Menelusuri Tahapan Jalan Menuju Pencerahan di Indonesia, India, dan Tibet

  • October 17, 2015
Oleh: Praviravara Jayawardhana

Sejarah telah menunjukkan betapa maju kebudayaan bangsa Indonesia di masa lampau. Kisah kejayaan Nusantara di abad ke-4 sampai abad ke-15, tercatat pula di dalam sejarah bangsa lain. Peninggalan berupa prasasti, tugu dan berbagai penemuan sejarah lainnya, menunjukkan adanya sebuah peradaban yang tinggi pada masa itu. Bahkan beberapa di antaranya menjadi situs sejarah yang diperbincangkan dunia, seperti Candi Borobudur, Candi Muara Takus, Kompleks Candi Muaro Jambi dan masih banyak lagi. Penemuan para ahli menunjukkan bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat belajar agama Buddha yang bereputasi dan banyak didatangi siswa dari berbagai negeri. Seorang bhiksu dari negeri Tiongkok, I-Tsing, yang berkunjung ke Sriwijaya tahun 671 dan kembali lagi pada tahun 687 dan 689 Masehi menulis tentang Sriwijaya dalam catatan perjalanannya bahwa, “Jika bhiksu dari Tiongkok hendak ke India untuk mendengarkan dan mempelajari kitab-kitab Ajaran asli, sebaiknya ia tinggal di sini (Sriwijaya) selama satu atau dua tahun untuk mempersiapkan dan melatih diri tentang cara/aturan yang benar sebelum menuju India.”

Lama Serlingpa lahir dengan nama Shri Suwarnadwipa sekitar 950 Masehi di keluarga Dinasti Syailendra, di sebuah pulau dengan julukan Suwarnadwipa, yang berarti ‘pulau emas’, sekarang bernama pulau Sumatera. Kerajaan ini bernama Sriwijaya. Dinasti Syailendra mempraktekkan berlindung pada Triratna. Mereka membuat rupang dan membangun pusat-pusat Dharma sebagai sumber penyebaran Ajaran. Merekalah yang membangun Candi Borobudur, mandala batu terbesar yang pernah dibangun di muka bumi ini, untuk menghormati Triratna. Lama Serlingpa belajar di Biara Wikramasila India dan beliau mewarisi dua garis ajaran yang sangat penting untuk pengembangan Bodhicitta, pikiran spontan menuju pencerahan, yaitu: “Instruksi Latihan Batin Tujuh Poin” dan “Praktik Menukar Diri dengan Makhluk Lain”.

Guru Atisha Dipamkara Sri Jnana (abad ke-10), lahir di India, sebagai anak seorang raja. Tidak puas setelah belajar pada banyak guru besar di India, beliau mencari seorang guru yang memiliki instruksi lengkap yang dapat membuatnya membangkitkan batin pencerahan berharga yang belum dicapainya. Atas dasar inilah beliau kemudian mengarungi lautan selama 13 bulan untuk sampai ke Sriwijaya dan menetap di sana selama 12 tahun, demi belajar kepada Lama Serlingpa, sang pemilik dua silsilah instruksi yang lengkap untuk melatih batin pencerahan. Sepulangnya dari Sriwijaya, Guru Atisha diundang ke Tibet untuk memurnikan kembali Ajaran Buddha di sana yang masa itu sedang mengalami kemerosotan karena terjadinya konflik antara penganut berbagai paham. Guru Atisha meringkas makna inti dari semua Sutra, Tantra, dan ulasan-ulasannya ke dalam karya agung beliau, “Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan” (Sansekerta: Bodhipatapradipam) dan segera setelah karya tersebut disusun, doktrin salah dan praktik kasar yang selama ini berlaku di Tibet berakhir.

Sekitar 400 tahun kemudian, Je Tsongkhapa (Je Rinpoche) menegakkan kembali kemurnian Ajaran Buddha di Tibet seperti yang dilakukan Guru Atisha, dengan karya besar beliau berjudul “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” (Sansekerta: Maha-Bodhipatha-Krama, Tibet: Lamrim Chenmo) yang juga ditulis beliau berdasarkan karya Guru Atisha. Dalam karyanya, Je Rinpoche menjelaskan intisari ajaran Buddha Sakyamuni yang luas dan mendalam menjadi lebih mudah dipelajari oleh banyak orang karena pada dasarnya Lamrim adalah risalah ajaran Buddha Sakyamuni yang disusun secara sistematis dan terstruktur sehingga mudah dipraktikkan untuk menuntun setiap orang mencapai pencerahan sempurna.

