Bertumpu pada Seorang Guru Spiritual

  • October 17, 2015
oleh poeterafajar, Jakarta, 27 Juli 2015

Berbakti pada guru spiritual merupakan sebuah perjalanan, yang tak akan pernah putus sampai kita mencapai kesempurnaan batin. Perkembangan batin seseorang tidak bisa diukur berdasarkan waktu, melainkan berdasarkan seberapa kuat kemauan atau motivasi seseorang untuk mencapai keadaan batin yang stabil. Bukan persoalan berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkembang, tetapi lebih mengarah ke seberapa kuat kemauan kita untuk bisa bekembang.

Aku berasal dari keluarga Tionghoa dan aku dididik berdasarkan kebudayaan Tionghoa yang keras, di mana anak laki-laki tidak boleh menangis, air mata adalah simbol kelemahan laki-laki, dan anak laki-laki terutama anak pertama harus melakukan tanggung jawab ini itu segala macam, membawa nama besar keluarga, menghasilkan banyak uang, mengangkat status keluarga. Dan yang paling parah adalah bahkan anak laki-laki ini tidak tahu-menahu mengapa dia harus melakukan semua hal ini. “Jangan banyak tanya. Just do it!” kata-kata ini yang biasa terlontar dari mulut orang tua yang mungkin malas menjelaskan mengenai sesuatu kepada anaknya. Terlalu cepat kalimat ini dilontarkan kepada seorang anak usia 6-7 tahun, yang tidak tahu bagaimana caranya berbakti, mereka akan berontak atau mengikuti ucapan orang tuanya atas dasar perasaan takut dipukul.

Secara langsung ataupun tidak, kita tak memberi kesempatan pada diri kita untuk mengenal dan mengembangkan hati kita. Yang ada malah kita sibuk meng-copycat kepribadian orang tua kita dan mengesampingkan dan even worse membekukan hati kita.

Bukan maksud untuk mencemooh kebudayaan tionghoa, aku selalu mempercayai sebuah kebudayaan bisa bertahan hidup selama beribu-tahun sampai sekarang pastilah didasari oleh nilai-nilai luhur dan bajik. Yang menjadi masalah adalah seberapa dalam persepsi manusia dalam memahami nilai-nilai tersebut. Bukan pada budayanya tapi lebih kepada orang yang memahami dan mengimplementasikan budaya sebagai way of life itu yang perlu dipertanyakan. Dengan pemahaman kebudayaan yang setengah-setengah, maka kita akan mendapatkan hasil yang setengah-setengah pula or even worse.

“Banyak orang merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan pada hidup mereka.”
– Suhu Bhadra Ruci-

Statement ini merupakan alasan utama yang sangat mendasar dan kritis kenapa kita harus mengenal diri kita. Jika kita tidak mengenal hati kita, bagaimana kita dapat menemukan cara untuk mengembangkan diri kita? Kita sangat sering mengacuhkan hati kita, hal ini kita lakukan selama bertahun-tahun dan membuat hati kita menjadi keras.

Hati yang keras adalah hati yang selalu merasa diri baik-baik saja I’m fine, takut melihat ke dalam hati kita yang sebenarnya, afraid of who we are exactly, secara tidak langsung kita membuang diri kita yang sebenarnya. Dan akhirnya kebanyakan orang hanya mengikuti jalan hidup orang yang sukses menurut diri kita dan orang sekeliling kita. Inilah tahapan bagaimana mindset bisa terbentuk. Tak heran orang bijak sering berkata “Orang di sekitar dan lingkunganlah yang membentuk diri kita”.

Orang yang berhati keras adalah orang yang memiliki hidup yang menderita tetapi mereka tidak tahu kalau mereka menderita. Jika mereka menyadarinya, saat itu pula mereka bakal mencari cara untuk memperlembut hati mereka logically speaking, kita mencari kenyamanan dan menghindari penderitaan. Mereka hidup tidak berdasarkan apa kata hati sendiri, melainkan apa kata orang lain dan lingkungan sekitar. Hidup bukan atas kemauan hati sendiri. Bagaimana kita tahu apa yang kita mau, jika kita tidak mengenal dengan baik siapa diri kita?

“Cry is not a crime”
–Bude Novi

Kalimat ini pula yang menyadarkanku akan seberapa kerasnya aku terhadap hatiku selama 20 tahun ini. “Nangislah pada saat ingin menangis dan jangan ditahan. Rasakan dan pahami kemudian ekspresikan hatimu, jadikan hatimu lembut”. Masih teringat ucapan Bude yang membekas pada ingatanku sampai sekarang.

Sejak saat itu, aku berusaha mengenal dan menerima diriku sendiri, dan aku aware akan kondisi diriku. Dari sikap aware ini baru bisa merasakan seberapa menderita dan tak nyamannya diriku, dan karena aku tahu aku menderita, aku mencoba mencari cara untuk tidak menderita, lebih jauh lagi pada saat kita mencari, mendapatkan dan kemudian melakukan cara tersebut, aku menoleh ke belakang dan aku sadar bahwa aku tak sendirian, banyak orang yang “terjebak” dalam hal yang sama. Baru timbul rasa kasihan melihat orang lain menderita dan mencoba untuk menolong mereka. Inilah pemikiran yang sangat simple dan mendasar dari batin welas asih.

Hati yang lembut adalah hati yang menerima diri, baik-buruk, kuat-lemah, apa adanya. Dari hati yang lembut aku belajar banyak hal. Aku paham seperti apa diriku, apa passion-ku yang sebenarnya, dan bahkan tahu bagaimana cara untuk mengembangkan batin dan diriku yang akhirnya berujung pada kestabilan hati dan kebahagiaan sejati.

