Beberapa waktu lalu ada yang sempat curhat, “Gak bisa liburan kemana-mana nih, pengeluaran banyak sekali yah, apalagi setelah punya bayi.”
Hmm, kok kayanya familiar bangat yah? Apalagi buat keluarga muda yang baru punya bayi, uang udah kaya air keran yang bocor, banyak pengeluaran, dan punya satu alasan yang dirasa sangat kuat, “Kan untuk dedek bayi.”
Pengeluaran banyak dimulai dari saat hamil. Pengeluaran ke dokter kandungan setiap bulan, syukur-syukur bisa ditanggung kantor 100%, kalau tidak yah terima saja. Belum lagi dokter kandungan di sini rajin bangat setiap bulan harus USG bahkan ada “harus” 4D USG dan semakin dekat dengan persalinan, harus seminggu sekali periksa ke dokter. Belum lagi masalah beli perlengkapan bayi. Dari mulai hamil, sudah sibuk browsing sana-sini produk bayi terbaik, kan demi dedek bayi dalam perut yang ingin diberikan produk terbaik. Jangan sampai nanti bahan bajunya bikin panas atau bikin alergi.
Menjelang kelahiran, mulai sibuk cari informasi biaya melahirkan, normal atau operasi. Saat bayi lahir, kebahagiaan terasa berlimpah. Kasih sayang keluarga ditumpahkan semua ke dedek bayi. Tiba waktunya dedek bayi harus diimunisasi dan kaget mengetahui harga yang harus dibayar. Tambah lagi jika dedek bayi minumnya susu formula bukan ASI, yang mana harus bayar. Buat ibu yang memberi ASI pun juga mengeluarkan biaya untuk bantal menyusui, bra menyusui, baju menyusui, apron menyusui, dan perlengkapan lainnya dimana jaman ibu kita waktu dulu menyusui bayinya, perlengkapan ini sebagian besar tidak ada
Ketika bayi 6 bulan dan masuk masa MPASI, mulai rempong cari perlengkapan makan terbaik khusus bayi. Semua perlengkapan makan khusus, termasuk pisau, panci, tidak boleh disatukan dengan perlengkapan orang dewasa, bahkan cuci dan simpannya pun terpisah. Terbayang kan habis berapa duit lagi pengeluarannya.
Karena ini jaman milenial, orang tua yang lagi browsing, eh ketemu review tempat liburan anak yang lagi hits. Walaupun anak masih kecil dan gak ngerti juga mau dibawa kemana, tetap aja liburan jauh dan mahal, demi anak katanya, yang mana pada saat liburan ternyata kebanyakan waktunya dihabiskan di hotel karena anaknya butuh tidur siang dan istirahat.
Belum nanti pas umur 2 tahun lebih sedikit, orang tua sudah tergoda untuk masukin anak sekolah. Alasannya, “Bukan belajar kok tapi biar bisa bersosialisasi.” Dan di waktu ini komentar yang muncul, “Wah gila yah, anak kecil begini biaya sekolahnya mahal bangat!” Tapi tetap, demi sosialisasi (entah anak atau emaknya yang butuh), sekolah di umur 2 tahun (bahkan ada yang lebih kecil lagi) tetap dilakonin. Tambah repot lagi jika ternyata sekolahnya di dalam mal atau dekat mal, akan biaya tambahan makan di resto atau belanja sedikit-sedikit yang mencuri mata #grin.
Dari sekian banyak kebutuhan keluarga muda ini, wajar saja jika dirasa penghasilan tidak mencukupi. Jika tidak pintar memilah-milah mana yang benar-benar kebutuhan dan mana yang cuma jadi ajang biar eksis, tabungan akan terus tergerus sementara penghasilan relatif tetap.
Mulai pada saat hamil, mencari dokter yang benar-benar cocok, bukan hanya karena dokter yang pasiennya banyak tetapi maksa tiap periksa harus USG dengan biaya ditanggung pasien pastinya. Buka komunikasi dengan dokter apakah USG benar-benar diperlukan di setiap jadwal periksa, apalagi USG 4D tanpa ada diagnosa yang jelas. Cari tahu biaya melahirkan di RS tersebut, apakah masih bisa diusahakan atau tidak, memang sih demi bayi, apapun mesti diusahakan, tetapi tidak ada salahnya juga berhitung.
Persiapan bayi lainnya, baca dan cari tahu sebaik-baiknya, mana yang benar-benar diperlukan. Jangan seperti saya, ikut-ikutan beli kolam renang plastik dan ban leher padahal hanya dipakai 2 kali, itupun sudah susah payah ngisi airnya tapi berenangnya hanya 15 menit. Begitu juga perihal imunisasi, ASI, dan MPASI. Baca sebaik-baiknya imunisasi yang diperlukan oleh anak, baca dari sumber terpercaya bukan dari sekedar testimoni, atur jadwal imunisasi sesuai yang direkomendasikan IDAI. Gak usah merasa gak kece karena imunisasi dilakukan tidak dengan dokter anak di RS swasta yang lebih mahal melainkan di klinik biasa yang tarifnya lebih murah.
Mengenai ASI dan MPASI, saking banyaknya bacaan akhirnya banyak sekali perabotan yang harus dibeli dan harus disesali karena ternyata gak dipake-pake amat. Ada mamah atau mamah mertua yang sebenarnya bisa dijadikan rujukan jitu mengenai kebutuhan MPASI bayi kita.
Kebutuhan liburan bersama si kecil, cobalah timbang kembali atau tanyakan kembali, demi anak atau demi orang tuanya? Bandingkan harga hotel dan transportasi apakah benar-benar dibutuhkan oleh si kecil atau sebenarnya si kecil sudah asyik-asyik aja lihat burung, anjing, kucing, atau ayam tetangga, atau sekedar main perosotan dan kolam renang yang sebenarnya juga gak harus di hotel.
Mau liburan murah di sekitar Jakarta saja? Banyak. Sekarang sudah banyak taman dan RPTRA taman bermain anak yang lengkap. Ada tempat wisata murah dan kalau dikunjungi gak bakalan selesai dalam 1 hari? Ada kok, Taman Mini. Banyak sekali area tempat anak bermain sambil belajar. Panas? Ah, Bali panas kok, Singapura juga panas. Mau ke kebun binatang ke Ragunan saja, terakhir kesana tempatnya sudah bersih dan gak bau, banyak pohon juga sehingga enak buat jalan-jalan, jangan lupa bawa bekal dari rumah yah. Mau ke pantai, di Ancol ada tapi jangan dulu ke Dufan kalau anak belum umur 4 atau 5 tahun, percuma, gak bakal ngerti dan merasa asyik.
Terakhir mengenai sekolah, sekali lagi cari informasi sebanyak-banyaknya butuh apa nggak dan memilih sekolah yang tepat. Karena tidak jarang yang dibanggakan saat anak sudah bersekolah di usia yang sangat dini bukan karena si anak jadi jago bersosialisasi (yang pertama jadi alasan utama) tapi malah balik lagi ke “Ih, anakku sudah pintar menyanyi twinkle-twinkle”, atau “Anakku sudah bisa menyebut warna dalam bahasa Inggris”, atau “Si dedek sudah bisa berhitung sampai sepuluh lho.” Nah kan, terbalik sama tujuan awal?
Jadi pada dasarnya, menurut saya, walaupun orang tuanya bukan lulusan ekonomi seperti saya, pada saat memasuki kehidupan rumah tangga, suami dan istri adalah manajer keuangan yang harus bisa bekerja sama untuk menghidupi keluarganya. Urusan keuangan tidak selalu harus istri yang mengatur atau suami saja yang bertanggung jawab mencari nafkah, apalagi dibarengi dengan urusan membesarkan anak. Tidak harus juga sampai konsultasi ke perencana keuangan, tidak juga sampai pelit bangat sehingga anak mesti mendapatkan MPASI yang itu lagi – itu lagi atau imunisasi dikorbankan.
Intinya pemasukan dan pengeluaran balance dan ada yang ditabung dan diinvestasikan; gak perlu canggih-canggih amat main saham sampai harus melototin bursa setiap saat. Bijaklah dalam setiap pengeluaran dan bekerjasama dengan pasangan untuk mengelola keuangan keluarga. Dan setiap kali ada pengeluarang yang berkaitan dengan anak, tanyakan kembali dan jawab dengan jujur, “Demi anak atau sebenarnya orang tuanya aja yang mau?”
-Yenny Wijaya/Aya-