Semua ini adalah adalah rangkaian sejarah yang menjadi bukti yang menunjukkan betapa eratnya koneksi Indonesia dengan Guru-guru Agung dan perkembangan Ajaran Buddha di Tibet dan di dunia. Ikatan yang kuat itu berlanjut sampai di kehidupan sekarang. Lamrim telah dipelajari di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia saat ini.

Guru Dagpo Rinpoche Jhampel Jampa Gyatso, lahir 1932, di Tibet. Beliau diidentifikasi oleh HH Dalai Lama XIII sebagai kelahiran kembali dari seorang Guru Besar yang garis kelahiran kembalinya dapat ditelusuri hingga ke Lama Serlingpa Dharmakirti Suwarnadwipa. Beliau menjadi bhiksu di umur enam tahun dan di umurnya yang ketigabelas, beliau memasuki Biara Dagpo Shedrup Ling yang terkenal dengan sebutan Biara Lamrim. Setelah mengungsi ke India ketika terjadi kerusuhan di Tibet pada 1959, beliau kemudian pindah dan menetap untuk mengajar di Perancis. Di tahun 1989, Guru Dagpo Rinpoche pertama kali mengunjungi Indonesia. Di kunjungan perdananya, beliau bertemu Bhikkhu Girirakkhito dan dalam pertemuan tersebut, Bhante Giri berkata kepada Guru Dagpo Rinpoche, ”Anda adalah pendiri Buddhisme di Indonesia. Anda harus mengurus anak-anak Anda yang tercerai-berai.” Di tahun yang sama, Guru Dagpo Rinpoche juga bertemu dengan Bhikkhu Sri Pannyavaro yang kemudian berlanjut dengan terjalinnya persahabatan dan Bhante Pannyavaro memberikan sebagian abu Guru Atisha yang disimpannya kepada Guru Dagpo Rinpoche.

Di kunjungan beliau di 1990, Guru Dagpo Rinpoche bertemu dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan mempersembahkan kepada Bhante Ashin sebuah thangka (lukisan) Avalokiteshvara yang merupakan simbol Maha Welas Asih yang menjadi dasar pengembangan batin pencerahan (Bodhicitta), sebuah Ajaran yang memiliki akar yang kuat di bumi Indonesia sejak jaman Lama Serlingpa. Semua pertanda baik ini disambut oleh Guru Dagpo Rinpoche dengan welas asihnya yang luar biasa dengan ditunjukkannya kekonsistenan beliau setiap tahun datang mengajar tanpa lelah di Indonesia selama 26 tahun sampai sekarang, di usia beliau yang sudah mencapai 84 tahun.

Banyak orang yang sudah mempelajari Lamrim, dapat merasakan manfaatnya. Tahapannya yang jelas terperinci membuat ajaran Buddha yang begitu luas dan dalam menjadi lebih mudah dipahami dan dipraktikkan. Dengan semakin banyaknya orang belajar dan praktik Buddha Dharma, maka akan semakin besar potensi untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga lingkungan di sekitar pun akan menjadi lebih baik. Demikianlah Lamrim akan memberi manfaat bagi banyak orang, khususnya tanah air Indonesia. Lamrim akan menyebarkan energi positif yang mentransformasi makna kebanggaan bangsa menjadi motivasi untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik dan juga dunia yang lebih baik. Semoga tanah Nusantara ini kembali menghasilkan guru-guru berkualitas tinggi seperti Swarnadwipa di zaman Sriwijaya.

Ikutilah pembabaran Dharma yang akan dilakukan oleh Guru Dagpo Rinpoche di Indonesia di bulan Desember 2015 ini dalam rangkaian acara yang bernama “Southeast Asia Lamrim Festival (SEALF)” sebagai berikut:

 

– Jakarta, 12-13 Desember 2015
Guru Dagpo Rinpoche akan mengajarkan Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan, karya agung Guru Atisha, dalam sebuah sesi public teaching selama dua hari.

 

– Bandung, 23-31 Desember 2015
Guru Dagpo Rinpoche akan menjelaskan buku “Pembebasan di Tangan Kita” dalam sebuah sesi retret selama delapan hari. “Pembebasan di Tangan Kita” adalah sebuah teks Lamrim besar yang disusun di abad ke-20.

 

Info lebih lanjut: www.kadamchoeling.com/sealf
atau hubungi panitia: Cindy Rao (+6285697260445)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *