Indonesia Lamrim Retreat 2016: Guru Spiritual, Pilot Kehidupan dalam Dharma
28 DESEMBER 2014—Tanpa terasa, lima hari telah berlalu sejak pengajaran pertama di Indonesia Lamrim Retreat 2016. Seperti hari-hari sebelumnya, Biksu Bhadraruci mengingatkan para peserta untuk membangkitkan motivasi bajik dalam mendengarkan Dharma. Kematian dapat datang kapan saja sehingga kita harus mempraktikkan Dharma guna mempersiapkan diri agar tidak hanya hidup sukses, tapi juga bisa mati sukses. Masalahnya, seringkali kita menganggap praktik Dharma dan menjalani hidup di dunia fana seperti minyak dan air, padahal Dharma adalah sabun atau pengemulsi yang melarutkan kehidupan duniawi dan spiritual menjadi satu. Praktik Dharma bukan berarti bertapa menyendiri di pucuk gunung dan melupakan dunia, juga tidak berarti harus berjubah biksu. Dharma bukan soal tampilan fisik, melainkan soal pola pikir, soal sudut pandang, bagaimana kita melihat sesuatu sebagaimana adanya.
Ada kalanya hari ini mood kita jelek sehingga kita merasa kesal pada seseorang. Keesokan harinya, mood kita sudah membaik dan kita merasa senang pada orang yang membuat kita kesal kemarin. Siapa yang berubah? Orang tersebut atau diri kita? Yang berubah adalah cara pandang kita. Dengan demikian, untuk mengubah dunia di sekeliling kita, hal pertama dan terutama yang mesti kita lakukan adalah mengubah cara pandang kita terhadap dunia; jika kita mengubah pandangan kita, maka niscaya dunia pun ikut berubah. Dengan mempelajari dan mempraktikkan Dharma, kita bisa mengubah sudut pandang kita menjadi positif sehingga kebahagiaan dapat diraih.
Usai pembahasan tentang 6 Praktik Pendahuluan kemarin, Biksu Bhadraruci memasuki topik berikutnya, yaitu bertumpu pada guru spiritual, akar dari sang jalan. Pertanyaan yang sering muncul adalah, “Apa pentingnya bertumpu pada guru spiritual? Apakah kita tak bisa mengandalkan diri sendiri saja?”
Guru spiritual ibarat pilot pesawat terbang atau supir bus antar provinsi. Ketika berada di dalam pesawat atau bus, jamaknya kita tinggal duduk santai sambil menikmati perjalanan. Tak sekali pun kita memusingkan ke mana tujuan kita akan berakhir karena kita sepenuhnya percaya pada kemampuan pilot atau supir dalam membawa kita ke tujuan yang ingin kita capai. Kita bahkan sebenarnya mempercayakan nyawa kita di tangan sangat pilot atau supir. demikian santai dan acuh tak acuh karena tak ada sedikit pun keraguan dalam hati kita ihwal kecakapan mereka dalam menjalankan tugasnya.
Dengan logika yang sama, dalam menempuh perjalanan Dharma, kita juga harus bertumpu pada guru spiritual yang cakap dan mahir menuntun kita ke tujuan akhir yang ingin kita raih: pencerahan sempurna. Jika kita memiliki guru spiritual yang demikian, tentunya kita takkan memusingkan arah dan belokan mana yang sedang kita tempuh, apakah kita bakal tersesat atau tidak, atau apakah kita bakal berakhir di neraka atau tidak. Analogi lainnya adalah dokter. Jika kita sakit, pastinya kita lebih memercayakan nasib kita di tangan seorang dokter yang sudah teruji kecakapannya di sekolah kedokteran dan rumah sakit ketimbang seorang dukun yang hanya bisa merapal mantra-mantra tertentu (yang bahkan tidak jelas sumbernya).
Sebagai kesimpulan, keyakinan pada keampuhan praktik bertumpu pada guru spiritualbergantung pada kualitas karma yang kita miliki. Jika karma baik kitamencukupi, kita bisa melihat guru spiritual sebagai Buddha. Sebaliknya, jikakarma baik kita tak mencukupi, kita bisa saja hanya melihat guru spiritual sebagai manusia biasa.
Pada malam hari ini tidak ada sesi meditasi, diganti dengan sesi tanya-jawab bersama Biksu Bhadraruci. Salah satu poin yang paling banyak ditanyakan adalah mengenai keyakinan, mulai dari yang mempertanyakan kesahihan mengajukan permohonan kepada Buddha dan bertumpu pada guru spiritual dibandingkan dengan paham-paham lain yang lebih populer hingga pertanyaan mengenai cara menumbuhkan keyakinan itu sendiri. Biksu Bhadraruci mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya bisa dijawab jika orang-orang dengan serius mempelajari Dharma, tidak cukup hanya mengandalkan ceramah di vihara, tapi juga perlu membaca sumber-sumber lain seperti aneka buku dan kitab-kitab. Setelah banyak mendengar dan membaca, yang harus dilakukan adalah merenung dan melakukan meditasi analisis terhadap apa yang kita dengar dan baca hingga mencapai suatu kesimpulan yang kita tanamkan dalam hati. Dengan metode inilah kita bisa menyempurnakan keyakinan diri kita terhadap Sang Buddha maupun guru spiritual.
Foto-foto:
“Bahagia adalah bisa duduk di sini mendengar dan praktik Dharma.”
Di sela-sela sesi, peserta diajak mengumpulkan kebajikan dengan menggulung kertas mantram untuk diisikan ke dalam rupang Buddha.
Pembacaan doa umur panjang untuk para guru.
#ilr2016