The Virtuous Cultural Event of Our Time: SEALF December 2015

  • October 16, 2015

Tak pernah sekali pun saya bermimpi bisa bertemu dengan orang besar seperti Dagpo Rinpoche. Kata rinpoche dalam bahasa Tibet berarti permata, sebuah gelar yang diberikan kepada guru-guru Buddhis yang agung di Tibet. Dalam bayangan saya, seseorang yang menyandang gelar seperti itu pastilah sangat tinggi, sosok yang hanya bisa dilihat dari kejauhan dan tidak mungkin bisa dijangkau oleh orang biasa seperti saya.

Prasangka saya ternyata tidak terbukti. Tatapan Rinpoche begitu hangat dan akrab laiknya seorang ayah kepada anak yang terkasih. Sudah lebih dari 20 tahun Rinpoche jauh-jauh datang dari Perancis untuk mengajar orang Indonesia. Alih-alih murid menempuh perjuangan sulit untuk menemukan guru, di sini seorang guru agung bersusah-payah datang dari jauh—bahkan di usia yang lanjut—untuk berbagi ajaran yang berharga.

Satu tatapan dari Rinpoche membuat saya merasa bagaikan orang paling beruntung sedunia.

Dagpo Rinpoche Jampel Jhampa Gyatso dilahirkan pada bulan Februari 1932 di Distrik Kongpo, sebelah Tenggara Tibet. Pada usia satu tahun, Dalai Lama XIII mengenali beliau sebagai reinkarnasi dari seorang guru besar abad ke-19, Dagpo Lama Rinpoche Jampel Lhundrub Gyatso (1854-1919). Inkarnasi Dagpo Rinpoche yang lainnya antara lain Marpa sang Penerjemah (1012-1097)—pendiri silsilah Kagyu Buddhisme Tibet dan guru dari yogi agung Milarepa—serta seorang guru besar berkebangsaan Indonesia, yaitu Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Rinpoche berasal dari Biara Dagpo Dratsang, sebuah biara aliran Gelug yang sangat kental dengan tradisi Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, ajaran Buddha yang dirangkai ke dalam tahapan-tahapan yang sistematis.

Dagpo Rinpoche mempelajari berbagai ilmu dan filsafat Buddhis di Biara Dagpo Dratsang selama sebelas tahun, lalu melanjutkan ke Universitas Drepung. Beliau telah menerima transmisi ajaran yang otentik dan lengkap dari banyak guru lainnya, antara lain kedua tutor Dalai Lama XIV, Kyabje Trijang Rinpoche dan Kyabje Ling Rinpoche, serta dari Dalai Lama XIV sendiri . Pada tahun 1959, Rinpoche bersama sahabat dan pendamping setianya Geshe Thubten Phuntsog mengikuti gurunya pergi ke India untuk menghindari penangkapan massal oleh pasukan Cina yang menduduki Tibet. Dengan berkah Yang Mulia Dalai Lama XIV, Dagpo Rinpoche pergi ke Perancis pada tahun 1960 untuk mengajar kebudayaan Tibet. Pada tahun 1977, beliau pasrah pada permohonan murid-muridnya serta desakan gurunya untuk mengajar Buddhisme di Perancis. Rinpoche mendirikan pusat Buddhisme Tibet yang kini dikenal sebagai Institut Ganden Ling yang menjadi kumpulan Buddhis silsilah Gelug pertama di Perancis.

Guru Suwarnadwipa—salah satu kelahiran lampau Rinpoche—terlahir di keluarga Kerajaan Sriwijaya dan memegang silsilah ajaran batin pencerahan atau aktivitas luas yang otentik, mulai dari Sang Buddha, turun kepada Arya Maitreya, Arya Asanga, dan seterusnya. Pada permulaan abad ke-11, seorang biksu termashyur dari India bernama Atisha Dipankara Srijnana menempuh perjalanan sulit selama tiga belas bulan untuk menerima ajaran tersebut dari Guru Suwarnadwipa. Setelah berguru kepada Guru Suwarnadwipa di Sriwijaya, Guru Atisha kembali ke India dan akhirnya pergi ke Tibet untuk memurnikan ajaran Buddha di Tibet. Dengan kata lain, tradisi Buddhis yang kini berkembang di Tibet khususnya ajaran Lamrim, dapat ditelusuri asal-muasalnya hingga ke tanah Indonesia, yaitu dari Guru Suwarnadwipa dari Sriwijaya.

