Berziarah ke India adalah sebuah kepulangan yang intim. Ihwal kepulangan yang membawa – mungkin juga berusaha – untuk mengenal lebih dekat dengan pribadi yang dinamakan manusia. Barangkali, ziarah ke India juga merupakan sebuah avontur yang mencoba memanusiakan ‘manusia’. Perkenalan diri yang lebih intim sekaligus bersifat privat.
Hal-hal tersebut mungkin tak akan ditemukan di tengah kesibukan kita saat memikirkan kepenatan pekerjaan kantor, ocehan atasan yang tak ada habisnya, tugas dan laporan kuliah yang tak kalah banyak, skripsi yang tak kunjung usai, pacar yang terlalu rumit untuk dipahami, persoalan usaha untung-rugi, dan urusan profanitas lainnya yang terkadang membuat kita lupa bahwa kita adalah manusia.
Tahun lalu, dengan sisa-sisa karma baik dan usaha untuk mendapat restu orangtua, kesempatan itu datang. Di tengah nasib skripsi yang menggantung, pergi ke India adalah suatu keniscayaan yang tak dapat ditolak. Dalam posisi ini, kita bisa mengambil adagium klasik untuk mengatakan bahwa kesempatan tidak datang dua kali.
Bersama Kadam Choeling Indonesia (KCI), India yang awalnya hanya merupakan gambaran di peta, atau sebuah lanskap (frame-frame) yang sering ditemui dalam film fenomenal kuch-kuch hota hai (1998), akhirnya dapat terjamah. Tetapi, kesanjungan terhadap India sebaiknya disimpan terlebih dahulu.
Delhi layaknya Jakarta. Di kota tersebut, kita akan menemukan kemacetan yang biasa kita temui di daerah Semanggi, Thamrin, Sudirman, Kuningan, Gatot Subroto, Tandean, dan jalan lain di Jakarta. Udara panas bercampur deru kebisingan kendaraan tak kalah dengan klakson angkutan Jakarta dan keberingasan pengemudi yang seakan memiliki nyawa 9 adalah bagian sekelumit dari warna di kota ini.
Hampir seluruh angkutan darat terutama mobil penumpang tidak memiliki kaca spion. Kalau ada, itupun malah ditutup oleh pengemudinya. Iseng, saya bertanya ihwal ketiadaan kaca spion ke supir mobil yang saya tumpangi. Pengemudi tersebut menjawab, “Mobil itu jalan ke depan, jadi untuk apa lihat ke belakang. Yang penting itu rem dan klakson.” Mungkin hal ini yang menyebabkan mengapa sulit untuk menemukan mobil-mobil di Delhi tanpa goresan. Semua ini adalah perjumpaan awal yang mengesankan.
Perjalanan Delhi ke Kullu mungkin sama dengan apa yang dikatakan sastrawan Aceh, A. Hasjmy dalam bait awal pada sajak ‘Sawah’. Sawah tersusun di lereng gunung/ Berpagar dengan bukit barisan/ Sayup-sayup ujung ke ujung/ Padi mudanya hijau berdandan. Gambaran lanskap indah, bukit-bukit yang dihiasi hijaunya pohon, dan hamparan lembah nan elok merupakan sisi lain India yang terlupakan. Pengejawantahan seluruh makna keindahan hadir dalam perjalanan darat yang memakan waktu belasan jam.
Kullu, terutama Biara Dagpo menjadi tempat dimana ‘kedamaian’ yang sering menjadi sesuatu yang amorf berubah menjadi benar adanya. Tentu saja, masing-masing dari kita memiliki persepsi yang berbeda dalam memaknai ‘kedamaian’ tersebut. Setidaknya, ‘kedamaian’ yang saya rasakan adalah keheningan yang dirindukan. Keheningan yang mengajarkan untuk menghargai sebuah kesunyian. Sementara, kesunyian membuat kita belajar untuk memuliakan suatu pertemuan dengan diri kita yang sebenarnya dan ajaran buddhisme seutuhnya.
