Tidak seperti biasanya, bulan Waisak pada tahun ini dirayakan dengan sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tanggal 7 Mei 2020 ini, keluarga besar Kadam Choeling Indonesia mengikuti siaran langsung puja bhakti Waisak daring yang dipimpin oleh Yang Mulia Biksu Bhadra Ruci. Perayaan detik-detik Waisak melalui siaran langsung ini juga dilakukan secara daring untuk mengikuti protokol pencegahan COVID-19 yang membuat semua orang harus menjaga jarak fisik. Mengangkat tema Waisak Berbudaya di Rumah, Y.M. Biksu Bhadra Ruci tak lupa mengingatkan kita sebagai umat Buddha untuk tetap mengenakan pakaian adat sesuai dengan tradisi bangsa sebagai bentuk penghormatan kita terhadap Buddha, Sang Guru Agung.
Berkat kebaikan hati Beliau pulalah, umat tetap dapat berkesempatan mendengarkan nasihat Waisak melalui siaran di Facebook dan Instagram di akun Kadam Choeling Indonesia. Pada Waisak kali ini, Y. M. Biksu Bhadra Ruci mengingatkan kita bahwa untuk bisa melepaskan diri dari samsara dan memperoleh kebahagiaan sejati, kita harus senantiasa mengamati batin. Meskipun kini kita tak bisa bertatap langsung dan harus menjaga jarak, pandemi yang disebabkan oleh COVID-19 ini tidak hanya datang untuk membawa kemalangan bagi kita. Y. M. Biksu Bhadra Ruci malah berkata bahwa COVID-19 memberikan tiga poin pembelajaran bagi diri kita.
Pertama, kita semua paham bahwa pada detik kita dilahirkan dengan tubuh jasmani ini, kita sebenarnya mengalami pelapukan dan bergerak menuju kematian. Kematian mengancam kita setiap saat, bahkan dari hal-hal terkecil. Sayangnya, kita sering kali melupakan hal tersebut. COVID-19 membantu kita untuk mengingat kembali hal tersebut. Sama halnya dengan kematian, COVID-19 tidak memandang bulu; entah kita miskin atau kaya, terkenal atau tidak terkenal, orang Asia atau Afrika, siapa pun bisa tertular. Begitu pulalah dengan kematian yang tidak melihat pribadi kita.
Kedua, COVID-19 mengajarkan kita untuk menjadi disiplin terhadap diri kita. Tidak ada satu pun dari kita yang ingin tertular, ingin sakit, ingin menderita, lalu mati. Akan tetapi, sangat sulit bagi kita untuk disiplin dengan duduk diam di rumah untuk menghambat penyebaran virus. Pada permulaan pembatasan yang harus dilakukan karena virus ini, banyak orang yang tidak terbiasa dengan rutinitas baru yang datang sebagai konsekuensinya. Ada yang merasa bosan dan tidak tahan dengan kondisi terkekang seperti ini dan kemudian melanggar batas dengan tetap bepergian keluar walaupun sudah diberikan peraturan untuk tetap berdiam. Hal ini bisa terjadi hanya karena dua hal; tidak bisa menahan diri dan tidak disiplin.
Ketiga, COVID-19 juga mengajarkan kita mengenai welas asih. Ketika kita membaca media sosial atau berita, kita bisa melihat ada banyak orang yang marah-marah, tidak peduli orang lain, tidak jujur mengungkapkan kondisinya kepada petugas kesehatan, lantas membahayakan orang lain semata-mata karena dirinya merasa bosan dan menderita di dalam rumah. Siapa orang ini? Orang ini adalah orang yang mementingkan diri sendiri dan egois. Saat ia mementingkan diri sendiri, ia tidak bisa lagi melihat makhluk lain. Ia lupa bahwa ada orang tuanya, saudara-saudaranya, kakek-neneknya, dan anggota keluarga lainnya di sekeliling rumah yang harus dilindungi. Kekeliruan ini bisa terjadi karena kita terus-terusan berpikir bahwa: ‘saya sangat menderita, saya sangat stres’. Kita tidak menyadari bahwa kita tidak bisa terlahir dan bertahan hidup sendirian di dunia ini. Kita bisa makan, beraktivitas, dan belajar Dharma semata-mata karena kebaikan banyak makhluk di sekitar kita. Namun kita lupa karena di dalam batin kita, hanya ada diri kita sendiri saja yang tengah menderita. Kita tidak ingat bahwa orang lain juga merasakan hal yang sama dengan diri kita; tidak mau sakit, tidak mau menderita, tidak mau mati. Oleh karena itu, kita harus mengurangi sikap mementingkan diri sendiri dan lebih memikirkan orang lain.
Y. M. Biksu Bhadra Ruci juga menambahkan bahwa dengan merenungkan ketiga pembelajaran ini, kita seharusnya menyadari bahwa dalam COVID-19 terkandung nilai Lamrim. Ketiga pembelajaran di atas—kematian selalu mengancam, pentingnya mendisiplinkan diri, dan berwelas asih pada orang lain—berkaitan tiga motivasi dalam Lamrim. Menyadari bahwa kita ada dalam bahaya, bahwa kematian selalu mengintai dan bisa datang kapan saja berkaitan adalah poin kunci dalam motivasi awal, yaitu mempersiapkan kebahagiaan di kehidupan mendatang. Agar dapat melindungi diri dari COVID-19, kita harus mendisiplinkan diri dan berhadapan dengan klesha, poin penting dalam motivasi kedua yaitu berjuang untuk pembebasan dari samsara. Lalu, kita juga harus memikirkan orang lain karena mereka pun sama dengan kita yang tidak ingin menderita. Hal ini sejalan dengan motivasi ketiga, yaitu meraih pencerahan demi menolong semua makhluk. Oleh karena itu COVID-19 juga mengingatkan kita bahwa jika kita memahami Lamrim, maka kita bisa memahami peta perjalanan kita di mana pun kita berada dan menggunakan setiap pengalaman untuk melatih batin kita.
Jika kita ingin mencari kedamaian di dunia, kita harus belajar dari COVID-19. Saat ini, dunia kita secara fisik dan eksternal telah menampakkan kedamaian. Saat kita keluar rumah, kita bisa melihat suasana yang damai, bahkan langit Jakarta yang tertutup polusi pun bisa kita lihat dengan lebih jelas saat ini. Kita bisa melihat bahwa planet yang kita tinggali tengah memperbaiki diri dan makin pulih. Sekarang giliran kita sebagai manusia yang tinggal di dalamnya untuk memperbaiki diri dengan memperbanyak hal positif dan mengurangi hal negatif. Sebab, kalau bukan kita yang melakukannya, lalu siapa lagi yang bisa? Y. M. Biksu Bhadra Ruci berpesan bahwa jika saja setiap dari kita melakukan hal tersebut, dunia kita akan menjadi lebih damai.
Di momen Waisak ini, kita menyadari bahwa sesungguhnya kita memiliki banyak waktu untuk mengembangkan batin untuk menjadi Buddha. Kalau tidak untuk jadi Buddha, mau jadi apa lagi kita hidup di dunia? Kita sebagai umat Buddha seharusnya berterima kasih atas kesempatan yang diberikan ini sebab waktu luang tersebut bisa kita gunakan untuk menghimpun aktivitas bajik yang luar biasa; puja, membuat banyak persembahan, meditasi, membaca buku-buku Dharma, mengumpulkan mandala dan mantram, melafalkan sutra, dan yang terpenting adalah memeriksa batin kita. Tanyakan pada diri kita: Berapa banyak kita memanfaatkan waktu kita untuk hal positif? Berapa banyak kita melampiaskan emosi kita? Di kondisi seperti ini, kita memang jarang berinteraksi dengan orang lain, tapi apakah kita lebih banyak berinteraksi dengan diri kita sendiri?
Melalui pertanyaan tersebut dan refleksi terhadap kegiatan yang kita lalui selama pembatasan ini, kita akan menyadari bahwa sesungguhnya kita juga tidak lebih banyak berinteraksi dengan diri sendiri, yang ada adalah lebih banyak membuang fokus kita ke luar diri. Kita tidak bisa duduk diam dan mengamati batin, hingga akhirnya tidak bisa mempunyai kualitas menahan diri, apalagi disiplin moral. Oleh karena itulah, kita tidak bisa mengendalikan klesha kita. Jika kita amati diri kita, ternyata masih ada banyak amarah, masih banyak iri hati, bahkan kadang-kadang energi negatif seperti itu lari menjadi kompensasi yang lain, misalnya makan berlebihan. Oleh karena itu, di kesempatan baik pada hari ini, ditemani dengan suasana COVID-19 yang belum mereda di negara kita, kita bisa berpikir bahwa ini adalah kesempatan untuk melakukan retret bagi diri kita. Retret ini berarti membuat batas antara diri kita dengan orang lain seperti pagar rumah membatasi kita dengan dunia luar selama pembatasan sosial karena pandemi. Lalu, kita menarik diri ke dalam batas tersebut dan melihat ke dalam diri dan berjuang mengembangkan batin.
Hal penting lainnya yang diberikan COVID-19 kepada kita adalah menyadarkan kita bahwa dewasa ini, dunia sedang tenggelam dalam samsara dan penderitaan terjadi di mana-mana. Berkat COVID-19, dunia tempat kita tinggal semakin maya. Meskipun hal ini menyebabkan sekat di antara diri kita dan orang lain menghilang, dunia justru semakin kesepian. Di saat kita memikirkan hal ini dengan benar-benar jernih, kita sadar bahwa yang kita butuhkan ialah welas asih.
Buddha Sakyamuni datang ke dunia dengan tujuan untuk mengajarkan Bodhicitta. Kita paham betul bahwa kebaikan yang kita peroleh berasal dari banyak makhluk di sekitar kita, dan oleh sebab itulah, kita perlu membalas kebaikan hati mereka dengan mengikuti jejak Sang Buddha untuk mengambil tanggung jawab menumbuhkan kebaikan hati pada semua makhluk. Sebagai langkah awal untuk menuju hal tersebut, kita perlu memahami bahwa sikap yang mementingkan diri sendiri akan membuat diri kita merasa paling besar dan paling menderita. Akibatnya, hati kita tidak sanggup menampung orang selain diri kita. Oleh karena itu, kita harus memulai perjalanan spiritual kita dari mengikis sikap mementingkan diri sendiri. Ketika sikap mementingkan diri kita sendiri berkurang, maka otomatis kita akan lebih banyak memberikan ruang bagi makhluk lain untuk masuk ke dalam diri kita. Kalau diri kita besar dan penuh karena merasa sangat menderita, maka tidak ada satu pun makhluk yang bisa duduk dalam diri kita. Jika saja kita berhasil mengurangi sikap egois tersebut, maka kita bisa melihat bahwa hidup ini sebenarnya indah, cerah, ceria, dan tidak susah seperti yang kita bayangkan.
Ketika kita memanfaatkan waktu yang berharga ini untuk melakukan retret dan menyelami diri, mata kita akan semakin mampu melihat dunia dan dunia pun akan semakin dekat dengan kita. Akan ada lebih banyak makhluk yang bisa berdiam dalam hati kita, kemudian lama-kelamaan kualitas dan daya tampung batin kita akan membesar, tidak semata-mata terisi oleh diri sendiri dan sanak keluarga kita saja, namun lebih banyak lagi orang di sekitar kita.
Momen Waisak saat ini juga harus digunakan sebagai cermin untuk melihat apakah selama ini kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal di luar diri kita. Sepanjang masa, kita terlalu sibuk melakukan banyak aktivitas. Terlepas dari berguna atau tidaknya aktivitas-aktivitas tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa aktivitas-aktivitas tadi digunakan untuk menghabiskan waktu dan membunuh rasa kesepian dalam diri kita. Kita tidak menyadari bahwa ketika kita banyak melakukan aktivitas luar kemudian menemui kesulitan saat mencoba duduk diam untuk mengamati diri. Hal ini terjadi karena kita terlalu sibuk main-main dan akhirnya tidak pernah mengurus batin.
Melihat kondisi batin kita yang sering kali tidak bajik tersebut, Y. M. Biksu Bhadra Ruci memberikan kita nasihat sekaligus semangat dengan mengingatkan bahwa di tengah musibah ini, kita sesungguhnya mempunyai banyak waktu untuk membangun proyek perjalanan spiritual. Sama seperti merancang proyek-proyek dalam aktivitas duniawi kita, kita perlu menyusunnya, membangunnya, dan kemudian memasang target. Misalnya, kita bisa membuat target dalam dua tahun ke depan harus memperoleh kualitas-kualitas bajik. Kalau kita tidak memulai seperti ini, maka tidak mungkin ada kualitas positif yang akan datang pada diri kita. Kita perlu memikirkan dengan serius bagaimana kita melangkah tahap demi tahap untuk memperbaiki diri.
Di saat Waisak ini, kita butuh merenungkan bahwa pada mulanya, Buddha Sakyamuni sama seperti kita yang banyak melakukan perbuatan buruk. Akan tetapi, Beliau mulai menapaki jalan untuk menyempurnakan kualitas bajik dan menjadi teladan bagi kita seperti sekarang. Bila kita mengamati gambar Buddha, kita bisa melihat bahwa gambar tersebut menggambarkan kualitas pencapaian Buddha Sakyamuni. Kualitas-kualitas tersebut tidak terjadi dalam sehari, tidak juga jatuh dari langit. Kualitas tersebut dihasilkan dari ketekunan dalam mengembangkan kebajikan. Kita tidak boleh berkecil hati sebab kualitas yang dihimpun dari sekarang akan membuahkan hasil yang bajik. Kelak, ketika kita sedikit demi sedikit mengisi tempayan praktik kita, tempayan kita akan penuh. Di kemudian hari, jika kita terus menghimpun paramita, maka enam paramita kita akan sempurna dan kita akan menghimpun sebab untuk menjadi seperti Buddha. Meskipun demikian, hal ini tergantung dari kemauan kita untuk memulai perjalanan kita. Maka dari itu, Y. M. Biksu Bhadra Ruci mengimbau kita menjadikan momen Waisak di tengah pandemi beserta segala kesempatan yang ia berikan untuk mengamati batin sebagai titik awal untuk memulai proyek spiritual kita dan tak lupa untuk senantiasa mengevaluasi diri, sudahkah kita mencapai kualitas bajik? Sudah berkurangkah kualitas burukku?