Awal Maret lalu, kami, Eva dan Aprianti pergi ke Yogyakarta untuk belajar menganyam. Tidak hanya anyaman, tapi juga besek dan picuk. Tentu saja perjalanan dan pelajarannya sangat menarik, apalagi ini juga pengalaman pertama kami. Proses belajar berjalan dengan baik, kadang mungkin tersendat karena bahasa, namun hal itu menjadi menarik karena memperluas pengetahuan kami tentang bahasa.
Kami belajar menganyam selama 4 hari. Di hari pertama, kami belajar bagaimana cara awal menganyam, kemudian esoknya cara proses anyam ke samping. Hari selanjutnya kami diajari cara awalan anyam dan akhiran anyaman. Terakhir, kami belajar cara penyambungan anyaman.
Setelah belajar menganyam 4 hari, kami juga belajar cara membuat besek, picuk, dan pewarnaan daun anyaman (daun mendong) selama 2 hari.
Sebagian besar orang-orang (bahkan kami sendiri) mungkin sering menganggap kerajinan tradisional ini hal yang biasa. Banyak selentingan pemikiran yang menganggap enteng anyaman mengingat harganya murah dan ketersediaannya yang melimpah. Namun, setelah terjun selama 6 hari tersebut, anggapan itu sirna. Butuh usaha yang amat sulit untuk membuat sebuah becek yang dijual hanya seharga 625 rupiah. Proses pembuatannya sulit, butuh tahu rumusnya hingga percobaan beberapa hari baru berhasil. Anyaman juga hanya dihargai 45 ribu rupiah, padahal proses pengerjaan memakan waktu 2-3 hari. Ini sungguh tidak sesuai dengan tenaga yg dikeluarkan.
Produk-produk modern makin menggeser kerajinan tradisional. Banyak produk anyaman yang sekarang digantikan oleh plastik. Pengrajin maupun penjual anyaman makin hari semakin sedikit. Sebagai generasi penerus bangsa, maukah kalian ikut melestarikan budaya anyaman ini?