Suhu sering berkata : “Batin welas asih adalah sumber dari semua aktivitas bajik.” Batin welas asih tak akan pernah muncul dari hati yang keras, batin welas asih muncul pada hati yang lembut. Sebuah batin yang bisa merasakan penderitaan diri sendiri dan empati pada orang lain. Singkat kata dari kelembutan hati inilah yang bisa membuat keseluruhan aktivitas menolong yang kita lakukan menjadi bajik.

Itulah sebabnya tak heran dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat seseorang (termasuk diriku) yang memiliki hati yang keras sepanjang hidupnya bahkan sampai dia mati. Sebaliknya, ada orang yang awalnya berhati keras tapi lama-kelamaan menjadi tambah lembut dan juga memiliki batin yang semakin stabil seiring bertambahnya usia.

Dan sekarang pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan ke diri kita masing-masing adalah ‘Apakah kita sadar (aware) akan kondisi batin kita?’ Kemudian setelah kita sadar tentang seberapa parahnya batin kita, apa yang kemudian kita lakukan? Apakah tetap membiarkannya atau bertekad untuk berubah dan berkembang ke kondisi batin yang lebih stabil?

Ya, memang tak dapat dipungkiri bahwa seseorang menjadi keras atau lembut tergantung didikan orang tua, kondisi lingkungan dan berbagai faktor eksternal lainnya. Namun terlepas dari itu yang paling penting sebenarnya kitalah yang (secara sadar atau terpaksa) memilih untuk menuruti mereka atau tidak.

Namun kebanyakan situasi sering mengarahkan kita menuju ‘keterpaksaan’ dalam memilih. Dan tak jarang pula akibat dari ‘keterpaksaan’ tersebut menimbulkan kegagalan atau hasil yang tak sesuai ekspektasi. Mengapa kita sering mengarah ke situasi ‘terpaksa’? Karena kita tidak cukup kuat dan stabil untuk memilih yang mana sering kali menghasilkan sikap ragu dalam menentukan pilihan. Mengapa ragu? karena kita kurang wawasan dan kurang belajar. Mengapa kita malas belajar? Karena tidak merasa pelajaran tersebut bermanfaat untuk kita.

Biasanya hal ini yang terjadi pada self-talk kita, dan bagaikan lingkaran setan, pola ini akan terjadi terus-menerus selama kita tidak memutuskan lingkaran tersebut dan berkembang. Untuk memutuskan lingkaran tersebutlah kita butuh dua hal, yaitu guru yang handal dan kesungguhan hati untuk mengembangkan batin.

Seorang Guru yang handal tentu merupakan seseorang yang sudah melewati fase ‘keterpaksaan’ tadi dan tahu cara melewatinya. Dan tentunya beliau hanya bisa mengajar dan mendidik, mau atau tidak, nurut atau tidak, kembali lagi ke diri kita masing-masing.

Berguru itu sangat tidak mudah, seperti berhadapan pada batin kita sendiri ibarat cermin. Memperlihatkan seberapa parah dan hitamnya batin kita. Ini merupakan pelajaran seumur hidup yang tidak gampang untuk direalisasikan. Siapa sih yang mau mengakui bahwa batin kita buruk dan mementingkan diri sendiri? Siapa sih yang mau dikritik? Siapa sih yang tidak mau dipuji dan senang dengan pujian?

Dan yang lebih parahnya lagi, siapa sih yang mau dengan rela mengkritik batin kita yang hitam dan memarahi sikap mementingkan diri sendirinya kita? Kalau bukan guru kita sendiri. Padahal beliau tahu jelas, dengan beliau mengkritik diri kita, beliau akan dibenci.

Beliau mengkritik karena beliau kasihan, peduli dan sayang terhadap kita. Beliau tidak ingin kita mengalami hal buruk yang dulu pernah beliau alami. Atas dasar inilah yang menjadi pijakan dasar kenapa beliau mau dan rela susah payah mengajari dan mendidik kita. Tetapi kembali lagi beliau tidak bisa hanya bekerja sendiri, tanpa kesungguhan hati dari kita.

“Setelah mengembara dalam samsara, adalah [Para Guruku] yang menemukanku.
Terhalang oleh delusi, adalah Mereka yang membangunkanku dari tidur.
Setelah tenggelam dalam samudra samsara, adalah Mereka yang menarikku keluar.
Setelah tersesat, adalah Mereka yang menunjukkanku jalan yang benar.”

Teramat indah bait yang dikutip dari Sutra Dasadharmaka di atas. Memang benar orang tua kita sangat berjasa dalam hal memberikan kita tubuh jasmani, namun dengan tubuh jasmani saja tidaklah cukup, kita harus menyadari seberapa berharga tubuh manusia tersebut dan menarik manfaat sebesar-besarnya dari tubuh manusia tersebut. Namun yang mampu menuntun kita setahap demi setahap untuk mencapai realisasi seperti ini tidak lain adalah seorang Guru.

Berkat kebaikan hati Beliaulah kita dapat sadar (aware) dan melakukan hal yang benar sehingga menghasilkan kebajikan, menghindari perbuatan buruk dan terhindar dari akibat karma hitam. Bisa dikatakan tanpa berkah Guru, tak akan ada kebajikan. Tanpa kebajikan, kita akan mati dan kemungkinan besar terjatuh kembali di alam rendah. (Guru adalah dasar dari semua kualitas baik yang aku miliki). Hal inilah yang merupakan sebab mendasar kenapa kita harus berbakti dan bertumpu pada guru spiritual dengan sungguh-sungguh.

 

R03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *