Di bawah kerindangan pohon di taman berbunga dari hotel, seorang perempuan berambut coklat duduk di atas bangku dan sedang membaca. Ia bertanya dengan lembut siapa nama kami, mengundang kami untuk duduk dan memanggil suaminya. Suaminya adalah Tuan MacDonald tetapi bukan seperti yang pernah diberitahukan. Kami sangat terkejut karena ia mengerti bahasa Tibet. Ia berasal dari Skotlandia dan memilih kewarganegaraan Perancis, negara asal istrinya. Mereka mendengarkan permohonan kami dengan saksama, kemudian menanyakan banyak hal. Mendengar bahwa kami belajar filsafat Buddhis, Tuan MacDonald mulai mencari tahu lebih jauh. Apakah saya mengenal riwayat terkenal dari Buton, guru besar Tibet (1290-1364) yang menceritakan tentang penyebaran agama Buddha di India dan negara-negara tetangga? Apakah saya membaca buku ini dan buku itu? Semua jawaban positif saya menggembirakan pasangan MacDonald karena keduanya ahli kebudayaan Tibet dan mereka menawarkan pertukaran pelajaran. Mereka akan mengajarkan bahasa Inggris kepada kami dan kami mengajarkan tentang uraian dari kitab-kitab Tibet. Keberuntungan yang luar biasa. Kami berjanji untuk kembali keesokan harinya pada pukul 4 sore. Kami diharapkan membawa buku tulis.
Pertukaran pelajaran pun dimulai. Tuan MacDonald memulai dengan aksara yang kami tidak mengetahui cara pelafalannya, kemudian kami memulai dengan pembacaan berbagai bagian dari riwayat kuno dan penjelasan tentang penulis dan maknanya.
Mereka sangat senang dengan penjelasan, pembacaan, dan kejelasan semua uraian saya. Tuan dan Nyonya MacDonald mengundang kami untuk makan siang keesokan harinya dan memohon untuk menyediakan lebih banyak waktu. Sampai saat ini mereka bekerja tanpa membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan, dengan seorang biksu dari Biara Drepung Gomang yang berasal dari Mongolia dan logatnya membuat mereka kehilangan makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Mendengarkan saya berbicara dalam bahasa asli, mereka tentu merasa lebih memahami riwayat-riwayat tersebut. Kami bergembira karena diundang makan dan kami pasti terjamin.
Pertukaran pelajaran berlangsung tiga atau empat hari dalam suasana ramah dan semangat, kemudian kami diundang lagi untuk makan siang dua hari kemudian, kali ini, dengan seorang profesor ahli kebudayaan Tibet. Pertemuan yang menentukan.
Profesor Stein berasal dari Jerman dan mengungsi ke Perancis untuk melarikan diri dari kekuasaan Nazi, mengajar kebudayaan Tibet di Ecole Pratique des Hautes Etudes (Sekolah Praktik Perguruan Tinggi). Dengan istrinya, orang Vietnam, yang kecil dan kurus, sedangkan ia berperawakan tinggi. Ia sedang bertugas untuk mempelajari Tibet dengan kedua asistennya yaitu Tuan dan Nyonya MacDonald.
Pada saat kami sedang makan, tiga ahli kebudayaan Tibet tersebut memulai pembicaraan yang seru dalam bahasa Perancis, dan saya menduga bahwa mereka membicarakan tentang Geshe-la dan saya. Padahal saya tidak mengerti apa pun, saya baru mendengar bahasa itu untuk pertama kalinya. Setelah puas berbincang-bincang dengan pasangan MacDonald, Tuan Stein memohon kepada kami agar diperbolehkan menghadiri sesi pelajaran antara kami dan pasangan MacDonald. Saya menduga bahwa ia ingin mengecek kebenaran dari apa yang dikatakan oleh asistennya tentang pengetahuan kami.
Hal yang aneh, kitab yang saya bacakan hari itu mengutip dari Sutra yang mengatakan ramalan Sang Buddha yang berbunyi, “Dua ribu lima ratus tahun setelah parinirvana-ku, ajaranku akan menyebar ke negeri muka-muka merah.”
Tuan Stein memotong pembacaan saya dan bertanya kepada saya untuk menerangkan makna dari teka-teki “muka-muka merah”. “Ada beberapa penafsiran,” saya memulai. “Untuk sebagian orang itu ditafsirkan sebagai orang Tibet dan untuk yang lain sebagai orang Mongol. Tetapi menurut seorang pandit India “muka-muka merah” yang digambarkan oleh Sang Buddha adalah orang-orang dari barat, orang barat.”
Sepuluh menit kemudian, kemungkinan waktu untuk mengambil keputusan, Tuan Stein mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat mengherankan dalam bahasa Tibet yang cukup kaku, “Apakah Anda mau ikut saya ke Perancis di mana Anda akan diterima dalam rumah indah yang dikelilingi oleh taman berbunga?”
Tercengang, saya bertanya kepadanya apa yang diharapkan dari kami, ia menjawab dengan singkat:
“Kita akan bekerja sama.”
Saya memikirkan penawaran “yang luar biasa” ini dengan secepat kilat dan mengingat bahwa sudah banyak lama di India yang lebih ahli dari saya, dan saya harus jujur kepada Tuan Stein.
“Seandainya saya menyetujui penawaran Anda, ada kemungkinan suatu hari nanti Anda akan menyesal. Pikirkan dengan baik-baik, saya bukan seorang ahli tetapi hanya pelajar yang tidak dapat terlalu banyak membantu, sedangkan ada banyak ahli Tibet yang agung, lebih mahir dari saya dan juga akan bersedia. Saya rasa mereka akan lebih cocok.”
Ia tidak mau tahu:
“Kami hanya perlu seseorang seperti Anda. Saya sudah cukup mengetahui tentang pengetahuan Anda dan cara bekerja dengan sahabat Anda dan memperkirakan bahwa semua akan berjalan dengan baik. Saya juga berpikir bahwa seseorang lama atau geshe yang usianya lebih tua akan lebih sulit mempelajari bahasa Perancis, sedangkan umur Anda yang masih muda sebaliknya akan memudahkan Anda mempelajari bahasa kami.”
Akhirnya Tuan Stein terus mendesak dan saya terpaksa menyetujui dengan beberapa syarat:
“Saya tidak mau memutuskan begitu saja. Tentu saya harus belajar bahasa Inggris dan memohon persetujuan dari Yang Mulia. Seandainya Yang Mulia memberi persetujuannya, kita sepakat, jika tidak kami akan menolaknya.”
Seperti banyak rekan ahli Tibet berasal dari berbagai negara Barat, contohnya Tuan Tucci yang paling terkenal, Tuan Stein mengatur perjalanan ke India untuk merekrut asisten di antara para pengungsi Tibet. Ia mengharapkan dapat mengisi kekurangan besar dari semua universitas di negara-negara Barat yaitu kekurangan guru dari Tibet. Sebagian besar ahli Tibet sampai sekarang mempelajari kebudayaan dan sejarah kami secara sendiri yaitu dari guru orang Barat. Mereka mempelajari bahasa kami tanpa pernah berbicara dengan orang asli dan melakukan banyak kesalahan dalam pelafalannya.
Karena kekurangan dana, penanggung-jawab dari 8 negara meminta kepada Yayasan Rockefeller dan mendapatkan pendanaan untuk 32 jabatan asisten-guru bahasa Tibet selama tiga tahun: tiga belas di Amerika Serikat, empat di Perancis dan di Inggris, tiga di Jepang, dua di Denmark, di Jerman, di Italia, dan di Belanda.
Tuan Stein mengajukan permohonan tentang kami kepada Dalai Lama dengan perantara Kedutaan Perancis di New Delhi dan setelah satu bulan menunggu, jawaban dari kantor Yang Mulia datang, “Kedutaan Perancis menyampaikan keinginannya untuk mengundang Anda ke Perancis untuk memperkenalkan kebudayaan Tibet dan membuat lebih mudah dipahami. Kami menyetujui rencana ini. Yang Mulia akan memberikan audiensi sebelum keberangkatan Anda.”
Sementara itu, guru saya dari Buriat yang sudah menjadi profesor di Universitas Benares (Varanasi), kota suci orang Hindu, mendesak sewaktu kami menyampaikan keraguan kami:
“Jangan bimbang lagi. Berangkatlah segera. Jangan tinggal terus di sini. Seandainya saya menerima undangan seperti ini saya sudah berangkat. Berangkat, berangkatlah.”
Menteri Zurkhang yang istrinya melindungi kami memberikan dorongan yang sama dengan penuh semangat, “Sudah waktunya untuk berangkat, karena ketika orang Tibet akan bangkit dari keadaan shock seperti yang dialami saat ini, akan menjadi lebih sulit untuk memperoleh kesempatan seperti ini. Persaingan akan menjadi lebih berat.”
Tuan Stein dan salah seorang rekannya dari Universitas Seattle di Amerika Serikat mencari asisten yang lain dan menanyakan kenalan kami. Saya menunjukkan dua nama kepada Tuan Stein yang mencari seorang ahli lukisan Tibet dan cerita kepahlawanan Guesar, cerita tentang seorang raja dongeng dari zaman sebelum Buddhisme berkembang, cerita yang ditambah dengan petualangan-petualangan baru sepanjang masa. Rekannya yang dari Amerika, yang mencari orang yang mengetahui dengan teliti bahasa yang dibicarakan di Lhasa, saya memperkenalkan Nornang Geshe-la, sahabat lama saya dari Dagpo Dratsang, yang keras kepala dan terkenal karena tingkah lakunya, dan seorang saudara perempuannya. Semuanya diterima.
Tuan Stein mengharapkan saya memperoleh pengetahuan tentang ilmu nujum sebelum keberangkatan saya. Calon atasan saya menganggap ilmu ini akan membantu penelitiannya. Karena itu, saya belajar pengetahuan dasar tentang ilmu ini kepada Panden Gyaltsen, doktor dan ahli ilmu nujum, selama dua puluh hari. Ia seorang yang berpengetahuan tinggi. Ia dapat membaca bahasa Sanskerta dan pernah mengajar banyak lama. Saya bisa memahami penguraiannya tetapi ilmunya, bagi saya tetap terbatas pada teori saja. Penerapannya memang memerlukan sangat banyak perhitungan tetapi saya tidak memiliki banyak waktu. Namun, sebagai “peramal” saya membuat, dengan bantuan guru, sebuah kalender untuk satu bulan dengan perhitungan yang sesuai, catatan posisi dan pertemuan planet-planet serta keterangan mengenai hari baik dan jelek.
Hari keberangkatan kian dekat dan seperti yang direncanakan, Yang Mulia yang sudah bertempat tinggal di Dharamsala, utara New Delhi, di lereng gunung Himalaya, menerima kami untuk audiensi pribadi serta memberikan banyak nasihat. Hari itu adalah tanggal 1 Juni 1960. Bagaimana kami bisa melupakannya.
“Negara Perancis, beliau memulainya, adalah negara sangat penting karena di sana terjadi revolusi pertama. Suatu negara bebas, suatu demokrasi yang sangat kaya akan kebudayaan, dan kita harus belajar banyak darinya. Dari pihak kalian seharusnya berusaha untuk menjelaskan tradisi Tibet. Sebuah tradisi yang layak untuk dihormati. Orang Perancis tidak mengetahui banyak hal tentang kita. Manfaatkan kesempatan ini untuk menekankan perbedaan antara orang Cina dan orang Tibet. Semuanya berbeda: bentuk tubuh, bahasa, kebiasaan makan, dan pola berpikir. Memang peradaban kita berbeda walaupun kita orang Tibet banyak mendapat pengaruh dari Cina selama berabad-abad. Orang Perancis berkat kalian, berkat tugas kepada ahli Tibet ini, harus menemukan kebenaran tentang keadaan di Tibet yang sesungguhnya.”
Kemudian Yang Mulia mulai membicarakan mengenai agama:
“Seandainya ada orang Perancis yang menunjukkan minat terhadap Buddhisme, berikanlah penjabaran yang paling jelas, mengandalkan kepada kitab-kitab penting tanpa bersikukuh tentang pandangan agama. Mengutamakan penalaran logika dan mulai dari kenyataan, dengan memilih kutipan yang sesuai. Sebaiknya kalau bisa, cukup dengan pendekatan ilmiah. Dari semua topik yang dipaparkan, yang paling penting adalah yang berkaitan dengan batin dan cara kerjanya. Seandainya kalian diminta untuk membicarakan tentang reinkarnasi, jangan ragu merujuk kepada penjelasan yang diberikan dalam Tantra daripada Sutra. Penjelasan itu lebih jelas, lebih mudah dipahami untuk orang Barat yang menyukai kerasionalan.”
“Perkenalkanlah kepada mereka hal-hal unggul lainnya dari Buddhisme mengenai tiga latihan yang lebih tinggi yaitu etika (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (prajna), demikian juga tentang meditasi, mengenai ketenangan batin (untuk menambah stabilitas dan kejernihan batin) dan pandangan unggul (untuk mengembangkan ketajaman persepsi). Jika Anda menguraikan topik-topik ini dengan sebenar-benarnya, siapa pun akan tertarik dan memperoleh manfaat.”
“Seandainya kalian ditanya tentang pembentukan alam semesta, atau sebagai contoh, apakah suatu keharusan untuk makan daging atau tidak, maka berikanlah penjelasan yang terperinci. Mengenai alam semesta, jangan hanya memberikan gambaran yang diberikan dalam Abhidharma (kitab metafisika), ada banyak penjelasan yang lain tentang itu. Dan tentang vegetarian, mengacu kepada Vinaya (peraturan biara) yang hanya melarang dua jenis daging dan sila Para Bodhisatwa yang menjunjung sikap berpantang daging jika keadaannya memungkinkan, tetapi tanpa melarang mengkonsumsinya. Jelaskanlah, jelaskanlah tanpa henti.”
“Mulailah selalu dengan merujuk kepada kitab-kitab. Orang Barat haus akan objektivitas dan mereka akan memahami. Uraian filsafat dari aliran Cittamatrin dan Madyamika, sangat realistis, sangat diperlukan menurut saya. Saat kalian menjelaskan “pandangan mendalam,” melukiskan tiga alam keberadaan (alam keinginan [kamaloka], alam bentuk [rupaloka], dan alam tanpa bentuk [arupaloka]), dan juga karma yang mengakibatkan atau tidak kelahiran kembali, dan jangan lupa juga “karma baik” (yang mengakibatkan kelahiran kembali yang menyenangkan) dan “karma buruk” (yang mengakibatkan kelahiran kembali yang menyedihkan). Pemahaman ini akan mengesankan para pendengar.
“Akhirnya, setiap kali kalian akan menjelaskan topik Buddhisme, ingatlah kata-kata Sang Buddha ini: “Biksu atau umat awam, ahli atau kurang pengetahuan, jangan menerima pemahaman apa pun dengan alasan Buddha pernah menyatakannya. Anda seharusnya senantiasa memeriksa sendiri, menggunakan penalaran Anda.” Apakah masih perlu ditekankan kualitas yang luar biasa dari kata-kata ini? Kita tidak bisa menemukan apa pun yang serupa dengan kata-kata ini dalam ajaran spiritual yang lain.
“Pada waktu Anda akan menggunakan penalaran, terutama gunakanlah pembuktian dengan konsep saling ketergantungan (yang menjelaskan bahwa semua fenomena yang saling bergantungan maka fenomena tersebut tidak mempunyai inti yang sejati.) Mengenai uraian tentang Jalan spiritual, lebih baik mengajarkan dua kebenaran yaitu yang konvensional dan tertinggi (bentuk relatif menggambarkan sifat fungsional dari semua fenomena dan bentuk tertinggi yaitu keadaan tanpa inti yang sejati). Menekankan metode dan kebijaksanaan, dan dua tubuh Buddha hasil. Seandainya kalian harus menjelaskan Tantra, tekankan mengenai batin pencerahan dan juga enam paramita (kesempurnaan) yaitu kemurahan hati, etika, kesabaran, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan.”
Yang Mulia membahas aspek-aspek lebih pribadi, “Seandainya waktu kalian di Perancis keadaan mendukung pemakaian jubah biksu, maka itu sangat bagus. Jika sebaliknya, maka menyesuaikan dirilah. Jangan menantang, jangan melanggar. Bersahabat, berhubungan baik dengan sebanyak mungkin orang. Menampakkan diri sebagai orang terbuka dan penuh toleransi. Jangan tampak berpandangan kuno. Jangan berpegang kepada adat lama hanya untuk menghormati tradisi. Belajar bahasa, menulis dan berbicara dari negara di mana kalian akan hidup.”
“Seandainya ada pertanyaan yang terlalu sukar, sampaikan ke kami lewat surat dan kami akan membantu kalian untuk menjawabnya. Sering menulis surat kepada kami. Kami akan selalu dekat di hati. Hubungan guru dan murid mengaitkan kita dan hubungan itu tanpa cela. Tidak ada yang lebih penting dari itu, kalian sudah mengetahuinya. Ingatlah untuk memberi persembahan kepada sepuluh Istadewata murka sesering mungkin (wujud dari pertarungan melawan kekurangan dan nafsu). Itu akan sangat berguna untuk mencegah semua halangan. Ketika kalian akan belajar bahasa Perancis, berbuatlah dengan motivasi baik untuk membantu pelestarian ajaran Buddha dan agar berguna bagi semua makhluk hidup.”
“Sebagai penutup, ingatlah nasihat bijaksana dari para guru kadampa yang berkata, “Harus berpandangan jauh dan hati yang tenang,” artinya membuat rencana untuk jangka panjang itu penting, dan harus dengan tekad yang teguh tetapi sabar, dan mengetahui bahwa tidak akan ada yang mungkin dicapai tanpa sedikit ketenangan dan suasana batin yang rileks. Begitulah bagaimana kalian harus bertindak.”
Kemudian Yang Mulia memberi sebuah foto dirinya yang distempel, sebuah foto yang tidak pernah lepas dari saya. Sekarang foto itu berada di atas altar, yang berada di ujung kepala tempat tidur saya. Kemudian Beliau memohon Kungopala, kepala rumah tangga, untuk membawa sebuah rupang tanpa menjelaskan yang mana. Melihat bahwa rupang Tara yang dibawanya, Dalai Lama berseru dengan gembira, “Ini merupakan pertanda bahwa aktivitas kalian akan sangat luas.” Dan akhirnya Beliau memberikan pil-pil berkah yang telah didoakan, dan sebuah tali perlindungan dengan simpul berkah di bagian tengah. Audiensi telah selesai. Kemudian kami pergi ke kedua pembimbing yang juga memberikan banyak nasihat penting dan memberikan restunya.
Waktu yang tersisa tinggal sedikit yaitu kurang dari lima bulan sebelum naik pesawat ke Perancis. Pada waktu itu saya tidak berpikir sama sekali untuk mengajar Buddhisme di Perancis. Keinginanku sangat sederhana, menyelesaikan kontrak tiga tahun dengan ahli Tibet kemudian kembali ke India untuk menyelesaikan pembelajaranku dan menempuh ujian geshe.
Saya tidak mengetahui apa-apa tentang Perancis. Nama Paris pun tidak mengingatkan apa pun untuk saya. Saya mendengar nama itu untuk pertama kali pada tahun 1959 berkat seorang sahabat calon pegawai negeri dengan jabatan tinggi yang pernah pergi ke Perancis. Pelajaran panjang kami di biara hanya tentang Buddhisme. Guru kami bahkan tidak mengajarkan sejarah Tibet, apalagi sejarah negara-negara Barat, dan juga ilmu pengetahuan lainnya.
Tentu Tibet tidak mengikuti perkembangan dunia dan sistem pendidikannya masih sangat ketinggalan zaman. Tentu kita bisa belajar kedokteran di beberapa biara atau di sekolah khusus seperti Tchakpori. Dan juga kami dapat mengenal tentang sastra, akan tetapi itu jika bisa mencari guru yang mengajarkannya secara pribadi. Tetapi di biara, hanya filsafat yang diajarkan. Di antara sahabat, kami hampir tidak pernah mendiskusikan tentang peristiwa internasional. Kami hidup sepertinya di luar dunia. Sebuah kesalahan besar menurut saya. Apakah itu menjelaskan alasan kejatuhan Tibet ke tangan Cina? Sangat mungkin. Seandainya kami membuka pintu dan jendela kepada dunia, ada kemungkinan negara kami mendapatkan bantuan dari negara-negara adikuasa dan masih mandiri, paling tidak untuk suatu otonomi. Memang suatu kesalahan besar. Kami sekarang menyesal. Saya berpikir bahwa kami orang Tibet, mengalami hasil yang sangat berat karena karma buruk, yang walaupun masing-masing orang mempunyai karma sendiri, tetapi mempunyai kemiripan karena kami mengalami akibat negatifnya secara bersama-sama.
Tentu saja gagasan ini belum merasuk ke dalam benakku pada waktu saya naik pesawat ke Paris dengan Geshe la di sampingku pada tanggal 18 Oktober 1960. Saya baru berumur 27 tahun dan ingin cepat sampai di tempat tujuan.
Uraian terperinci rangkaian kata-kata sedemikian berbobot dan sarat akan kearifan makna di atas dikutip langsung dari buku otobiografi Dagpo Rinpoche berbahasa Perancis berjudul asli “Le Lama Venu du Tibet” yang diterbitkan pada tahun 1998 di Perancis. Sepenggal petikan di atas memberikan gambaran perkenalan yang jelas akan sosok seorang Dagpo Rinpoche—seorang asli Tibet yang menetap di Perancis sejak 1960 hingga saat ini. Tulisan ini ditayangkan dengan tujuan memperingati hari ulang tahun Rinpoche yang jatuh pada satu hari sebelum tahun baru Tibet (Losar). Konon orang Tibet zaman dulu tidak punya kebiasaan mengingat dan mencatat tanggal lahir, pun tidak ada kebiasaan merayakan ulang tahun. Beruntung Rinpoche masih mengingat bahwa Beliau lahir satu hari sebelum tahun baru Tibet—sebuah patokan yang bisa dipakai untuk momen seperti saat ini. Di tahun 2016 ini, Losar jatuh pada tanggal 9 Februari. Dari itu, ulang tahun Rinpoche bisa diperingati pada tanggal 8 Februari 2016.
Sudah lebih kurang tiga setengah bulan berlalu sejak kabar kesehatan jantung Rinpoche yang dialami Beliau pada pertengahan Oktober 2015 yang berdampak pada revisi jadwal ajaran Beliau di Indonesia pada Desember 2015. Perkembangan baik kita terima pada bulan Januari barusan, yaitu ketika Rinpoche memberikan sesi ajaran perdana pada 16 Januari 2016 di Yiga Choedzin, Veneux-les-Sablons, Perancis. Rinpoche menguraikan poin-poin motivasi sesuai Tahapan Jalan Menuju Pencerahan selama lebih kurang 1,5 jam—sebuah kesempatan berharga menerima nektar dharma dari Beliau.
Di tahun 2016 ini Rinpoche menginjak usia emas 84 tahun (85 kalau menurut hitungan orang Tibet), terhitung dari tahun kelahiran Beliau pada 1932. Adalah sebuah berkah keberuntungan bagi kita semua bilamana masih bisa mendengar bahwa Rinpoche berulang-tahun. Di momen ini pula kita bisa memanjatkan doa permohonan agar Rinpoche berumur panjang—sepanjang-panjangnya, selama-lamanya, laksana mentari yang tiada pernah berhenti memancarkan terang dan hangatnya. Selamat ulang tahun, Rinpoche. Dari kami-kami di Indonesia.