Kisah Ārya Panthaka

  • May 31, 2015

Ārya Panthaka bisa menjadi seorang Arahat melalui praktik membersihkan ruangan. Ceritanya akan dikisahkan secara singkat sebagai berikut.

Ada seorang Brahmana di Śrāvastī yang semua anak lelakinya meninggal tidak lama setelah dilahirkan. Seorang perempuan tua yang tinggal di dekatnya mengatakan kepadanya, “Bila anak lelaki berikutnya lahir, kamu harus mengirimkan kepadaku.” Jadi ketika anak lelaki berikutnya lahir, perempuan tua itu dipanggil. Setelah membersihkan bayi tersebut, ia menyelimutinya dengan selembar kain putih dan memenuhi mulutnya dengan mentega. Kemudian ia menyerahkan bayi tersebut kepada seorang gadis dengan instruksi berikut: “Bawalah anak ini ke persimpangan jalan utama. Jika seorang petapa atau Brahmana mendekati, tunjukkan sikap hormat dan katakan dengan lantang, ‘Bayi ini memberikan hormat ke kaki orang mulia.’ Bila ia masih hidup ketika matahari terbenam, bawa bayi ini kembali. Bila ia meninggal, buang mayatnya.”

Gadis tersebut, yang berkarakter serius, menunggu di persimpangan jalan. Pertama beberapa tīrthaka muncul, dan gadis tersebut mengucapkan kepada mereka seperti yang diinstruksikan. Mereka membalas dengan doa-doa berikut: “Semoga ia hidup lama. Semoga ia panjang umur. Semoga ia memenuhi semua harapan orang-tuanya.” Kemudian, beberapa biksu Buddhis muncul dan mereka juga memanjatkan doa yang sama. Kemudian gadis itu membawa bayi tersebut ke jalan menuju Jetavana. Di sana dia secara kebetulan bertemu dengan Yang Terberkahi yang sedang dalam perjalanan untuk menerima persembahan makanan harian. Gadis itu mengucapkan seperti yang ia lakukan kepada yang lainnya. Yang Terberkahi lalu memanjatkan doa, “Semoga ia memenuhi semua harapan spiritual orangtuanya.”

Melihat bayi ini masih hidup ketika matahari telah terbenam, gadis tersebut membawanya kembali ke rumah. Karena ia telah dibawa ke jalan utama, ia dinamakan Mahāpanthaka. Ketika anak tersebut beranjak usianya, ia menjadi terpelajar dalam Veda dan ilmu pengetahuan Brahmana yang lainnya. Kemudian, ia mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada beberapa ratus Brahmana muda lainnya.

Ketika anak lelaki berikutnya dari Brahmana yang sama lahir, perempuan tua tersebut kembali dipanggil dan prosedur yang sama seperti sebelumnya dilakukan. Tetapi kali ini bayi tersebut dipercayakan kepada seorang gadis pemalas. Ia membawa bayi tersebut hanya hingga jalan kecil dan menunggu di sana. Ketika tidak ada petapa atau Brahmana sama sekali yang melewati jalan tersebut, Yang Terberkahi-yang memperhatikan semua makhluk selama enam periode siang dan malam-dengan sengaja pergi ke sana. Diminta oleh gadis tersebut untuk memberikan doa, beliau melakukannya seperti sebelumnya. Karena bayi tersebut masih hidup pada sore hari, gadis tersebut membawanya pulang ke rumah. Bayi itu dinamakan Panthaka.

Setelah anak itu beranjak usianya, ia dikirim untuk mempelajari bahasa. Tetapi ketika ia berupaya untuk mempelajari sebuah kata seperti siddham, ia akan mengucapkan suku kata pertama si saja dan melupakan suku kata kedua ddham, dan sebaliknya. Gurunya mengatakan kepada ayahnya, “Karena banyak Brahmana-brahmana muda lainnya yang harus saya ajarkan membaca, saya tidak bisa mengajar anakmu lagi.” Anak ini lalu dikirim belajar dengan seorang pembaca Veda. Tetapi ketika ia berusaha untuk belajar kata seperti Oṃ Bhῡ, ia hanya akan mengingat kata yang pertama Oṃ dan melupakan kata yang kedua Bhῡ, dan sebaliknya. Gurunya yang frustasi mengatakan kepada ayah Panthaka, “Anakmu yang lain, Mahāpanthaka, bisa belajar setelah diberi sedikit instruksi. Karena ada banyak yang lain yang harus saya ajari, saya tidak bisa mengajar anak ini lagi.” Jadi, anak ini yang lamban, sangat lamban, bodoh, sangat bodoh, dikenal sebagai “Dia yang berasal dari jalan kecil.”

Beberapa waktu kemudian, orangtua kedua anak lelaki ini meninggal. Mahāpanthaka memasuki ajaran Sang Muni, dan setelah menguasai Tripitaka, menjadi seorang Arahat. Tidak lama kemudian, ia dikunjungi oleh adiknya, Panthaka, yang telah menghabiskan semua kekayaan keluarganya. Mahāpanthaka mengamatinya untuk mengetahui apakah ia mempunyai kapasitas untuk Dharma dan menemukan tidak hanya Panthaka mempunyai kapasitas, tetapi juga Mahāpanthaka memegang tanggung jawab untuk perkembangannya. Lalu ia mengatur adiknya untuk meninggalkan kehidupan perumah tangga dan ditahbiskan menjadi seorang biksu.

Panthaka diberikan bait berikut untuk dipelajari:

Jangan berbuat jahat melalui tubuh, ucapan, atau batin, Dan melekat pada segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dia yang tidak mempunyai keinginan, selalu waspada, dan berhati-hati Tidak mencari penderitaan atau yang tidak berguna.

Bahkan setelah tiga bulan belajar, Panthaka masih belum mampu mempelajari bait tersebut. Tetapi gembala sapi dan gembala lainnya di dekat sana telah dapat mempelajarinya hanya dengan tanpa sengaja mendengar pelafalannya. Kemudian, Ārya Mahāpanthaka berpikir apakah harus menggunakan dorongan semangat atau kritikan untuk melatih saudaranya. Melihat bahwa kritikan akan lebih efektif, beliau mencengkeram leher Panthaka dan melemparnya keluar hutan kecil Jetavana dan berkata, “Kamu lamban, sangat lamban. Apa yang dapat kamu capai dengan menjadi Biksu? Pergi sana!”

Panthaka lalu berpikir pada dirinya sendiri, “Sekarang saya bukan seorang petapa maupun seorang Brahmana,” dan mulai menangis.
Sang Guru, didorong oleh welas asih yang besar, datang dan bertanya: “Panthaka, mengapa kamu menangis?”
“Saya telah dikritik oleh guruku.”

Lalu Sang Guru mengatakan:

Ada pujian oleh yang bodoh Dan juga kritikan oleh yang bijaksana. Kritikan oleh yang bijaksana adalah sangat baik, Tidak demikian pujian oleh yang bodoh.

“Anakku, gurumu bukanlah orang yang telah menegakkan ajaran ini setelah mengalami berbagai kesulitan selama tiga kalpa yang tak terhitung demi menyelesaikan enam paramita. Saya adalah seseorang yang menegakkannya dengan cara demikian. Apakah kamu akan mampu belajar dengan Sang Tathāgata?”

“Yang Mulia, saya lamban, sangat lamban, bodoh, sangat bodoh. Bagaimana orang seperti saya bisa belajar?”

Sang Guru mengatakan:

Orang Bodoh yang mengetahui sifat bodohnya Dengan demikian bijaksana karenanya. Tetapi orang bodoh yang berpikir dirinya bijaksana Benar-benar dikatakan sebagai orang bodoh.

Beliau juga memberikan Panthaka dua kalimat sederhana untuk dipelajari: “Saya sedang membersihkan debu,” dan “saya sedang membersihkan kotoran,” tetapi Panthaka tidak dapat mengingatnya. Lalu Yang Terberkahi memutuskan untuk mempurifikasinya dari karma buruk dan berkata, “Panthaka, bisakah kamu membersihkan sepatu para Biksu?”

“Yang Mulia, saya bisa melakukan itu.”
“Pergilah, dan bersihkan sepatu dan sandal para Biksu.”

Yang Terberkahi juga mengatakan kepada para biksu untuk mengizinkan Panthaka melakukannya, dengan memberitahukan mereka bahwa tujuannya adalah menghapus karma buruknya. Beliau lebih jauh memerintahkan mereka untuk mengajar Panthaka melafal dua kalimat di atas. Instruksi ini dilakukan dan beberapa waktu kemudian Panthaka bisa mempelajari dua kalimat tersebut. Kemudian Sang Guru mengatakan, “Kamu tidak perlu lagi membersihkan sepatu. Sekarang sapulah biara sambil melafal dua kalimat yang sama.” Walaupun Panthaka menyapu dengan penuh semangat, setiap kali ia selesai membersihkan sisi kanan biara, Sang Buddha akan secara gaib menyebabkan sisi kiri biara menjadi penuh dengan debu. Begitupun juga, setiap kali ia selesai membersihkan sisi kiri, [Sang Buddha] akan menyebabkan sisi kanan penuh dengan debu.

Akan tetapi, Panthaka tetap bertahan dalam upayanya sampai akhirnya karma penghalangnya dibersihkan. Lalu pikiran berikut muncul dalam dirinya: “Ketika Sang Guru mengajarkan kalimat ‘saya sedang membersihkan debu, saya sedang membersihkan kotoran,’ apakah maksud beliau adalah debu dalam atau debu luar?” Pada saat tersebut tiga bait yang belum pernah ia dengar sebelumnya muncul dalam batinnya:

Debu ini adalah nafsu keinginan, bukan partikel kotoran. “Debu” adalah sebuah istilah untuk nafsu keinginan, bukan partikel kecil. Yang Bijaksana membebaskan diri mereka dari debu ini Dan penuh perhatian pada ajaran Sugata.

Bait kedua dan ketiga adalah sama kecuali kata “kebencian” dan “kebodohan”, secara berurutan, menggantikan “nafsu keingian”. Dengan memeditasikan makna ketiga bait ini, Panthaka akhirnya mencapai tingkat seorang Arahat. Bait di atas muncul tepat seperti ini di dalam sῡtra. Akan tetapi, dalam tradisi lisan guru dan dalam pedoman instruksi untuk praktik-praktik pendahuluan, kata-kata pada baris pertama diganti menjadi “Debu ini bukan partikel-partikel kotoran, tetapi debu nafsu keinginan”, sehingga lebih mudah untuk diterapkan dalam praktik seseorang. Anda seharusnya mengikuti versi yang telah diubah ini. Yang Terberkahi, ingin membuat kebajikan Panthaka diketahui, menginstruksikan Ārya Ānanda untuk mengatakan kepada Panthaka bahwa ia seharusnya mengajar para Biksuni dan mengatakan kepada para Biksuni bahwa Panthaka akan menjadi guru mereka.

Panthaka, yang menyadari bahwa Yang Terbekahi ingin membuat kebajikan muridNya diketahui, menerima dengan mengatakan, “Saya akan melakukan seperti yang diperintahkan.”
Akan tetapi para Biksuni tersebut terkejut dan mengatakan, “Lihat bagaimana perempuan direndahkan! Bagaimana bisa seseorang yang tidak menguasai satu bait setelah tiga bulan, mengajar orang seperti kita yang merupakan pemegang Tripitaka? Kita harus melaksanakan suatu rencana untuk memastikan bahwa orang yang belajarnya sedikit tidak akan bisa datang kesini lagi.”

Beberapa dari kelompok berjumlah dua belas biksuni mempersiapkan takhta yang sangat tinggi untuk mengajarkan Dharma, tetapi mereka tidak menyediakan tangga apa pun. Yang lainnya mengumumkan kepada para penduduk kota besar Śrāvastī, “Besok seorang murid Sang Buddha yang agung dan luar biasa akan datang. Mereka yang telah mendengarkan Dharma tetapi masih belum melihat Kebenaran masih akan mengembara di dalam samsara untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, Anda harus datang untuk mendengarkan Dharma darinya.” Ratusan ribu orang berkumpul, beberapa karena penasaran dan lainnya terdorong oleh akar kebajikan mereka.

Hari berikutnya, Panthaka pertama-tama pergi untuk menerima dana makanan. Kemudian, setelah bangkit dari keadaan penyerapan-dalam dan ditemani oleh biksu lainnya, beliau menuju ke kediaman musim hujan para biksuni untuk mengajarkan Dharma. Pada saat beliau mendekati takhta untuk mengajar dan melihat takhta itu sangat tinggi, beliau berpikir apakah ini dibuat karena rasa hormat yang mendalam atau untuk menghina. Setelah melakukan perenungan singkat beliau menyadari tujuannya adalah untuk menghina. Dengan memanjangkan tangannya seperti belalai gajah, beliau menekan takhta tersebut dan duduk. Hanya beberapa yang melihat bagaimana beliau melakukannya; kebanyakan tidak melihat. [Setelah duduk,] beliau memasuki keadaan meditasi dan menjadi tak terlihat. Kemudian beliau naik ke angkasa dan mempertunjukkan empat jenis kekuatan gaib di setiap dari keempat penjuru. Akhirnya, beliau menarik kembali pertunjukan gaibnya dan sekali lagi duduk di atas takhta singa.

Beliau memulai ceramahnya dengan mengatakan, “Para saudari, saya akan menjelaskan selama tujuh hari makna dari bait yang mana saya memerlukan tiga bulan untuk menghafalnya. Ketika Yang Terberkahi menyatakan, ‘Jangan berbuat jahat dengan tubuh, ucapan, atau batin,’ beliau sedang mengajarkan kita untuk menjauhkan diri dari sepuluh perbuatan tidak bajik. Kalimat ‘semua di dunia’ mengacu kepada lima skandha, dan ‘mencengkram’ mengacu kepada mencengkram tiga racun-nafsu keinginan, kebencian, dan kebodohan.” Setelah Ārya Panthaka mengajar dengan terperinci makna dari hanya setengah bait tersebut, dua belas ribu orang yang mendengarkan mendapatkan realisasi tentang Kebenaran dan mencapai satu atau lebih dari empat buah dari Sang jalan. Beberapa membangkitkan aspirasi untuk pencerahan dari Jalan Shravakayana, yang lainnya untuk pencerahan dari Jalan Pratyekayana, dan yang lainnya untuk pencerahan dari Jalan Mahāyāna. Hampir semuanya memperoleh keyakinan terhadap Triratna. Setelah itu, Ārya Panthaka kembali ke Jetavana dimana Sang Guru menyatakan bahwa, di antara semua murid, beliau adalah murid yang termahir dalam menghasilkan perubahan bermanfaat pada batin makhluk hidup.

(dikutip dari Liberation in Our Hands-versi Bahasa Indonesia, Hari Keempat).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *