oleh Gandharika Jayawardhani
Pernahkah kita renungkan apa tujuan kita memiliki pasangan hidup? Berkeluarga? Memiliki anak? Orang bilang, memiliki pasangan baik, keluarga baik, anak yang baik adalah parameter kebahagiaan. Orang bilang, hidupmu baru disebut lengkap atau sempurna setelah kamu memiliki itu semua. Orang bilang, kamu tidak akan bahagia jika tidak berpasangan sebab kamu akan kesepian dsb.
Kenapa selalu memakai parameter orang lain? Bagaimana dengan penilaian diri kita sendiri? Tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai yang kita anut sangat dipengaruhi oleh orang lain dan lingkungan sosial. Jadi merupakan hal yang umum jika kita setuju dengan pendapat diatas. Atau terpaksa setuju dengan pendapat diatas, karena pendapat mayoritas dikenal sebagai kebenaran.
Tapi sesungguhnya apakah kebahagiaan baru akan diraih setelah memiliki pasangan, berkeluarga dan memiliki anak? Tentu tidak. Kebahagiaan datangnya dari internal dari diri sendiri. Bagaimana kita melihat dunia dan fenomena yang terjadi di dunia ini.
Ketika kita hidup berkeluarga, interaksi dan friksi tentu akan semakin intens, oleh karena itu konflik atau masalah akan lebih sering timbul, namun apa kunci kebahagiaan? Kunci kebahagiaan adalah hanya dengan merubah pola pikir. Jika konflik atau masalah tersebut hadir siapkah kita menghadapinya? Sebaliknya apakah ini akan menjadi sumber ketidakbahagiaan kita?
Kita tidak bisa memaksa pasangan hidup (suami/istri) kita untuk selalu bersikap baik. Ketika memilih untuk berkeluarga, semestinya kita sudah tahu betul konsekuensinya. Jika suatu hari memang harus berpisah (karena memang itu pilihan terbaik), maka apakah kita sanggup untuk tetap mencintai dan menyayanginya bahkan melebihi dari rasa cinta dan sayang saat dia belum menyakiti hati kita? Sanggupkah kita? Tapi itulah sesungguhnya cinta dan sayang yang tulus tak akan berkurang sedikitpun.