Konsep buddhis tentang kebajikan terkait erat dengan ajaran tentang karma. Kebajikan merujuk pada perilaku konstruktif (baca: berguna) berikut akibat-akibat setelah perilaku tersebut yang juga bersifat konstruktif yang terbentuk di dalam kesinambungan batin kita. Mereka semua merupakan potensi positif yang akan berbuah dalam bentuk perasaan-perasaan bahagia yang kita alami kelak kemudian waktu dalam berbagai bentuk situasi dan kondisi. Kebahagiaan ini bukanlah sesuatu yang kita peroleh seperti halnya imbalan setelah berbuat baik dan tak seorang pun yang bisa memberikannya kepada kita. Kebahagiaan terjadi secara alami sebagai akibat dari berperilaku, bertutur-kata, dan berpikir secara konstruktif, tanpa kemarahan, kemelekatan, keserakahan, maupun sikap naif.
Konsep Buddhis tentang Kebajikan
Dalam buddhis, kita sering berbicara tentang pentingnya mengumpulkan kebajikan. Kata “kebajikan” itu sendiri harus dipahami dengan baik. Istilah asli dalam bahasa Sansekerta adalah “punya”, dan sinonimnya dalam bahasa Tibet adalah “sonam”. Melalui situs KBBI daring, tercantum makna kebajikan sebagai: sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya); perbuatan baik. Makna kata “bajik” hanya merujuk pada satu kata, yaitu “baik”, yang mana artinya mujur, beruntung, menguntungkan, berguna, manjur, tidak jahat (tentang kelakuan, budi pekerti, keturunan, dan sebagainya).
Baik istilah dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Tibet bisa diterjemahkan menjadi “potensi positif” atau “kekuatan positif”, karena ini adalah sesuatu yang muncul sebagai akibat dari bertindak secara konstruktif dan yang kemudian berbuah menjadi kebahagiaan. Tentu saja kita bisa menilik lebih dalam karena ada tiga istilah yang cukup teknis dan spesifik yang terlibat di sini.
Apa yang dimaksud dengan “bertindak secara konstruktif”?
Apa yang dimaksud dengan “kebahagiaan”?
Apa itu yang disebut proses “berbuah”?
Apa kaitan antara bertindak konstruktif dengan merasa bahagia? Sebagai contoh, saya mungkin berupaya melakukan hal-hal baik, tapi akibatnya saya merasa tidak terlalu bahagia, apa yang sedang terjadi?
Apakah Kita Berhak untuk Berbahagia?
Apakah semua orang punya hak untuk mendapatkan keadilan dalam hidupnya? Apakah keadilan itu seperti konsep ideal sosialisme: semua orang berhak memiliki pekerjaan, rumah yang baik, makanan, dan seterusnya. Apakah kita berhak memiliki itu semua semata-mata karena kita memiliki yang namanya sifat kebuddhaan, atau apakah kita harus memperjuangkannya? Apakah kita harus melakukan sesuatu untuk mendapatkannya? Apakah kita berhak memiliki rumah bagus dan mendapatkan kebahagiaan? Apakah kita pantas untuk bahagia? Pada level psikologis, ada orang-orang yang merasa dirinya tidak pantas untuk berbahagia, dan mereka tidak mengizinkan dirinya sendiri untuk berbahagia. Mengapa?
Dari Sudut Pandang Buddhis, Kebahagiaan Datangnya dari Potensi Positif
Buddhisme mengatakan bahwa sebagai bagian dari sifat kebuddhaan, kita memiliki yang disebut potensi positif. Ungkapan klasik untuk ini adalah, sebagai bagian dari sifat kebuddhaan, kita memiliki “kumpulan kebajikan”. Sebenarnya, kata “kumpulan” bisa mengandung banyak konotasi. Istilah yang bisa dipakai adalah “jaringan”. Kita memiliki jaringan potensi-potensi positif. Semua orang memiliki satu dan lain bentuk jaringan ini.
Konsep ini cukup rumit. Jika Anda meluangkan waktu untuk merenungkannya, kita memiliki potensi untuk bisa belajar, potensi untuk membangun sebuah keluarga, dan potensi untuk mencintai orang-orang. Kita punya segala bentuk potensi positif; potensi-potensi untuk melakukan tindakan positif. Kita memiliki potensi untuk berbahagia. Kita punya kesempatan, potensi-potensi untuk itu. Karena ada sejumlah besar potensi-potensi yang saling terkait satu sama lainnya untuk segala macam hal yang banyak sekali jumlahnya, mereka membentuk sebuah jaringan. Sebagai hasil dari jaringan potensi-potensi positif ini, kita bisa bahagia. Saya memiliki potensi untuk memiliki sumber penghasilan, saya memiliki potensi untuk mencintai orang-orang dan membina sebuah keluarga, dan seterusnya, oleh karenanya, saya memiliki potensi untuk bahagia. Semua orang memiliki jaringan mendasar seperti ini. Di atas basis tersebut, kita bisa mengatakan bahwa kita pantas, bahwa kita sudah mendapatkan kebahagiaan.
Apakah Kebahagiaan Harus Diperjuangkan?
Kalau kita ingin bahagia, apakah sudah cukup kalau sekadar ingin bahagia untuk benar-benar berbahagia, atau kita harus melakukan sesuatu dalam rangka memperjuangkan kebahagiaan? Jika kita harus memperjuangkannya dengan cara bertindak, apakah kita memperolehnya dari perilaku, atau kita mendapatkannya dari motivasi kita? Ambil contoh kita mengundang teman-teman untuk makan; kita berniat memasak makanan yang enak dan membuat mereka bahagia. Motivasinya baik, tapi kemudian makanan gosong dan berubah menjadi bencana, atau salah satu teman jatuh sakit, bahkan tersedak karena tulang. Mana yang lebih penting, motivasinya atau hasil dari tindakan yang kita lakukan?
Motivasi saja tidaklah cukup. Kita harus benar-benar bertindak melakukan sesuatu. Tentu saja, motivasi juga tidak muncul setiap saat….andaikan kita tidak berniat membuat orang bahagia atau tidak berniat bertemu dengan orang, kebetulan saja kita bertemu dengan orang dan ini membuat mereka bahagia. Di sini sebenarnya yang terjadi adalah kombinasi banyak faktor.
Karma Berkaitan dengan Hasil-hasil dari Bertindak Konstruktif atau Destruktif
Pertama-tama, karma berbicara tentang apa yang menjadi buah atau hasil dari bertindak secara konstruktif, dan apa yang dihasilkan dari bertindak secara destruktif. Di sini kita berbicara tentang hubungan sebab-akibat. “Konstruktif” di sini artinya bertindak sedemikian rupa sehingga, dari sudut pandang motivasi, bebas dari kemelekatan: “Saya ingin bahagia, saya melakukan ini agar bisa bahagia,” bebas dari kemarahan, bebas dari sikap naif, dan seterusnya. Di balik benak kita, motivasinya adalah: “Saya tidak mau menyakiti siapa pun,” dan seterusnya. “Saya mau menolong sesama” juga bisa terkandung di dalamnya, tapi ia bukan merupakan karakteristik menentukan yang paling penting. Jika Anda berniat menolong seseorang, itu adalah bonus, sebuah tambahan. Motivasi yang paling mendasar adalah sebuah niat yang bebas dari tindakan yang didorong oleh nafsu keinginan, atau kemarahan, atau sikap naif. Ambil contoh seorang ibu yang merasa, “Saya akan memperlakukan anak-anakku dengan baik karena saya ingin mereka menghormatiku, mencintaiku, merawatku ketika saya sudah tua, melayaniku, dan seterusnya.” Dalam kasus seperti ini, sang ibu barangkali bertindak baik pada anak-anaknya, tapi motivasinya adalah kemelekatan. Kita tidak akan bisa mendapatkan banyak kebahagiaan dari sikap seperti itu.
