oleh Praviravara Jayawardhana
Banyak orang berusaha mendefinisikan apa itu Buddhisme dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang menjadi filosofi yang dianut oleh seorang Buddhis. Namun tidak banyak yang tahu bahwa secara tradisi, ada yang disebut sebagai Empat Segel Agung Buddha Dharma yang menjadi penanda ke-otentik-an sebuah ajaran sehingga dapat disebut sebagai Buddhisme. Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche, seorang guru besar Buddhis dari Bhutan yang sangat kreatif, inovatif dan terkenal melalui beberapa karya film beliau, pernah menulis sebuah buku berjudul What Makes You Not a Buddhist, di mana dalam buku tersebut beliau secara cerdas menggunakan Empat Segel Agung untuk menumbangkan berbagai konsepsi salah, stereotypes dan khayalan-khayalan tak berdasar yang dimiliki banyak orang tentang apa sebenarnya Buddhisme dan siapa sebenarnya yang disebut sebagai Buddhis.
Dalam artikel ini, saya akan mencoba menyampaikan secara singkat tentang Empat Segel Agung tersebut berdasarkan sesi pengajaran yang pernah diberikan oleh Yang Mulia Khenzur Rinpoche Lobsang Tenpa, seorang guru besar otentik yang saat ini menjabat sebagai Drepung Tripa, yaitu pemangku tahta Drepung yang membawahi semua biara-biara cabang di bawah Drepung. Drepung sendiri adalah salah satu dari The Great Three, tiga biara terbesar yang menjadi pilarnya Gelug di dalam Tibetan Buddhisme, bersama-sama dengan Gaden dan Sera. Saat ini terdapat +/- 5000 biksu yang belajar di bawah biara Drepung.
Mungkin pertanyaan pertama yang muncul adalah, kenapa perlu mempermasalahkan definisi dan otentisitas Ajaran. Saya kira, yang punya kepentingan untuk mendapatkan jawaban atas hal tersebut tentu saja bukan Buddha. Namun justru ini adalah sebuah privilege yang kita miliki sebagai seorang murid yang hendak belajar, untuk menggunakan kemampuan berpikir dan kebijaksanaan kita dalam memilah ajaran mana yang bisa menjadi obat bagi penyakit yang sedang kita derita. Kita tahu bahwa tiga dari enam sikap batin yang baik dalam belajar Dharma adalah 1) menyadari diri sendiri sebagai seorang yang sakit, 2) melihat Dharma sebagai obat, dan 3) melihat guru dan Buddha sebagi dokter. Dengan demikian, tanggung jawab atas kesehatan kita, pembebasan kita, adalah di tangan kita sendiri untuk bisa memilah ajaran mana yang datang secara otentik dari Buddha sehingga dapat membawa kita kepada pembebasan. Karena tentu saja kita tidak mau salah mencari dokter dan salah minum obat flu untuk mengobati sakit maag kita.
Menjawab lebih lanjut tentang hal ini, Y.M. Khenzur Rinpoche menjelaskan perbedaan antara seorang pengikut Buddhis dengan seorang filsuf Buddhis, yaitu orang yang bukan semata-mata seorang Buddhis saja tapi juga memahami dan menerima filosofi mendalam dari Buddhisme itu sendiri, yaitu Empat Segel Agung. Namun tidak semua Buddhis dapat mengikuti prinsip-prinsip ini karena pandangan seperti ini sudah merupakan tahap lebih lanjut di dalam Buddhisme.