Barangkali, benar apa yang dikatakan Sitor Situmorang dalam penggalan puisi ‘Perhitungan’ untuk Rivai Apin, “Rebutlah dunia sendiri/ dan pisahkan segala yang melekat lemah.” Pengungkapan Sitor cukup jelas. Ia tegas mengatakan bahwa segala sesuatu yang berbentuk kemelekatan seharusnya dilepaskan. Hal ini tentu memiliki korelasi kuat dengan ajaran Buddhisme, dimana Buddha sudah mengingatkan kita perihal kemelekatan tersebut.
Seperti metafor Sitor, mengikuti kegiatan mendengarkan dharma dan menjalankan praktik spiritual di Kullu seperti merebut kembali ‘dunia sendiri’ yang kita rindukan selama ini. Sebuah dunia yang jauh dari kemelekatan genggaman layar 5 inch, dunia yang membuat kita lupa mengenai pergulatan politik Jokowi, penangkapan O.C. Kaligis, tragedi Tolikara, seputar transfer pemain liga-liga Eropa, kegelisahan mengenai jumlah follower Instagram, kesimpangsiuran rilisan album perdana band Barasuara, dan ingar-bingar gemerlap lampu kota yang menjunjung tinggi nilai modernitas. Dunia yang membuat kita bertemu dengan ‘Aku’ yang sesungguhnya.
Di sana, kita dapat melakukan praktik-praktik spritual dengan motivasi murni yang selama ini sering kita lupakan di tengah keberingasan hidup yang menuntut kecepatan sebagai ukuran progesivitas. Bahkan tak jarang di kehidupan modern ini, kecepatan adalah kemampuan diri yang diwajibkan. Yang lambat atau lelet akan dilindas oleh gerbong manusia yang bergerak cepat.
Di sana, kita bebas melakukan atau mencanangkan target spiritual pribadi yang harus kita selesaikan. Jujur, pada tahun kemarin saya tidak menargetkan praktik yang muluk-muluk. Saya hanya ingin menghafal dan memahami kembali Lamrim Dudoen (Baris-Baris Pengalaman) yang digubah oleh Je Tshongkapa. Alasannya adalah saya memiliki pengalaman yang tak terlupakan dan kekaguman luar biasa pada karya ini. Alasan praktisnya, saya tak ingin kehilangan teks ini dalam ingatan. Singkatnya, saya jatuh cinta pada teks ini. Masing-masing dari kita tentu memiliki pengalaman spritual yang berbeda. Kita akan menemukan keintiman dengan diri kita.
Mendengarkan dharma dan transmisi langsung dari Rinpoche merupakan suatu keniscayaan mutlak sekaligus kemewahan klimaks dalam aktivitas spiritual di Biara Dagpo. Kemewahan yang bisa didapatkan dengan mendengar suara-suara Rinpoche yang menjelaskan secara rinci dan detail mengenai instruksi lisan Manjugosha. Kenikmatan yang didapatkan dengan mengilhami nilai-nilai welas asih sembari menikmati udara sejuk dan kondisi kondusif yang tercipta di Biara Dagpo.
Bentuk kemewahan kecil lainnya dari perjalanan ini adalah pertemuan dengan mereka, orang-orang yang memiliki keyakinan luar biasa kepada buddha. Kita akan takjub melihat anak-anak kecil yang berkomat-kamit menghafalkan teks-teks ajaran. Pemuda-pemuda yang giat mondar-mandir dengan buku di tangannya seraya mulut yang tak henti berucap. Ibu-ibu yang terus memutarkan mala-nya dengan melafalkan bait-bait yang kultus dengan hikmat. Orang-orang dengan usia renta yang menelungkupkan kedua tangannya di dada sembari mengucap doa yang tak pernah putus dituturkan.
Ketika pulang dari Kullu, tentu saja kita tidak secara langsung menjelma sebagai buddha, dewa, Übermensch, ataupun pengultusan dewa-dewi lainnya. Setidaknya, ziarah ini berusaha mendudukan posisi manusia sebagaimana mestinya dan menertibkan batin yang terlampau liar. Kepulangan yang membawa etos kebudayaan nilai-nilai budhis dengan berusaha menciptakan karma-karma bajik yang banyak. Barangkali juga, perjalanan ini adalah hal lain yang tak pernah selesai. Ia akan menemukan maknanya kembali dalam penyunyian yang tak kunjung usai.