mampu mengembangkan perhatian kepadanya, terlepas dari perilaku seperti apa yang ditujukan kepada kita. Sehingga nantinya kita akan mampu melihat musuh kita sebagai manusia juga, yang memiliki hak yang sama untuk mengatasi penderitaannya. Jadi, welas asih kita lebih berorientasi kepada makhluk-nya itu sendiri, bukan kepada perilakunya. Sehingga cinta kasih dan welas asih kita bisa muncul dan menjangkau ke luar, tanpa bias, dan ini hanya bisa dicapai melalui penalaran, latihan, dan edukasi. Kalau welas asih yang sifatnya masih biologis, tidak memerlukan latihan, karena sifatnya spontan.
Mari kita lihat kenyataan di dunia yang dipenuhi oleh lebih kurang 6 miliar manusia ini. Masing-masing dari 1 individu bergantung kepada 6 miliar individu lainnya. Tidak seperti zaman dulu ketika satu Negara, bahkan satu benua seolah-olah terisolasi dan bisa hidup mandiri. Tapi, dewasa ini, segala sesuatu mulai dari ekonomi, pemanasan global, ekologi, sudah tidak mengenal batas-batas Negara. Keseluruhan 6 miliar manusia harus bekerja sama dan ini adalah realitanya dan kita harus realistis. Realistis dalam arti mengembangkan welas asih yang tak bias, yang berorientasi pada makhluk itu sendiri, bukan pada perilakunya. Dan ini bisa dicapai melalui pelatihan, butuh upaya, dan juga pendidikan atau edukasi. Inilah inti dari apa yang mau saya sampaikan hari ini.
Dalam rangka membangun masyarakat yang berlandaskan welas asih, bisa jadi kita sebagai individu merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Akan tetapi, kalau kita berpikir realistis, justru hal tersebut kalau mau diwujudkan haruslah dimulai dari 1 individu, yakni masing-masing dari kita, termasuk saya sendiri, yakni dengan cara menciptakan kedamaian batin saya sendiri. Setelah itu, kita bisa menularkan pada keluarga kita. Setelah satu keluarga sudah berbagi pandangan yang sama, maka keluarga ini nantinya bisa menularkan kepada keluarga-keluarga lainnya. Katakanlah kepada 10 keluarga, dari 10 ini bisa ditularkan kepada 100 keluarga lain, dari 100 menyebar ke 1000 keluarga, dan seterusnya hingga pada keseluruhan sebuah komunitas. Demikianlah kita membangun masyarakat yang bahagia, masyarakat yang berlandaskan welas asih. Jadi, jangan pernah berpikir bahwa satu orang tidak bisa berbuat apa-apa, karena justru dari satu oranglah perubahan di dunia ini bisa terjadi. [6j]