Sangha Vajrayana Sangha Agung Indonesia (SV-SAGIN) mempertemukan pemuka agama Buddha dan sineas Indonesia untuk membahas Candi Borobudur dalam talkshow daring “Borobudur Kini dan Nanti: Sebuah Perspektif Sinema”. Narasumber dalam acara ini adalah Y.M. Biksu Bhadra Ruci, Sekretaris Jenderal Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), dan Lola Amaria, sineas kawakan di balik film “Lima” dan “Minggu Pagi di Victoria Park” yang sedang merencanakan film bertajuk Candi Borobudur. Acara yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini dihadiri 181 orang peserta terdaftar via aplikasi Zoom.
Di awal acara, Lola Amaria mengungkapkan potensi film untuk mengubah paradigma yang ada di masyarakat dengan mengangkat perspektif yang tidak banyak diketahui orang. Kemudian, Lola juga mengungkapkan ketertarikannya terhadap Borobudur yang membuatnya tergerak untuk membuat film tentang Borobudur, bahwa kemegahan candi warisan dunia tersebut mengandung nilai sejarah yang amatlah sayang jika hanya dijadikan latar saja. Y.M. Biksu Bhadra Ruci kemudian mengungkap fakta tragis di balik kemegahan Borobudur yang menginspirasi Lola.
Y.M. Biksu Bhadra Ruci memaparkan bahwa ritual Waisak umat Buddha di Borobudur “dijual” sebagai atraksi untuk menarik pemasukan dari wisatawan. Penyelenggara acara Waisak bahkan harus mengganti harga tiket selama 1-2 hari Candi Borobudur ditutup untuk kegiatan umat Buddha.
“Tidak ada seorang pun Buddhis yang terlibat dalam pengelolaan Candi Borobudur,” tutur Y.M. Biksu Bhadra Ruci. Menurut Beliau, kurangnya pemahaman pengelola terhadap ajaran Buddha membuat mereka tidak memahami cara menyajikan Borobudur sehingga harus bergantung pada atraksi-atraksi hiburan.
Y.M. Biksu Bhadra Ruci kemudian menjelaskan makna Borobudur yang ternyata lebih dari sekadar tempat ibadah ataupun objek pemujaan. Candi Borobudur merupakan mandala pencapaian kesempurnaan diri. Di dalamnya terkandung pesan untuk bekerja demi menolong semua makhluk dari penderitaan.
Y.M. Biksu Bhadra Ruci kemudian memberi contoh salah satu Sutra Buddha yang ada di relief Candi Borobudur, yaitu Sutra Gandawyuha. Di sana dikisahkan tentang pemuda bernama Sudhana yang belajar untuk meraih kesempurnaan diri dari 53 orang guru. Di antara 53 orang guru tersebut, terdapat 21 orang perempuan dan salah satunya adalah seorang pelacur. Selain itu, Dewa Siwa yang identik dengan tradisi Hindu juga menjadi salah satu dari 53 guru tersebut. Setiap orang guru ini telah mencapai tingkatan kesempurnaan dan memiliki cara mahir sesuai profesi masing-masing untuk membimbing Sudhana mencapai pencerahan.
“Dia mengajarkan bahwa kita menolong semua makhluk dengan berbagai macam cara, berbagai macam skill, berbagai macam keahlian dan profesi,” terang Y.M. Biksu Bhadra Ruci.
Y.M. Biksu Bhadra Ruci juga menyatakan bahwa untuk melestarikan Candi Borobudur, peran sineas dan seniman lainnya amatlah penting untuk mengubah pandangan masyarakat agar tidak melihat Borobudur hanya sebatas sebuah rumah ibadah. Selama ini informasi tentang Borobudur hanya dipelajari setengah-setengah dan tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat, termasuk umat Buddha sendiri. Minimal para sineas dan pegiat seni lainnya dapat menyebarkan informasi yang tepat mengenai Candi Borobudur.
Lola Amaria kemudian mengangkat perlunya penyamaan persepsi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Candi Borobudur. Beliau juga sempat bertanya apakah rendahnya keterlibatan umat Buddha karena umat Buddha sebagai minoritas kesulitan untuk bersuara.
Y.M. Biksu Bhadra Ruci memaparkan kurangnya keterlibatan umat Buddha sudah bermula sejak awal saat Daud Yusuf memimpin ekskavasi Borobudur pada tahun 70-an. Buddhisme di Indonesia baru menggeliat bangkit pada tahun 1953 dan belum banyak memiliki kitab dan bahan belajar, lalu kembali sembunyi akibat tragedi 1965. Saat ekskavasi Borobudur dilakukan, tidak satu pun umat Buddha yang berkontribusi. Hingga kini pun umat Buddha tidak bisa terlibat karena terbentur regulasi.
“Hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan masih diributkan antara P.T. Taman, pengelola, dan arkeologi. Umat Buddha jadi penonton saja,” kata Y.M. Biksu Bhadra Ruci.
Sebagai penutup, Y.M. Biksu Bhadra Ruci menjelaskan bahwa Borobudur itu milik semesta alam, tapi perlu dilestarikan. Tentu Borobudur tidak bisa ditutup untuk khalayak ramai, tapi agar candi ini dapat terus berkontribusi, umat Buddha perlu terlibat dalam pengelolaannya karena merekalah yang paham cara mengolah nilai-nilai yang terkandung dalam Borobudur sehingga candi tersebut dapat hidup kembali. Lola Amaria juga menggarisbawahi perlunya komunikasi antara umat Buddha dan stakeholder dalam pengembangan Candi Borobudur.
“Mungkin perlu ada pertemuan agar kedua keinginan tercapai, misalnya tempat ibadah juga, tempat wisata juga, tapi dengan protokol yang benar.”
Film seputar Borobudur yang sedang digarap oleh Lola Amaria saat ini sedang dalam tahap riset untuk menentukan fokus yang akan diangkat.