Ketika berbicara tentang “hasil atau akibat dari bertindak secara konstruktif”, ini sebenarnya cukup rumit. Motivasi saja tidaklah cukup, kita butuh sebuah kombinasi antara motivasi, tindakan, dan hasil langsungnya. Motivasinya bisa saja positif, seperti ketika Anda memasak makanan enak dan tamu Anda tersedak, karena itu ini adalah permasalahan kompleks. Akan tetapi, di antara semuanya, motivasi memegang nilai paling penting.
Sebagai hasil dari bertindak secara konstruktif, kita “mengumpulkan kebajikan”. Tapi, apa artinya “mengumpulkan”? apa pula artinya “kebajikan”? sebelumnya kita telah melihat arti kebajikan. Sekarang kita melihat apa yang dimaksud dengan mengumpulkan.
Potensi positif, yang disebut “kebajikan” adalah potensi agar kebahagiaan bisa muncul. “Mengumpulkan” bukan berarti kita sedang mengoleksi angka atau nilai. Pun bukan berarti kita telah memperolehnya, seperti memperoleh bukti-bukti dalam kasus hukum, sebagai hasilnya, Anda akan dibebaskan. Bukan seperti itu maksudnya. Satu cara untuk mengkonseptualisasikannya adalah melalui penjelasan bahwa kita memperkuat jaringan potensi-potensi positif yang kita miliki. Karena kita memiliki yang namanya jaringan paling mendasar yang disebut sifat kebuddhaan, kita memperkuatnya supaya ia bisa berfungsi lebih baik. Ini bisa diibaratkan sistem elektronik dengan banyak tabung dan sebagainya, dan Anda memperkuatnya supaya arus listrik bisa mengalir lebih kuat dan bertenaga.
Apa Artinya Berbuah dalam Bentuk Kebahagiaan?
Poinnya di sini adalah, apa artinya tindakan-tindakan konstruktif dan potensi positif yang muncul darinya berbuah dalam bentuk kebahagiaan? Penting sekali memahami istilah “berbuah.”
Pertama-tama, kita tidak berbicara tentang apa yang orang lain alami berkat tindakan kita. Kita berbicara tentang apa yang KITA alami dari tindakan kita sendiri. Kita bisa saja memasak makanan lezat untuk sahabat-sahabat kita karena kita mencintai mereka dan ingin mereka bahagia, tapi mereka tidak suka dengan makanannya. Kita tidak menimbulkan kebahagiaan apa pun untuk mereka. Jadi, tindakan konstruktif kita tidak serta-merta menimbulkan kebahagiaan pada orang lain. Ini bukanlah yang dimaksud dengan tindakan konstruktif yang berbuah dalam bentuk kebahagiaan.
Kita juga tidak sedang berbicara tentang apa yang Anda rasakan segera setelah sebuah tindakan konstruktif dilakukan. Saya melakukan hal yang sangat menyenangkan untuk teman yang akan pergi ke tempat yang jauh. Saya merencanakan pesta perpisahan dan saya melakukan banyak hal untuk menyenangkan dirinya, lalu teman saya pindah ke kota lain dan saya menangis dalam kesedihan selama berhari-hari. Kita tidak sedang berbicara tentang apa yang Anda rasakan segera setelah melakukan suatu tindakan konstruktif. Ini bukan yang dimaksud dengan “berbuah.”
Kita punya kesinambungan arus batin. Ada semacam kesinambungan dalam pengalaman-pengalaman yang kita alami. Ini bukan berarti sesuatu yang solid yang sedang bergerak, tapi ada kesinambungan dalam pengalaman kita dari satu momen ke momen berikutnya, sebuah aliran momen-momen pengalaman yang mengalir dari satu ke berikutnya di sepanjang hidup kita dan berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Di setiap momen, keseluruhan jaringan potensi kita hadir dan bisa berpengaruh pada apa yang akan terjadi pada momen berikutnya. Kita juga harus senantiasa ingat bahwa, sama halnya dengan jaringan potensi positif, kita juga memiliki jaringan potensi negative. Karena kekacauan pemahaman kita akan realita, kita punya banyak cara-cara destruktif. Kita juga memiliki potensi-potensi negatif: potensi negatif untuk bersikap sarkastik, bersikap kejam, kadang-kadang berbohong, dan yang lebih kuat lagi, potensi negatif untuk tidak berbahagia. Kesemuanya itu juga seperti sebuah jaringan potensi yang mendukung satu sama lainnya dalam berbagai macam kombinasi.
Berbuah adalah Proses Nonlinear dan Kacau-Balau
Ketika berbicara tentang potensi-potensi untuk berbuah ini, salah satu caranya adalah mereka berbuah dalam bentuk yang kita inginkan. “Saya ingin bersama dengan orang bertipe seperti ini, saya tidak suka dengan orang bertipe seperti itu.” “Saya suka mengungkapkan perasaan-perasaanku dengan sangat jelas.” Semua hal-hal yang kita sukai atau tidak sukai, kombinasi dari apa yang secara umum disebut dengan “kepribadian” kita. Apa yang sedang terjadi adalah, di atas dasar itu semua, inilah yang berbuah: kepribadian kita, hal-hal yang kita sukai dan tidak sukai, bergantung pada situasi dan kondisi, berbagai macam dorongan akan muncul. Saya suka berjalan di lorong-lorong yang gelap. Dorongan muncul, saya akan berjalan di lorong yang gelap dan, sebagai akibatnya, saya dirampok. Itu adalah satu bentuk tingkatan yang kita bicara ketika kita mengatakan, “Karma berbuah.”
Aspek lainnya adalah yang akan berbuah dalam bentuk “Saya bahagia,” “Saya merasa enak,” atau “Saya merasa tidak enak,” yang bisa muncul dalam situasi apa saja. Ada orang-orang yang sangat kaya dan memiliki banyak harta benda tapi mereka tidak bahagia sama sekali. Ada orang-orang yang tidak memiliki apa-apa tapi mereka bahagia. Ini semua datangnya dari ciri-ciri kepribadian yang mendasar. Ini bisa dipahami dengan sangat mudah dari sudut pandang orang-orang berpikiran Barat. “Saya suka hidup sederhana. Itu membuat saya bahagia.” “Saya suka hidup yang sibuk dan menstimulasi. Itu membuat saya bahagia.” Ini semua berkaitan dengan selera keinginan kita, bukan? “Saya suka bersama dengan orang seperti ini;” “Saya tidak suka dengan orang seperti itu.” Semuanya ini menentukan definisi kita tentang kebahagiaan. Akan tetapi, tidak selamanya kita berbahagia bahkan dengan orang yang kita sukai sekali pun. Yang penting untuk dipahami di sini adalah keseluruhan sistem berbuah dalam bentuk kebahagiaan dan ketidakbahagiaan ini, keseluruhan sistem potensi-potensi positif dan negatif ini, adalah sebuah sistem yang non-linear.
Bukan berarti ketika Anda telah bertindak dalam cara tertentu lalu serta-merta setelah itu Anda akan berbahagia, dan bukan berarti Anda akan senantiasa terus-menerus berbahagia, dan semuanya bergulir dalam garis lurus. Cara kerjanya tidak seperti itu; ia bukanlah sebuah garis lurus. Justru sebaliknya, ia lebih mirip dengan apa yang disebut pola kacau-balau. Itu semua sifatnya semrawut. Kadang-kadang kita tidak bahagia dengan orang ini; lain waktu kita bahagia dengan orang yang sama persis. Ia bukanlah sebuah garis lurus yang bersifat linear. Dalam artian, ia adalah proses semrawut, tapi itu semua bisa dipahami dikarenakan kompleksitas dari semua yang membentuk keseluruhan jaringan dari potensi positif kita, berikut dengan keseluruhan jaringan potensi negatif kita. Ini semua sangat kompleks, sangat rumit.
Seseorang terluka, misalnya para pengungsi Kosovo. Bisa dibilang ketidakbahagiaan yang mereka alami adalah akibat dari potensi negatif. Tentu saja, ini adalah hal yang sulit. Mengapa mereka terlahir di sana dari sejak awalnya? Itu adalah hal yang sangat rumit. Keseluruhan pemahaman tentang potensi-potensi positif dan negatif hanya masuk akal bila dikaitkan dengan sifat dasar batin dan kelahiran kembali yang tidak memiliki titik awal. Tanpa pemahaman ini, semuanya tidak masuk akal. Kalau tidak, mengapa bayi ini bisa terbunuh di Kosovo? Jika Anda tidak menjawab berdasarkan potensi-potensi yang terkandung dalam arus batin seorang makhluk sebagai sebabnya, berarti ada sebuah bentuk makhluk yang mengambil keputusan terkait hal tersebut. Atau, itu bisa jadi hanya nasib sial, yang tentu saja bukan merupakan jawaban yang membantu: “Anda bernasib sial terlahir sebagai bayi di Kosovo. Maaf!” Itu bukan jawaban yang baik tentu saja. Atau Anda bisa mengatakan, “Itu semua salahnnya pihak musuh.” Tapi, tetap saja, mengapa harus saya? Kita tetap butuh jawaban. Ini bukanlah situasi yang mudah. “Mengapa bayi saya terbunuh?”
Dalam buddhisme, kita mengatakan bahwa potensi positif dan negatif ini tidak memiliki titik awal. Ini juga merupakan cara lain untuk menjawab pertanyaan mengapa kejadian tertentu bisa terjadi. Yang lebih menarik adalah, kita bisa membahas apakah seseorang berhak mendapatkan simpati dan diterima sebagai pengungsi di Jerman, atau apakah orang ini berhak bergabung dengan pejuang bawah tanah dan membalaskan dendamnya? Karma memberikan jawaban yang sangat menarik terhadap pemahaman akan potensi-potensi positif dan negatif.
Tentu saja, adalah akibat dari potensi negatif sehingga orang-orang ini kehilangan rumahnya dan anggota keluarganya terbunuh. Tapi jika mereka juga memiliki potensi positif yang banyak, maka otomatis mereka akan mendapatkan simpati, atau bisa jadi mereka diberikan perlindungan di Jerman. Mereka bahkan tidak perlu memintanya, karena bisa saja mereka meminta tapi tidak mendapatkannya karena tiadanya potensi positif. walaupun mereka memiliki sejumlah potensi positif untuk diterima sebagai pengungsi, tapi bisa jadi ada sejumlah potensi negatif yang membuat mereka tidak berbahagia tinggal di Jerman.
Bisa jadi mereka juga memiliki sejumlah besar potensi negatif. Potensi negatif dari tindakan melakukan pembunuhan bisa berakibat Anda berada dalam situasi di mana Anda sendiri atau anggota keluarga Anda yang terbunuh. Bila potensi negatifnya masih ada, maka ia akan terus berlanjut dalam artian Anda akan memiliki kecenderungan hendak membalaskan dendam, dan dorongan itu muncul dan Anda benar-benar berangkat untuk membalas dendam, dengan demikian potensi negatif yang memang terkandung benar-benar dilaksanakan. Karena ini semua tidak berlangsung dalam proses yang linear, suatu hari nanti ini akan menjadi hal yang akan berbuah, di lain hari potensi lain yang akan berbuah. Kita memiliki kombinasi keseluruhan potensi-potensi ini karena, ketika seseorang sedang membalaskan dendamnya, ia bisa jadi melakukan dengan penuh semangat, tapi bisa juga ia melakukannya dengan penuh amarah atau depresi.
Inilah secara umum penjelasan tentang potensi positif di dalam Buddhisme.
Memperkuat dan Menambah Potensi-potensi Positif Kita
Yang harus kita upayakan adalah, sebisa mungkin, memperkuat jaringan potensi-potensi positif yang kita miliki tanpa harus bersikap naif kepadanya, misalnya dengan berpikir bahwa yang harus dilakukan adalah seratus ribu namaskara, atau ini, atau itu, dan saya akan selamanya berbahagia dan tak satu pun yang akan berjalan dengan keliru. Ini semua sifatnya kompleks dan keseluruhan potensi yang kita miliki berbuah dalam cara yang semrawut. Kadang-kadang kita merasa bahagia; kadang-kadang ada hal-hal yang membuat kita merasa tidak bahagia. Secara umum bisa saja saya berbahagia, tapi saya benar-benar menyukai pizza berminyak, jadi saya akan keluar setelah menyelesaikan seratus ribu namaskara dan setelahnya menyantap pizza berminyak karena saya benar-benar menyukainya dan dorongan untuknya telah muncul. Tapi setelah saya menyantapnya, potensi positif yang telah saya kumpulkan dari bernamaskara tidak akan mencegah diriku untuk jatuh sakit. Sangat penting untuk tidak bersikap naif dalam hal ini.
Tujuan utamanya adalah kita hendak mengumpulkan potensi positif sehingga kita bisa memperoleh kondisi-kondisi yang kondusif untuk memperoleh pemahaman terhadap Dharma. Sebagai akibat dari potensi positif, kita akan memiliki kecenderungan untuk memperoleh kondisi seperti itu untuk diri kita sendiri. Sebagai akibat dari potensi positif, saya suka bermeditasi, saya suka merenungkan topik-topik Dharma yang mendalam sebagai akibat dari melakukan praktik-praktik tersebut. Karena kita suka melakukannya, dorongan untuk bermeditasi atau merenungkan sunyata akan muncul semakin sering. Mengapa kita harus mengingat sunyata? Karena dorongan muncul dan kita mengingat hal tersebut. Sebagai akibat munculnya dorongan-dorongan tersebut, yaitu munculnya kondisi-kondisi positif terkait dengan apa yang kita sukai, kita akan memperoleh pemahaman yang semakin mendalam yang akan menghapuskan ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran, dan ketika kita sudah menghapuskan itu semua, kita menghapuskan sebab-sebab penderitaan. Lalu kita akan benar-benar bahagia. Tapi ini semua berjalan dalam proses yang semrawut, tidak linear, bukan proses garis lurus. Bukan berarti kita mendapatkan pemahaman dan sekarang serta-merta, “Wow!” mahasukha mengalir dan Anda bahagia selama-lamanya. Proses ini butuh waktu yang lama.
Itulah alasan utama mengapa kita harus mengumpulkan potensi positif, apa artinya mengumpulkan kebajikan, dan bagaimana cara kerjanya. Penting sekali untuk menghindari konotasi yang menimbulkan kesalah-pahaman yang mungkin jamak di dalam cara berpikir budaya Barat, seperti misalnya kita berhak mendapatkan kebahagiaan, seperti pemikiran, “Kita berhak mendapatkan sesuatu karena sudah membayarnya.”
Dedikasi
Kita akhiri dengan sebuah dedikasi. Dedikasi sangat penting terkait dengan isu yang dibahas saat ini. Apa yang kita lakukan saat melakukan dedikasi? Yang kita lakukan adalah berpikir, “Saya mendedikasikan potensi positif agar semua makhluk lekas-lekas tercerahkan.” Ini kedengarannya seperti doa anak kecil di sekolahan. Bagi kebanyakan kita itu hanya sekadar kata-kata. Jadi, apa sebenarnya artinya?
Yang kita lakukan sebenarnya adalah ini: Semoga apa pun pemahaman yang sudah didapatkan dari sesi ini, bisa berkembang lebih dalam dan lebih dalam lagi. Semoga itu semua digabungkan ke dalam potensi-potensi positifku, sehingga ia memperkuat berbagai aspek dalam potensi yang saya miliki untuk bertindak dengan pemahaman, untuk bertindak dengan welas asih, untuk bersabar ketika menghadapi kesulitan, untuk bersabar ketika saya melihat orang lain menderita, dan seterusnya. Semoga ia memperkuat jaringan berbagai macam aspek ini sehingga mereka berbuah dan memunculkan dorongan-dorongan bagi saya untuk bertindak dengan lebih pengertian, lebih berwelas-asih, dan seterusnya. Semoga itu semua berbuah dalam cara sehingga ketika sesuatu terjadi, saya bisa memahaminya dan saya bisa berbahagia. Itu semua tidak akan membuat saya depresi; ini karena itu semua berbuah dalam bentuk kebahagiaan. Tambahan, ia memungkinkan saya untuk bertindak dengan penuh pemahaman dan welas asih kepada orang lain. Bukannya mengatakan, “Kamu pantas mendapatkannya” ketika seseorang sedang terluka, semoga potensi positif berbuah dalam bentuk pemahaman yang mendalam akan cara kerja fenomena sebagai akibat dari tindakan dan potensi destruktif dan positif.
Itulah artinya ketika kita mengatakan: “Saya menambahkan kebajikan yang telah saya peroleh dari tindakan malam ini ke dalam akumulasi kebajikanku, sehingga semua makhluk berbahagia.” Dan semoga pemahaman semakin berkembang dan semakin berkembang lebih mendalam sehingga memperkuat jaringan-jaringan positif yang kita miliki ini. Semoga ia membuahkan kebahagiaan, dan seterusnya. Itu semua tidak akan terjadi secara linear. Ia akan berbuah dalam cara-cara yang tidak linear. Jika kita paham akan hal ini, kita tidak akan merasa kecewa atau merasa pahit bahwa kemarin saya tidak bertindak dengan lebih berwelas-asih ketika ini atau itu sedang menimpa diriku. Karena itu semua tidak akan berlangsung dengan cara-cara yang konsisten. Akan tetapi, perlahan-lahan, setahap demi setahap, seiring berjalannya waktu potensi-potensi positif akan muncul. Itulah cara kerjanya yang sesungguhnya.
Dengan dedikasi, yang sebenarnya kita upayakan adalah merasakan pengalamannya, pemahaman yang telah kita dapatkan, mengendap dan digabungkan ke dalam keseluruhan sistem kita, dan kita mengembangkan keinginan kuat bahwa kita benar-benar bisa mencerna atau memadukannya ke dalam hidup kita. Mohon pusatkan perhatian beberapa saat terhadap dedikasi tersebut. Terima kasih.
Ringkasan
Dalam rangka menjalani hidup berdasarkan praktik Sila sesuai dengan ajaran buddhis tentang karma, penting untuk memahami dengan benar apa yang dimaksud dengan istilah Sansekerta akan “punya”. Karena kalau tidak, kita mungkin mencampur-adukkan pemahaman yang keliru dan tidak tepat yang muncul akibat konotasi-konotasi tidak tepat yang dipengaruhi oleh terjemahan istilah. “Kebajikan” dalam bahasa Indonesia, atau istilah lain dalam berbagai macam bahasa berbeda. Berbeda dengan berbagai macam kata dalam berbagai bahasa tersebut, istilah aslinya tidak berarti bahwa dengan menjadi orang baik kita berhak dan pantas mendapatkan kebahagiaan sebagai imbalannya. Sebagai gantinya, ketika kita menggunakan istilah “potensi positif”, kita akan lebih mudah melihat apa yang dimaksud dengan perilaku konstruktif yang akan mengumpulkan potensi-potensi positif untuk mengalami kebahagiaan. Ketika kita sudah paham, kita menghindari cara-cara misalnya berbaik-baik kepada orang lain dan menyenangkan hati mereka semata-mata agar kita bisa bahagia. Dan kita juga menghindari sikap mengeluh ketika kita sedang tidak berbahagia karena menganggap dengan berperilaku baik kita sudah pantas mendapatkannya.**
*******
Punya Sancita: Akumulasi Kebajikan Intensif di Pusdiklat Jina Putra Tushitavijaya selama Vassa 2018
Berikut adalah daftar peserta Punya Sancita
27 Juli
Rostami
Th Hassan
28 Juli
Linda Sudiono
4 Agustus
Jessica Chandra
Livina Intania Pramuditha Suhandinata
Edwin Matthew
11 Agustus
Ferry
17 Agustus
Katherine Chandra
Steffie Tanzil
Ida Fitri
Nirawaty
Anthony Lim
**Disadur dari artikel berjudul “Merit: Does Happiness Need to be Earned?” dari situs www.studybuddhism.com oleh Dr. Alexander Berzin, dalam bentuk terjemahan lepas ke dalam Bahasa Indonesia dalam rangka menjelaskan program akumulasi kebajikan intensif “Punya Sancita” di Pusdiklat Jina Putra Tushitavijaya selama periode Vassa monastic 2018.