Setelah sekian ratus tahun lenyap dari panggung masyarakat Indonesia, Buddhisme berkembang lagi sejak masa kemerdekaan berkat jasa Y.M. Ashin Jinarakkhitta. Di masa lalu sendiri, Buddhisme pernah mengalami masa kejayaan di bawah Kerajaan Buddhis Sriwijaya dan Kerajaan Shiwa-Buddha Majapahit. Kedua kerajaan ini dianggap sebagai dua kerajaan nasional Indonesia pra-kemerdekaan. Banyak sekali peninggalan yang telah diberikan oleh umat Buddhis di masa lalu, sebut saja Candi Borobudur yang merupakan candi Buddhis terbesar sampai hari ini.
Lenyapnya Buddhisme dari Indonesia bukan berarti tidak membawa dampak yang besar terutama bagi masyarakat Buddhis dunia. Salah satu yang paling terlihat adalah hilangnya tradisi tantrik Buddhisme khas Nusantara yang sempat berkembang di Sriwijaya dan Majapahit. Meskipun demikian, tradisi ini masih meninggalkan sedikit banyak pengaruh bagi tradisi lain berkat adanya siswa-siswa mancanegara yang dulu sempat belajar di Nusantara.
Beliau bernama Atisa (982-1054), seorang pandit asal India, yang jauh-jauh datang ke Pulau Sumatera untuk belajar dibawah bimbingan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti (Abad 10), seorang biksu asal keluarga bangsawan kerajaan Sriwijaya. Atisa saat itu tertarik belajar kepada biksu Dharmakirti karena hanya Guru Suwarnadwipa-lah yang mempunyai silsilah kunci ajaran bodhicita dan penggunaan bodhicita sebagai metode untuk jalan pencerahan.
Setelah Atisa menyelesaikan pembelajarannya di Sriwijaya, beliau kembali ke India dan kemudian di undang ke Tibet untuk menegakkan kembali ajaran yang telah merosot di sana. Di Tibet sendiri, Atisa melakukan pembaharuan besar yang menghasilkan mazhab Kadam Buddhisme. Selepas Atisha meninggal, murid utama beliau, Dromtonpa (1005 – 1064), meneruskan ajaran Atisha dengan membaginya menjadi tiga tradisi: tradisi penjelasan tekstual, tradisi lisan, dan tradisi instruksi. Selain ketiga tradisi ini, masih ada satu tradisi lain yang pada saat itu masih diteruskan secara rahasia. Tradisi itu bernama tradisi lojong. Tradisi lojong ini berkaitan dengan bodhicita dan merupakan ajaran yang berasal dari Dharmakirti.
Adalah Je Tsongkhapa (1357–1419), yang di kemudian hari menggabungkan kembali tradisi-tradisi kadam tersebut ke dalam mazhab Gelug. Beliau menggabungkan tradisi-tradisi Kadam yang saat sudah melebur ke berbagai mazhab lain seperti Nyingma, Sakya, dan Kagyu. Mazhab gelug ini sekarang menjadi salah satu mazhab Buddhisme Tibet terbesar dan paling berpengaruh di dunia.
Dengan melihat perkembangan bagaimana ajaran bodhicita dari Dharmakirti di Sriwijaya diturunkan ke orang-orang Tibet dan terus dipraktikkan di sana, khususnya oleh Gelugpa (orang-orang Gelug), maka tidaklah heran jika sebenarnya tradisi Buddhisme yang dulu pernah berkembang di Indonesia pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit masih memiliki kedekatan hubungan dengan mazhab gelug. Terlebih lagi mazhab gelug memang mendeklarasikan dirinya sebagai penerus langsung dari mazhab Kadam yang didirikan oleh Atisha, murid Dharmakirti, seorang biksu besar asal Sumatera era Sriwijaya. Oleh karena itu, jika kita ingin melihat bagaimana ajaran Buddhis di masa Sriwijaya dan Mahapahit dipraktikkan, kita bisa melihatnya di Tibet.
Oleh Manavacari Jayawardhana