Guru Nyingma besar, Lhodrak Khenchen Namkha Gyaltsen suatu kali pernah memohon kepada Bodhisattwa Wajrapani untuk menjabarkan kualitas-kualitas Lama Je Tsong Khapa; namun karena sedemikian banyaknya, Wajrapani gagal melakukannya. Untuk mendengarkan riwayat lengkap Raja Dharma Tsong Khapa dibutuhkan setidak-tidaknya satu tahun. Pemaparan singkat ini telah disusun semata-mata sebagai sebuah pengenalan terhadap pembaca berbahasa Indonesia.
Tsong Khapa, yang populer dikenal sebagai Je Rinpoche, lahir pada tahun 1357, di tahun Burung, di wilayah Tsong Kha di Provinsi Amdo, Tibet sebelah Timur. Ayahnya, seorang yang berani tapi tidak berlagak, penuh semangat namun bersifat pendiam dan lebih suka menyendiri, senantiasa memikirkan Dharma dan melafalkan Ungkapan Nama-nama Manjushri setiap hari. Ibunya, seorang yang terus terang, tanpa akal bulus dan sangat baik hatinya, senantiasa melafalkan mantra enam suku kata Avalokiteshwara—Om Mani Padme Hum. Pasangan ini memiliki enam orang anak, Tsong Khapa yang keempat.
Pada masa Buddha Sakyamuni, Tsong Khapa, dalam kelahiran sebelumnya, adalah seorang anak laki-laki yang mempersembahkan tasbih kristal jernih kepada Buddha dan menerima sebuah keong. Buddha memanggil Ananda dan meramalkan bahwa anak laki-laki tersebut akan lahir di Tibet, kelak mendirikan sebuah biara besar di antara wilayah Dri dan Den, mempersembahkan sebuah mahkota kepada rupang Buddha di Lhasa dan berperan utama dalam menyebar-luaskan Dharma di Tibet. Buddha memberikan sebuah nama masa mendatang bagi anak tersebut, yaitu Sumati Kirti, atau, dalam bahasa Tibet, Losang Drakpa.
Semua peristiwa terjadi persis seperti ramalan Buddha. Kerang yang diberikan oleh Buddha kepada anak laki-laki tersebut ditemukan pada saat pendirian Ganden, dan hingga 1959, bisa dilihat di Drepung, biara terbesar di Tibet. Mahkota masih berada di kepala Buddha di Lhasa.
Lebih dari seribu tahun setelah Buddha Sakyamuni mahaparinirwana, ramalan-ramalan lainnya terkait Je Rinpoche, diberikan oleh Guru yang Terlahir dari Teratai, Padma Sambhava. Beliau meramalkan bahwa seorang bhiksu buddhis bernama Losang Drakpa akan muncul di Timur, wilayah yang berdekatan dengan Cina. Beliau mengatakan bahwa bhiksu ini akan dianggap sebagai emanasi dari seorang Bodhisattwa yang paling agung dan akan mencapai Tubuh Kenikmatan Menyeluruh seorang Buddha.
Di tahun Kera, setahun setelah kelahirannya, orang tuanya mendapatkan mimpi-mimpi yang janggal. Ayahnya mimpi didatangi oleh seorang bhiksu dari Gunung Lima Puncak (Wu-tai-shan) di Cina, sebuah tempat yang secara khusus dikaitkan dengan Mañjushri. Bhiksu ini membutuhkan tempat bernaung selama sembilan bulan yang mana di dalam mimpi diberikan oleh ayahnya dalam ruangan doa selama periode waktu tersebut.
Ibunya mimpi dirinya bersama dengan seribu wanita sedang berada di sebuah taman bunga ketika seorang anak laki-laki berpakaian putih membawa wadah datang dari arah Timur sementara seorang anak perempuan berpakaian merah dan memegang bulu merak di tangan kanannya berikut sebuah kaca besar di tangan kiri datang dari arah Barat. Anak laki-laki tersebut mendatangi setiap wanita dan menanyakan apakah wanita tersebut cocok kepada anak perempuan. Anak perempuan itu menolak semua wanita tersebut sampai ketika anak laki-laki itu menunjuk ibu Tsongkhapa, yang dia beri tanda sebagai pilihan yang sempurna. Anak laki-laki dan perempuan itu kemudian memurnikan sang wanita dengan memandikannya dan ketika bangun keesokan harinya ia merasa sangat ringan.
Di bulan pertama Tahun Burung, orang tua Je Rinpoche kembali mengalami mimpi yang luar biasa. Ibunya melihat bhiksu-bhiksu berdatangan dengan berbagai objek ritual, dengan berkata bahwa mereka akan mengundang rupang Avalokiteshvara. Ketika rupang itu muncul, ukurannya sebesar gunung, namun seiring mendekati ibunya, rupang itu mengecil, dan akhirnya memasuki tubuhnya melalui ubun-ubun.
Ayah Tsongkhapa memimpikan Vajrapani yang dari alam murninya sendiri melemparkan sebuah vajra, jatuh pada istrinya.
Sesaat sebelum melahirkan, ibunya bermimpi banyak bhiksu berdatangan membawa persembahan. Ketika ia menanyakan tujuan para bhiksu, mereka menjawab bahwa maksud kedatangannya adalah memberi hormat dan hendak bertemu. Pada saat bersamaan, anak laki-laki berpakaian putih dari mimpi sebelumnya muncul dan menunjuk rahimnya. Dengan kunci di tangan ia masuk ke dalam dan membuka sebuah kotak, dari dalam muncul rupang emas Avalokiteshvara. Rupang ini bernoda dan anak perempuan berbaju merah muncul dan membersihkannya dengan bulu merak. Mimpi ini mempunyai arti bahwa Tsongkhapa merupakan emanasi Avalokiteshvara sekaligus Mañjushri. Pada pagi yang sama, Tsongkhapa dilahirkan tanpa menyebabkan penderitaan bagi ibunya. Di waktu kelahirannya muncul sebuah bintang pertanda baik di langit.
Tanda-tanda ini semua merupakan bukti yang lebih dari cukup untuk menandakan kelahiran seorang yang luar biasa. Dengan tanda-tanda ini, kelahiran Je Rinpoche menyerupai kelahiran Buddha.
Sebelum semua kejadian ini, guru besar Tsongkhapa kelak kemudian hari, Choeje Dondrup Rinchen, sedang berada di Lhasa dan mengetahui bahwa dalam perjalanan pulang ke Amdo, ia akan menemukan seorang murid yang merupakan emanasi Mañjushri. Setelah kelahiran Tsongkhapa, ia mengirimkan murid utamanya untuk mengunjungi orang tuanya dengan membawa simpul pelindung, beberapa pil relik dan surat ucapan.
Di usia tiga tahun, Tsongkhapa mengambil sila upasaka dari Karmapa Keempat, Rolpay Dorje, dan menerima nama Kunga Nyingpo.
Ketika orang tua Tsong Khapa mengundang Choje Dondrup Rinchen ke rumah, Sang Lama membawa kuda, domba, dan sejumlah besar hadiah yang diberikan kepada ayah Tsong Khapa. Ketika Sang Lama memohon kepada sang ayah untuk berpisah dengan putranya, ayahnya bahagia mengetahui kemungkinan bahwa putranya akan bersama seorang guru besar dan mengizinkannya untuk perg bersama Sang Lama.
Sebelum mengambil pentahbisan samanera, Tsong Khapa, menerima banyak inisiasi tantra berikut ajaran-ajaran, termasuk abhiseka Heruka, serta diberikan nama rahasia Donyo Dorje. Ketika berusia tujuh tahun, ia memenuhi kerinduannya untuk mengambil sila-sila samanera; menerimanya dari gurunya. Di sinilah ia menerima nama Losang Drakpa, yang, kelak empat puluh tahun kemudian, menjadi sosok yang paling dibicarakan serta nama pena paling kontroversial di seantero Tibet Tengah.
Tsong Khapa melekatkan nilai penting teramat besar dalam menjaga sila-silanya ketimbang menjaga matanya atau bahkan nyawanya. Ia telah memasuki mandala Heruka, Hevajra, Yamantaka, dan istadewata lainnya sebelum menerima pentahbisan. Ia bahkan telah melakukan meditasi swa-inisiasi terkait Heruka pada usia tujuh tahun. Sebelum diizinkan melakukan swa-inisiasi, sebuah retret besar terkait sosok istadewata spesifik tersebut harus dirampungkan.
Gurunya yang unggul menjaganya hingga ia pergi ke Tibet tengah pada usia enam belas tahun. Di hadapan rupang Buddha Shakyamuni di Kuil Lhasa, ia mempersembahkan doa-doa untuk memungkinkan dirinya merampungkan keseluruhan tahapan sutra dan tantra dalam rangka mematangkan dan menuntun para murid lainnya menuju pencerahan.
Choje Dondrub Rinpoche mengajukan nasihat dalam bentuk puisi yang dampaknya mendorong Tsong Khapa harus terlebih dahulu mempelajari dan menguasai Ornamen Realisasi (Abhisamayalamkara) dan berikutnya melakukan pendekatan terhadap empat teks besar lainnya. Sang Lama lebih lanjut menyarankan pilihan istadewata meditasi umur panjang Tsong Khapa, sosok kepada siapa ia seharusnya melakukan persembahan dan dengan siapa ia harus merasa terus-menerus tak terpisahkan. Berikut adalah sosok istadewata yang seharusnya dilatih: Yamantaka untuk kelanjutan praktiknya; Vajrapani untuk bebas dari gangguan; Manjushri untuk meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan membedakan; Amitayus untuk umur panjang; ketiga Protektor Dharma untuk ketersediaan prasyarat sambilan melakukan praktik; dan Vaishravana, Mahakala Tangan Enam dan Dharmaraja untuk perlindungan.
Pada saat keberangkatan, Gurunya mengantar hingga sejauh Tsongkha Kang lalu Tsong Khapa melanjutkan perjalanan sendirian, berjalan mundur dengan tangannya dirangkupkan di depan dadanya sambil melafalkan Ungkapan Nama-nama Manjushri. Ketika sampai pada baris, “Mereka yang tidak kembali ke samsara tidak akan pulang,” air matanya bercucuran karena sadar dirinya tidak akan pernah pulang lagi ke Amdo.
Bepergian dengan Denma Rinchen Pel, di musim gugur Tahun Kerbau, (1357), Tsong Khapa tiba di Drikung, perjalanan lima hari dari Lhasa, di mana ia bertemu dengan Guru kepala biara Drikung Kargyu, Chennga Chokyi Gyalpo namanya. Guru besar ini adalah guru pertamanya setelah berpisah dengan Guru asal sebelumnya, yang mengajarkan berbagai macam topik seperti Batin Altruistik (bodhicitta) dan lima bagianSegel Agung (mahamudra) selama tinggal di biara. Ia juga bertemu dokter besar Konchog Kyab yang mengajarinya risalah-risalah utama pengobatan dan, ketika berusia tujuh belas tahun, ia telah menjadi seorang dokter yang ulung. Demikianlah kemahsyurannya telah menyebar bahkan di tahun-tahun awal ketika masih belajar.
Dari Drikung, Tsong Khapa pergi ke Biara Chodra Chenpo Dewachen di Nyetang di mana ia belajar dengan Tashi Sengi dan Densapa Gekong. Lebih lanjut, Yonten Gyatso mengajarinya cara membaca teks-teks besar dan terus-menerus membantunya dalam mempelajari Ornamen Realisasi. Dalam waktu delapan belas hari ia telah menghafal dan mencerna baik teks akar berikut seluruh kitab ulasannya, dan dengan segera menguasai keseluruhan karya-karya Buddha Maitreya. Ia pun memperoleh pemahaman menyeluruh Penyempurnaan Kebijaksanaan (Prajnaparamita) dengan kecepatan tinggi dan upaya yang kecil. Guru-guru berikut sesama murid yang berdebat dengannya merasa heran dengan pengetahuannya dan, setelah dua tahun mempelajari Penyempurnaan Kebijaksanaan, ia dikenal, pada usia sembilan belas tahun, sebagai seorang sarjana besar.
Di tahun itu pula Je Rinpoche melakukan debat di dua biara terbesar ketika itu: Chodra Chenpo Dewachen dan Samye. Pada waktu itu ia sudah sangat termahsyur di U-tsang, provinsi di tengah Tibet dan melakukan perjalanan menyeluruh di kawasan tersebut. pertama-tama ia mengunjungi biara besar Zhalu, di mana sang penerjemah termahsyur Khenchen Rinchen Namgyal, murid langsung sang pendiri biara, memberikan inisiasi Heruka kepadanya. Ia melanjutkan perjalanan ke Sakya, pusatnya tradisi Sakya, dalam rangka melakukan debat lebih jauh pada teks-teks utama untuk kemudian meningkatkan pemahamannya. Ketika tiba, ia mendapati bahwa para biksu telah pergi melakukan debat di lintasan Karpu yang letaknya jauh, sebagai gantinya ia pergi ke Zhalu dan bertemu dengan Lama besar Demchog Maitri, yang memberikan inisiasi praktik Tiga Belas Istadewata Yamantaka kepadanya. Setelah itu ia kembali ke Sakya tapi para pendebat masih belum kembali, jadi kali ini ia pergi ke Sazang dan bertemu Pandit Sazang besar, Mati, yang membabarkan banyak ajaran kepadanya. Kembali ke Sakya untuk ketiga kalinya, ia mendapatkan kesempatan menempuh ujian yang dibutuhkan padaPenyempurnaan Kebijaksanaan.
Ia melanjutkan perjalanan mengelilingi biara-biara lainnya di U-tsang, melakukan lebih banyak debat lagi. Ada banyak kisah terkait penampakan-penampakan gaib yang dialami oleh orang-orang yang hadir di tempat-tempat ini, berikut realisasi-realisasi unggul dan pandangan mendalam Tsong Khapa yang terus-menerus meningkat.
Je Tsong Khapa lanjut menempuh semua debat yang dibutuhkan pada sistem pandangan filosofis berkut lima teks besar di berbagai biara. Karena memiliki kekaguman besar pada Nyapon Kunga Pel yang ia temui di Tzechen di U-tsang dan yang darinya ia menerima banyak pembabaran ajaran, ia pergi menghadapnya dan memohon instruksi-instruksi terkaitPenyempurnaan Kebijaksanaan; tapi guru ini sedang tidak sehat dan merujuk Tsong Khapa untuk mencari muridnya, Yang Mulia Rendawa. Je Rinpoche membangkitkan rasa hormat yang besar untuk metode Rendawa dalam mengajarkanHarta Karun Pengetahuan berikut swa-ulasannya. Tsong Khapa mengajukan banyak pertanyaan menyelidiki pada poin-poin tertentu yang mencengangkan gurunya, yang kadang-kadang tidak mampu memberikan jawaban secara langsung. Guru ini memiliki banyak kualitas spiritual dan Tsong Khapa di kemudian hari menganggapnya sebagai guru utamanya. Hubungannya sedemikian rupa sehingga mereka memiliki hubungan Guru-murid yang timbal-balik satu sama lainnya secara bersamaan. Ia juga menerima ajaran tentang filsafatJalan Tengah (Madhyamika) dari Rendawa.
Tsong Khapa menggubah sebuah bait penghormatan untuk Rendawa dan cukup sering melafalkannya:
Manjushri, Raja kemahatahuan tanpa noda,
Avalokiteshvara, harta agung dari maitri yang tak terbayangkan,
O Rendawa Zhonnu Lodro, permata mahkota para bijaksana di tanah bersalju Tibet,
Di kakimu aku mengajukan permohonan,
Limpahkanlah perlindungan padaku, seekor lalat yang mencari Pembebasan.
Rendawa membalas bahwa bait itu lebih cocok untuk Tsong Khapa dibandingkan dirinya dan menyesuaikan bait tersebut menjadi berikut ini. Kini bait ini disebut mantra Tsong Khapa:
Avalokiteshvara, harta agung dari maitri yang tak terbayangkan,
Manjushri, Raja pengetahuan tanpa noda,
Vajrapani, penghancur seluruh kekuatan jahat,
O Je Tsong Khapa, Losang Drakpa,
Permata mahkota para bijaksana di Tanah Bersalju,
Dengan penuh kerendahan aku memohon berkahmu!
Semasa musim gugur dan musim dingin ia menerima banyak ajaran terkait Memasuki Jalan Tengah oleh Chandrakirti, yang juga menyusun sebuah swa-ulasan terhadapnya. Ia pun kembali ke U-tsang, di mana penejermah besar dan ahli metafisika Jangchub Tsemo, akan memberikan ajaran di Lhasa tentang lima teks besar.
Tiba di Lhasa, Tsong Khapa langsung menghadap dan memohon ajaran padanya. Akan tetapi, Lama tua ini dalam kesehatan yang rapuh dan berniat segera berangkat menuju Selatan Lhasa. Tsong Khapa tidak puas dengan ajaran singkat yang diterimanya sehingga kembali ke Nyetang untuk menjadi murid seorang sarjana besar Disiplin Monastik (Vinaya), Kepala Biara Kazhiwa Losal, yang di kakinya ia belajar teks-teks akar Vinaya dan Harta Karun Pengetahuan, berikut banyak ulasan-ulasan terkait. Ketika meninggalkan tempat tersebut, kedalaman pemahamannya melebihi sang guru. Ia hafal sebuah ulasan terkait teks akar panjang Vinaya dengan kecepatan rata-rata tujuh belas folio Tibet yang setara dengan tiga puluh empat halaman.
Ketika melafalkan doa bersama biksu-biksu lain, ia memiliki konsentrasi satu titik penuh tanpa upaya pada vipassana. Akan tetapi, ia tetap tidak puas dan lanjut mencari guru-guru dan ajaran-ajaran. Tentu saja kita bisa memperoleh inspirasi dari ketulusan seperti itu mengingat bahwa ia telah menghafal, misalnya, lebih dari dua puluh ribu bait Prajnaparamita Sutra versi panjang.
Pada musim dingin tersebut muncul sakit punggung yang mengganggu dan ia berpikir untuk kembali pada Rendawa di U-tsang tapi cuaca yang pahit dingin memaksanya menetap di Nanying di mana ia memberikan ajaran untuk pertama kalinya. Para ahli terpelajar memohon ajaran tentang Pengetahuan (Abhidharma), atau metafisika, secara khusus pada Ikstisar Pengetahuan karya Asanga yang menyusun kitab Abhidharma Mahayana. Ia juga berniat mempelajari ulang Harta Karun Pengetahuan oleh Vasubhandu, yang merupakan kompilasi Abhidharma Hinayana. Tsong Khapa mempelajari aliran filosofis lebih tinggi; dan walaupun ia berjumpa dengan teks ini untuk pertama kalinya, ia menguasainya langsung pada pembacaan pertama kali dan mampu memberikan ajaran dengan sempurna.
Dari situ ia pergi ke Rendawa, yang sedang berada di Sakya dan selama sebelas bulan mengajarkan Ikhtisar Pengetahuan.
Pada waktu ini, ia sendiri menerima ajaran-ajaran tentang Ulasan terhadap Ikhtisar Penalaran Sahih karya Dharmakirti, berikut beragam teks lainnya seperti Memasuki Jalan Tengah dan transmisi Vinaya Sutra.
Ketika berada di Sakya ia juga menerima penjelasan Tantra Akar Hevajra dari Dorje Rinchen. Guru ini juga mengajarinya metode untuk menyembuhkan sakit punggungnya.
Dengan ditemani Guru Rendawa, ia berangkat menuju Tibet Utara dan menghabiskan musim semi dan musim panas di Biara Ngamring Chöday. Di sini Rendawa menuliskan ulasan terkait Ikhtisar Pengetahuan yang kemudian diajarkannya kepada Tsong Khapa berdasarkan permohonan muridnya tersebut.
Di waktu ini, banyak orang dari Tsong Kha berdatangan ke Lhasa membawa hadiah-hadiah dari keluarganya yang sudah menjadi keluarga berada serta membawa banyak surat dari keluarga dan sahabat-sahabat yang memohonnya untuk pulang. Membaca surat-surat ini dalam perjalanan kembali ke Lhasa, Je Tsong Khapa mempertimbangkan untuk pulang tapi sadar bahwa perjalanan pulang berarti akan ada jeda dalam proses belajarnya dengan konsekuensi berkurangnya dorongan untuk menolong semua makhluk. Demikianlah ia memutuskan untuk tinggal dan menuliskan surat kepada ibunya, disertai foto dirinya yang bisa berbicara ketika dibuka oleh ibunya. Sejak kecil ia telah senantiasa memiliki dorongan penolakan samsara yang kuat dan di kemudian hari bahkan menolak undangan dari Kaisar Cina, yang memohonnya untuk menjadi Pengajar Kerajaan.
Tsong Khapa memasuki retret selama beberapa bulan dan di antara sesi meditasi ia mempelajari Ulasan Ikhtisar Penalaran Sahih. Teks ini terdiri dari empat bab, dan ketika sampai di bab kedua, ia menyadari kedalaman karya ini dan mengembangkan rasa hormat serta kekaguman tertinggi kepada Dharmakirti, sambilan memperdalam keyakinannya pada Buddha berikut ajaran-ajaran Beliau.
Ia lalu kembali ke Tsang untuk melakukan debat, bepergian ke Narthang di mana cetakan kayu ajaran-ajaran Buddha (Kanjur) dan Kitab Ulasan (Tanjur) disimpan. Di sini ia bertemu penerjemah besar, Donzang, penulis sebuah kupasan kritis terhadap Ulasan Iktisar Penalaran Sahih yang diajarkannya kepada Tsong Khapa. Mereka juga melakukan debat terkait dua set teks, yaitu Pengetahuan dan Vinaya.
Ia menerima ajaran-ajaran terkait aspek teknis puisi dari Penerjemah Namkha Zangpo, lalu kembali pada Rendawa untuk uraian lebih lanjut pada lima teks besar: Filsafat Jalan Tengah (Madhyamika), Logika, Pengetahuan (Abhidharma), Penyempurnaan Kebijaksanaan (Prajnaparamita), dan Disiplin (Vinaya). Secara khusus ia berkonsentrasi pada Memasuki Jalan Tengah dan dari Kepala Biara Narthang, menerima instruksi Enam Teks tentang Penalaran oleh Nagarjuna.
Setelah memperhalus kemampuan dialektika-nya lebih lanjut, ia dan Rendawa kembali ke Sakya di mana ia menempuh ujian pada empat atau lima teks, kecuali Prajnaparamita, yang sudah ditempuh sebelumnya. Kadang-kadang emosi bisa terpancing pada saat debat, namun ia senantiasa tenang dan berbicara dengan penguasaan yang menakjubkan.
Tsong Khapa hidup dengan sederhana tanpa kemewahan maupun kenyamanan berlebihan. Orang-orang merasakan ketakjuban sebelum bertemu dirinya, tapi begitu sudah berada di dekatnya akan merasa bahagia dan rileks. Ia akan menanggapi semua bentuk pertanyaan dengan rasa hormat yang sama. Banyak murid-muridnya yang mencapai pencerahan dalam satu masa kehidupan.
Pada waktu ini orang-orang mulai menyadari bahwa Tsong Khapa adalah sosok yang luar biasa, yang sengaja memilih untuk terlahir kembali dalam rangka menolong semua makhluk. Silanya yang murni menjadikannya sosok terhormat dari segala sisi dan para pengikutnya di U-tsang ketika itu sudah menjadi sebuah pasukan. Adalah sebuah kepastian bahwa ia akan mengambil sila penahbisan penuh, atau biksu, karena tidak ada yang bisa memperkuat tesis yang umum diterima bahwa ia berusia dua puluh satu. Akan tetapi, di sebuah biara di Selatan Lhasa, Kepala Biara Tsultrim Rinchen dan sekelompok biksu hadir pada saat upacara penahbisan. Ritual dilakukan sesuai tradisi Hinayana, yang membutuhkan kehadiran sepuluh biksu dan seorang kepala biara pada saat pentahbisan diberikan di sebuah tempat di mana ajaran sedang berkembang, secara teknis disebut tanah pusat. Jika penahbisan tidak dilakukan di tempat demikian, maka setidak-tidaknya ada lima biksu dan seorang kepala biara yang hadir. Di antara kedua situasi tersebut, kehadiran dua orang sesepuh adalah mendasar sifatnya. Seorang membacakan Vinaya Sutra dan yang lainnya menanyai para calon biksu terkait kecocokannya menjalani kehidupan monastik.
Setelah penahbisan, ia kembali kepada Guru besar di pusat Drikung Kargyu dan sambilan keduanya terlibat dalam percakapan panjang lebar, sang Lama tua bercucuran air mata, berkeinginan seandainya ia bisa berpraktik sedemikian intesifnya sewaktu masih muda. Di kemudian hari Lama ini menceritakan kepada murid-muridnya bahwa dirinya beserta para murid hanya bisa memperoleh bentuk kelahiran yang tinggi sementara Je Tsong Khapa menerima serangkaian aliran realisasi sejak masih muda. Ia menerima banyak ajaran dari Lama ini terkait topik-topik seperti tantra, Enam Ajaran Naropa, karya-karya Je Phagmo Drupa (salah satu murid utama Gampopa) dan ajaran-ajaran dari pendiri biara.
Pada waktu ini, Tsong Khapa telah menerima dari guru Drikung Kargyu ini semua ajaran yang diberikan oleh Marpa kepada dua dari empat putra spiritualnya: Milarepa dan Ngogchu Dorje; dua putra lainnya adalah Meto Chenpo dan Tsultrim Dorje Wang. Tambahan pula, Tsong Khapa senantiasa mengembangkan kualitas-kualitas spiritual dan membaca semua teks dan kitab ulasan yang tersedia.
Di usia dua puluh tiga, ia pergi ke Tsay Gungthang di mana ia mulai menuliskan sebuah ulasan tentang Prajnaparamita Sutra. Ia men-sintesis keseluruhan dua puluh satu Kitab Ulasan India terkait Ornamen Realisasi, karena teks Maitreya itu sendiri merupakan ulasan terhadap Prajnaparamita Sutra, dan menyebut karyanya dengan judul Legshay Serteng (Tasbih Emas Ajaran Mengesankan). Penerjemah Tagtsang, yang sebelumnya memperdebatkan banyak sudut pandang Tsong Khapa, tercengang dengan ulasan ini dan menghujani pujian kepada teks berikut penulisnya. Ia menuliskan, “Seiring terbitnya mentari kebijaksanaanmu, bunga kesombonganku menghilang.”
Tsong Khapa dan murid-murid utamanya pergi ke Lhasa dan memulai retret berpuasa dekat rupang Avalokiteshvara. Suatu malam, ia mengatakan kepada muridnya, yang merupakan juru tulisnya, untuk mengamati mimpinya di malam hari. Sang dayaka melakukannya, dan bermimpi dua keong muncul di angkasa dan mendarat di pangkuannya, lalu bergabung menjadi satu. Ia meniup keong ini, yang mengeluarkan suara gaung yang mendalam. Mimpi ini merupakan pertanda bahwa ajaran Tsong Khapa akan maju berkembang.
Setelah retret ini, ia mengunjungi Nyethang sekali lagi dan memberikan banyak ajaran pada Jalan Tengah berikut teks-teks besar lainnya. Ia memutuskan untuk mempelajari Siklus Kalachakra dan menerima ajaran yang berkaitan dengan ini dari Thubten Yeshe Gyaltsen, yang tinggal dekat Lhasa. Guru ini juga memberikan instruksi-instruksi yang berhubungan dengan astrologi dan konstruksi mandala.
Ia sekarang mulai memberikan inisiasi-inisiasi tantra berikut ajaran-ajaran yang berhubungan dengan praktik-praktik tersebut; terutama inisiasi Saraswati, istadewata kebijaksanaan perempuan, yang menurut beberapa orang adalah pelindung khusus Tsong Khapa. Instruksi-instruksi yang diberikannya matang dan membebaskan begitu banyak murid.
Ketika menetap di Mönkar Tashi Dong, tepat di Selatan Lhasa, ia mengajarkan biografi-biografi para mahkluk suci di masa lampau. Je Tsong Khapa dimohon untuk mengajar dalam tradisi Geshe Shatonpa dan lainnya yang telah menguraikan sebanyak tujuh belas volume selama periode ajaran. Ia berjanji untuk melakukannya dan memasuki retret selama dua puluh satu hari untuk mempersiapkan diri. Ia memiliki ide untuk memulai pembabaran dharma pada hari pertama penanggalan Tibet, tapi dikarenakan begitu banyak peserta yang hendak mengikuti, ia menunda hingga hari keempat untuk memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk tiba di lokasi. Sementara itu, ia memberikan beberapa ajaran dari silsilah Marpa dan Milarepa, dan setelah itu lanjut memberikan ajaran, bukan hanya sebelas, tapi tujuh belas teks dalam tiga bulan. Setiap hari dibagi menjadi lima belas sesi dari subuh hingga petang dan teks-teks yang diajarkan mencakup: Ulasan Ikhtisar Penalaran Sahih, Ornamen Realisasi, Harta Karun Pengetahuan, Vinaya Sutra, empat karya terakhir Maitreya, lima teks Nagarjuna. Memasuki Jalan Tengah, Empat Ratus Stansa Aryadewa dan Penuntun Jalan Hidup Bodhisattva Shantideva.
Semua teks ini berikut ulasannya diajarkan olehnya berdasarkan ingatan, menjelaskan poin diterapkannya analisis logika mendalam serta menguraikannya secara terperinci; namun secara bersamaan ia tetap mempertahankan praktik harian pribadinya. Sebagai contoh, setiap hari ia melakukan swa-inisiasi ke dalam mandala berbagai jenis istadewata seperti Yamantaka.
Dari sini, ia pergi ke Selatan untuk menjalani retret sangat intensif terkait praktik Heruka yang mana ia melakukan swa-inisiasi setiap malam. Dalam tradisi Kargyu, penekanan besar diberikan pada Enam Ajaran Naropa dan Enam Ajaran Nigu, keduanya berkaitan dengan meditasi nafas dan energi panas mistis. Setelah praktik yang luar biasa, di mana ia melakukan delapan ratus putaran meditasi panas setiap hari, ia berhasil mendapatkan kedua jenis siddhi.
Musim panas dilalui bersama dengan guru Sakyapanya, Rendawa. Mereka tinggal bersama dan saling memberikan inisiasi satu sama lainnya di sebuah bukit yang kelak menjadi tempat didirikannya Istana Potala yang terkenal. Rendawa kemudian kembali ke Tsang, Tsong Khapa kembali ke Kyomo Lung, di mana ia memberikan ajaran tentang siklus Kalachakra, Ornamen Realisasi, dan Memasuki Jalan Tengah.
Ia memutuskan untuk berkonsentrasi pada empat kelas tantra dan sekali lagi mencari seorang guru, walaupun ia sendiri telah memberikan inisiasi sejak berumur tujuh tahun. Ia meninggalkan Tsang untuk membahas rencananya bersama Rendawa dan di tengah jalan, di Rongrub Cholung, Kepala Biara Dragpa Shenyen Rinpoche memberikan banyak inisiasi kepadanya. Masing-masing keempat aliran Tibet memiliki standar seperangkat inisiasi dan izin terkait praktik Tantra lebih rendah dan Rinpoche memberikan seperangkat pada bagian ini. Dua dari murid Tsong Khapa telah menerima banyak ajaran dari Lama Umapa Pawo Dorje, yang kemudian memohon Tsong Khapa, melalui para murid, untuk memberikan inisiasi Saraswati. Lama ini selaku gembala muda di Tibet Timur telah memperoleh penampakan Manjushri Hitam. Tsong Khapa memohon ajaran Manjushri Dharmachakra kepadanya, tapi tidak bisa menerimanya ketika itu, karena ia bertekad untuk menemui Rendawa.
Suatu malam Tsong Khapa bermimpi Chokyi Pel. Dalam mimpinya, ia bertanya kepada Lama berapa kali ia telah menerima ajaran Kalachakra dari Buton Rinpoche. Jawabannya adalah tujuh belas, yang diperkuat ketika bertemu langsung dengan Chokyi Pel. Ketika itu, tradisi hidup Kalachakra terancam punah.
Ia tiba di Tagten, bertemu Rendawa dan dua guru lainnya, Dragpa Gyaltsen dan Choije Kyabchog, bersama-sama keempatnya memberikan banyak ajaran. Ia menerima ajaran dari Rendawa terkait Guhyasamaja Tantra, berjudul “Rajanya Tantra,” dan Rendawa menasihatinya untuk memusatkan konsentrasi pada ajaran Ketiga Keranjang atau Tripitaka, Sutta Pitaka, Abhidharma Pitta, dan Vinaya.
Ia kembali ke Lama Umapa Pawo Dorje untuk menerima ajaran Manjushri Dharmacakra berikut sebuah ulasan tentang Panduan Jalan Tengah dan setelahnya, karena aktivitas militer di wilayah tersebut, ia mempraktikkan meditasi secara intensif di dalam sebuah gua. Setelah itu ia pergi menemui Nyento, seorang sarjana terpelajar dan praktisi Kalachakra, yang juga merupakan murid Buton Rinpoche. Setibanya di sana, ia mendapati bahwa Guru besar ini telah selesai membabarkan ajaran pada bab pertama Kalachakra Tantra. Tsong Khapa pertama-tama mempersembahkan selendang kuning, warna yang melambangkan pencapaian yoga Tahap Perampungan, keesokan harinya ia mempersembahkan brokat hijau dan biru, warna yang melambangkan pertanda baik terkait yoga Tahap Perkembangan. Dalam percakapan, sang guru memberitahu Tsong Khapa bahwa kecenderungan dirinya akan memungkinkannya mencapai puncak Tahap Pembangkitan dari praktik tersebut, dan lanjut memberikan ajaran Kalachakra eksternal, internal, dan rahasia.
Suatu malam selama pembabaran dharma ini Tsong Khapa bermimpi seorang Lama Nyingma, Kyungpo Lhaypa, duduk di atas sebuah takhta besar, sebuah mahkota di kepalanya berikut genta dan wajra di tangan, mengulangi kata “karma wajra,” bentuk Sanskerta dari nama mistik Tsong Khapa. Je Rinpoche sangat bahagia dan bertekad pergi ke Zhalu yang menjadi tempat tinggal Lama ini. Di malam lainnya, ia memimpikan Lama yang sama, di dalam hatinya terdapat banyak sekali putaran mantra. Gambarannya begitu jelas bahkan Tsong Khapa bisa membaca setiap mantra satu per satu. Akibatnya ia pun pergi ke Zhalu untuk bertemu Lama ini, yang terbukti sama dengan sosok yang muncul dalam mimpinya.
Dari guru ini Je Rinpoche menerima seperangkat inisiasi standar lengkap untuk ketiga kelas Tantra lebih rendah. Berikutnya ia melapisi dinding kuil tempat diberikannya inisiasi dengan daun emas sebagai tindakan yang menunjukkan bakti kepada gurunya. Di sini ia juga menerima ajaran-ajaran yang diberikan Lama tentang Tantra Heruka sesuai ketiga tradisi dari Mahasiddha Luhipada, Ghantapada dan Krishnapada.
Bukan hanya seorang praktisi yang melatih dirinya harus memiliki bakti tanpa cela pada gurunya, seperti yang ditunjukkan oleh tindakan-tindakan Tsong Khapa, namun sang guru pada gilirannya juga harus bersedia untuk sepenuhnya mengajari wadah yang sanggup menerima sepenuhnya tersebut. Setelah setiap inisiasi, agar pencapaian psikis bisa ditransmisikan, Lama ini akan senantiasa mengatakan bahwa ia menerima materi ajaran dari guru yang ini dan itu, yang telah sepenuhnya bersedia untuk mengarahkan.
* * * * * * * *
*Sumber : Life and Teachings of Tsong Khapa, Library of Tibetan Works & Archives, edited by Prof. R. Thurman.