Segel pertama mengatakan bahwa “Semua Fenomena Komposit Bersifat Tidak Kekal”. Saya, sebagai seorang yang memiliki dasar Buddhisme dari teks Pali sejak usia remaja, mengkorelasikan ini dengan “Sabbe Sankhara Anicca” dari Tiga Corak Umum Kehidupan (Tilakkhana). Ada dua definisi yang perlu dipahami di sini, yaitu “fenomena komposit” dan “tidak kekal”. Secara ringkas, fenomena komposit merujuk kepada segala sesuatu yang kemunculannya berasal dari sebab utama dan sebab sekunder (atau biasa suka disebut juga sebagai “kondisi”). Sebagai contoh, ketika membuat sebuah bangunan, maka sebab utama untuk selesainya bangunan tersebut adalah materi bangunan utama seperti semen, batu, kayu dsbnya. Sedangkan sebab sekunder, atau kondisi yang perlu ada untuk memungkinkan dapat selesainya bangunan tersebut adalah pekerjanya, arsiteknya, cuaca dsbnya. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak dapat muncul dengan sendirinya namun kemunculannya bergantung pada sebab dan kondisi disebut sebagai fenomena komposit. Lebih lanjut, sesuatu dikatakan tidak kekal karena ia berubah dari satu momen ke momen berikutnya. Dalam Buddha Dharma dikatakan bahwa fenomena komposit, baik makhluk hidup maupun benda materi, selalu berubah dan tidak dapat bertahan tetap sama melebihi 1/64 dari waktu yang dibutuhkan untuk menjentikkan jari. Ketika berbicara ketidakkekalan, maka ada dua pesan moral yang bisa dipetik yaitu: 1) kesediaan diri (legowo) untuk menerima perubahan dan kehilangan yang kerap dialami di dalam hidup, dan 2) bahwa kematian adalah hal yang pasti meskipun kita tidak bisa tahu pasti kapan kedatangannya dan ketika kematian datang menjemput maka tidak ada sanak saudara ataupun teman ataupun harta yang dapat menolong, namun hanya Dharma yang akan berguna di saat itu.
Segel Kedua adalah “Semua Fenomena Tercemar Memiliki Sifat Dasar Menderita”, atau dalam Tilakkhana, disebutkan sebagai “Sabbe Sankhara Dukkha”. Pentingnya untuk memahami penderitaan bahkan dibabarkan oleh Sang Buddha melalui Kebenaran Mulia yang pertama. Apa yang dimaksud dengan “fenomena tercemar” dan “penderitaan”? Fenomena tercemar pada dasarnya diartikan sebagai sesuatu yang tidak murni yang dihasilkan oleh klesha (faktor mental pengganggu) berikut karma yang muncul darinya. Penderitaan sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu penderitaan nyata dalam bentuk fisik dan mental seperti tertusuk duri dsbnya (Pali: Dukkha Dukkha), penderitaan akibat perubahan (P: Viparinama Dukkha), bahkan termasuk perasaan-perasaan menyenangkan yang oleh Y.M. Khenzur Rinpoche disebut sebagai bentuk penderitaan yang menyamar, dan penderitaan yang ada di mana-mana (P: Sankhara Dukkha) yaitu penderitaan yang ada karena bentuk skandha tidak murni yang kita miliki selama masih berada di samsara. Adapun pesan moral dari segel kedua ini adalah bahwa segala sesuatu yang tercemar harus ditolak dan segala sesuatu yang tidak tercemar harus diupayakan untuk diraih. Mengapa? Karena mereka hakikatnya adalah penderitaan dan sudah jelas bahwa kita tidak mau menderita!
Segel Ketiga mengatakan bahwa “Semua Fenomena Tidak Memiliki Inti atau Aku, Sunya dari Eksistensi yang Inheren”, atau dalam Tilakkhana disebut sebagai “Sabbe Dhamma Anatta”. Pemahaman terhadap segel-segel agung ini menunjukkan tahapan perkembangan batin seseorang. Segel pertama membuat kita bergerak dari perkembangan jalan spiritual yang paling awal, yaitu membuat kita tidak melekat pada kehidupan sekarang dengan menyadari tentang ketidakkekalan dan kematian. Ketika kita mencapai tahap mampu menganggap kehidupan mendatang lebih penting daripada kehidupan sekarang, maka segel kedua mencegah kita menjadi melekat pada kehidupan mendatang karena pada dasarnya terlahir berulang kali di samsara meskipun dengan kondisi kehidupan yang lebih baik pun adalah tidak kekal dan merupakan sumber penderitaan, selama masih tercemar oleh klesha dan karma. Dengan demikian, jawaban satu-satunya untuk membebaskan diri sepenuhnya dari seluruh situasi ini berada pada Segel Ketiga. Untuk menghancurkan akar segala klesha yaitu ketidaktahuan (P: avijja) yang membuat kita mencengkeram pada delusi adanya ‘diri’ sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, maka kita harus mengembangkan kebijaksanaan yang memiliki pemahaman yang sebaliknya dari hal tersebut, yaitu menembus ke-tanpaaku-an.
Dengan usaha mengembangkan kebijaksanaan yang disebutkan oleh Segel Ketiga, maka kita akan bisa mencapai apa yang menjadi lawan dari samsara, yaitu Nirwana, sebuah keadaan damai yang melampaui semua hal. Ini adalah Segel Keempat, “Nirwana adalah Kedamaian Tertinggi”. Nirwana dan samsara sepenuhnya berlawanan. Ketika samsara berakhir, nirwana pun dimulai. Nirwana adalah sebuah keadaan terbebaskan sepenuhnya dari klesha. Seseorang mungkin masih memiliki karma untuk terlahir dalam samsara, namun tidak lagi memiliki kondisi bagi karma tersebut untuk teraktifkan karena tidak lagi memiliki klesha. Karma hanya bisa matang dan diaktifkan oleh klesha. Karena perangsangnya telah hilang sepenuhnya, meskipun seseorang mungkin masih memiliki beberapa karma untuk terlahir di samsara, tapi karma tersebut tidak bisa berbuah dan tidak bisa mendorong kelahiran di samsara. Demikianlah yang dikatakan sebagai seseorang secara definitif telah bebas dari samsara.
Empat Segel Agung merupakan pemahaman yang sangat penting dalam Buddha Dharma. Istilah lainnya adalah Empat Ringkasan, karena masing-masing poin merangkum keseluruhan pemahaman atau pandangan yang sangat penting dalam ajaran Buddha dan menjadi tolok ukur otentisitas dari sebuah ajaran sehingga dapat disebut sebagai Buddhisme. Oleh karena itu, siapapun yang memegang teguh keempat segel ini dalam hatinya dan memeditasikan mereka, maka orang tersebut adalah Buddhis. Bahkan sebenarnya, meskipun orang tersebut menolak disebut Buddhis sekalipun, orang tersebut secara definitif sudah merupakan pengikut Buddha.
Demikianlah sedikit usaha saya untuk menginterpretasikan ajaran tentang Empat Segel Agung Buddha Dharma sebagaimana yang telah diberikan oleh Y.M. Khenzur Rinpoche pada 22-25 Januari 2008 di Kadam Tashi Choe Ling Malaysia. Tulisan ini dibuat berdasarkan pemahaman saya yang masih sangat dangkal dan beberapa rujukan ke bahasa Pali juga adalah berdasarkan pengetahuan pribadi saya yang terbatas. Oleh karena itu, saya mohon maaf apabila terjadi kesalahan ataupun penalaran yang tidak logis di dalam tulisan ini. Dan saya dedikasikan kebajikan yang muncul dari penulisan ini kepada kesehatan dan umur panjang para Guru. Semoga para Guru dapat terus-menerus menjalankan aktfitasnya secara luas, menganugerahkan buah Dharma pengabul harapan kepada para makhluk pengembara.
********
Y.M. Khenzur Rinpoche, sang Drepung Tripa, pemegang ajaran otentik yang dapat ditelusuri silsilahnya hingga ke Buddha Sakyamuni, akan datang lagi ke Indonesia di Maret 2016 untuk memberikan sesi pengajaran Dharma. Jangan lewatkan kesempatan langka untuk dapat menerima berkah dan menikmati nektar Dharma dari Sang Guru. Info lebih detil tentang jadwal pengajaran beliau di Indonesia dapat diakses di www.kadamchoeling.or.id/KhenzurRpc2016 atau bisa menghubungi panitia di info@lamrimnesia.org dan Call Center YPPLN +62812 2281 6044.