Pada tahun 1989, Dagpo Rinpoche pertama kali tiba di Indonesia untuk mengajar atas undangan Lan Tjoa, wanita Indonesia yang tinggal di Belanda. Kedatangan Rinpoche di Indonesia ini menandai kembalinya ajaran Buddhis yang dulu beliau ajarkan di Bumi Sriwijaya dan berkembang di Tibet. Silsilah emas yang diwariskan turun-temurun dari Sang Buddha hingga ke era Sriwijaya dan dibawa ke India dan Tibet kini telah kembali ke Nusantara.

Pada kunjungan pertama, Dagpo Rinpoche disambut oleh Bhante Giri Rakkhito di Brahma Vihara di Singaraja, Bali. Merujuk pada silsilah Rinpoche, Bhante Giri sempat berkata kepada beliau, “Anda adalah Bapak Buddhisme di Indonesia. Anda harus mengurus anak Anda yang tercerai-berai.” Kemudian, ketika mengunjungi Candi Mendut, beliau juga bertemu dengan Biksu Sri Pannavaro yang memberikan sebagian abu Guru Atisha kepada Rinpoche. Sebagai balasan, Rinpoche memberikan buku Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan karya Guru Atisha.

Sejak kunjungan pertama beliau pada tahun 1989, Dagpo Rinpoche kembali ke Indonesia untuk mengajar Lamrim setiap tahun. Sudah lebih dari 25 tahun beliau dengan penuh kesabaran membimbing ratusan orang di Nusantara. Sudah selama itu pulalah beliau tanpa henti memancarkan cinta kasih di tanah ini.

Meski menyandang gelar tulku1, semua orang yang pernah bertemu dengan Rinpoche pasti bisa mengungkap banyak cerita tentang kerendahan hati beliau. Meski memiliki silsilah yang begitu agung, Beliau tidak suka merujuknya. Status sebagai reinkarnasi guru besar beliau anggap sebagai tugas yang harus diemban, yaitu menggantikan pendahulunya sebagai pembimbing orang-orang yang menempuh jalan Dharma. Dana yang beliau terima dari umat juga selalu dikembalikan kepada biara.

Dagpo Rinpoche juga tidak sengaja mencari pengikut. Beliau mengajar karena tergerak oleh welas asih untuk memberikan kebahagiaan kepada semua makhluk. Rinpoche tidak sekedar memberi ikan—kebahagiaan sementara—melainkan mengajar kita cara untuk ‘memancing’ kebahagiaan, yaitu dengan mengajarkan Lamrim. Sudah begitu banyak orang yang tersentuh dan hidupnya berubah sejak bertemu ajaran beliau. Rinpoche mampu menyampaikan ajaran Buddha dengan sederhana dan sedemikian rupa hingga kita yang mendengarnya menjadi tak sabar untuk langsung mempraktikkannya. Rinpoche senantiasa mencurahkan segala pengalaman dan realisasi yang beliau capai dengan mempraktikkan Lamrim. Beliau juga selalu mengingatkan kita akan pentingnya studi, kontemplasi, dan meditasi. Pertama-tama kita harus mendengar dan mempelajari ajaran dengan baik. Kemudian, ajaran tersebut harus direnungkan dan dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari. Perenungan ini akan mengantarkan kita pada sebuah pemahaman terhadap esensi ajaran yang harus kita biasakan atau meditasikan hingga meresap dalam batin dan tercermin dalam ucapan dan tindakan.

Tahun ini, Dagpo Rinpoche akan kembali mengumandangkan permata Dharma di Indonesia dalam rangkaian acara Southeast Asia Lamrim Festival 2015. Rangkaian acara ini meliputi public teaching (12-13 Desember) dan inisiasi tantra Avalokitesvara di Jakarta (19-20 Desember), serta puncaknya yaitu Lamrim Retreat yang diadakan di Kota Bandung (23-31 Desember 2015). Bagi mereka yang sudah mengenal Rinpoche, ini adalah momen pertemuan kembali dengan guru tercinta yang telah dinanti-nanti. Bagi Anda yang belum mengenal beliau, inilah kesempatan emas untuk menjalin ikatan dengan guru yang bijak dan penuh welas asih serta mendengarkan ajaran berharga yang akan membawa kebahagiaan dalam hidup Anda.

<div>Sinar Dharma Edisi 34, oleh: Karina Chandra (Ketua Panitia SEALF 2014)</div>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *