Guru besar India, Bhavaviveka, mengatakan bahwa hingga saat ini kita semua masih berputar-putar di dalam samsara dan mengalami satu dan lain bentuk penderitaan di dalamnya. Mengapa demikian? Jawabannya dikarenakan kita masih berada di bawah pengaruh kebodohan batin. Kita tidak tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan.
Karena batin kita masih terhalangi oleh kebodohan batin, maka kita perlu menyingkap tabir kegelapan kebodohan batin ini. Sama halnya sebuah lampu menghapuskan kegelapan sebuah ruangan, maka bagi kita untuk menghapuskan kegelapan kebodohan batin adalah melalui keberuntungan memiliki akses terhadap pelita atau cahaya ajaran Buddha.
Kita semua telah bertemu ajaran Buddha. Oleh karenanya, kita memiliki akses terhadap cahaya atau lampu ajaran Buddha ini, yang berfungsi untuk menghilangkan kegelapan ketidak-tahuan. Kenyataan bahwa kita bisa bertemu dengan cahaya ajaran ini merupakan pertanda keberuntungan atau karma baik yang kita miliki.
Barangkali ada di antara Anda di sini yang berpikir bahwa bukan hanya ajaran Buddha yang bisa menghapuskan kegelapan kebodohan batin, tapi ada ajaran-ajaran lain yang juga berfungsi seperti itu. Tentu saja itu benar. Sebagai contoh, dengan bertumpu pada ajaran agama lain, seseorang bisa terhindar dari kelahiran di alam rendah dan memperoleh kelahiran di alam yang baik. Ini adalah sesuatu yang mungkin terjadi, yaitu jenis kebodohan batin tersebut bisa diatasi untuk mendapatkan kelahiran kembali yang baik. Akan tetapi, ajaran-ajaran lainnya tersebut tidak menyediakan cara atau metode untuk menghilangkan kebodohan batin dari lingkaran keberadaan atau samsara. Oleh karenanya, ajaran-ajaran lain tidak menyediakan akses untuk mencapai pembebasan dari samsara.
Bila Anda mengambil waktu sejenak untuk merenungkan hal ini, maka Anda akan dengan mudah memahaminya. Untuk bisa terbebas dari samsara, kita harus menghancurkan akarnya. Akar samsara adalah kebodohan batin dalam bentuk sikap mencengkram adanya eksistensi sejati yang bisa berdiri sendiri. Satu-satunya cara menangkal sikap yang keliru ini adalah membangkitkan pemahaman ke-tanpa-aku-an dalam batin kita. Hanya ajaran Buddha yang menjelaskan metode untuk merealisasikan pemahaman ketanpa-aku-an tersebut.
Apa yang saya jelaskan di sini sama sekali tidak bermaksud untuk merendahkan ajaran lain. Sudah barang tentu itu adalah sikap yang tidak benar dan tidak hormat. Tapi, yang coba saya sampaikan di sini adalah fakta dan kenyataannya, yaitu apa yang memang ada di dalam ajaran Buddha yang tidak terdapat di dalam ajaran-ajaran lainnya.
Bait kutipan awal di atas menyebutkan bahwa kita telah bertemu cahaya atau pelita ajaran suci, yang artinya kita memiliki akses untuk mengetahui cara atau metode untuk menghilangkan akar samsara berupa kebodohan batin dalam bentuk sikap mencengkram adanya eksistensi sejati yang berdiri sendiri yang telah menjerumuskan kita ke dalam lingkaran keberadaan atau samsara.
Banyak di antara Anda sekalian di sini merupakan murid-murid senior dalam ajaran Dharma. Tetap saja, Anda harus betul-betul bertanya kepada diri sendiri: Apa maksudnya bertemu ajaran Buddha? Apa artinya perjumpaan dengan ajaran Buddha ini bagi Anda? Bila Anda berpikir tentang perjumpaan dengan ajaran Buddha, apakah yang muncul di batin Anda adalah vihara atau biara buddhis misalnya?
Sekarang saya minta Anda semua untuk berpikir. Apa yang muncul di benak Anda ketika mendengar frase ‘bertemu ajaran Buddha’? Apa yang muncul di dalam batin Anda? Apa yang serta-merta timbul di dalam pikiran Anda? Pikirkan baik-baik, apa artinya, ‘bertemu ajaran Buddha’?
Anda sekalian mengatakan banyak hal tapi tidak ada yang benar-benar menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan ‘telah bertemu ajaran Buddha’?
Ada jawaban yang sepertinya terkait dengan kebenaran. Ada juga yang mengatakan sabda-sabda Buddha, dan ada pula yang mengatakan terkait realisasi.
Pertama-tama, ketika berbicara tentang bertemu ajaran Dharma, apa yang dimaksud dengan ajaran Dharma? Sederhananya, yang dimaksud dengan ajaran Buddha bisa digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) Kata-kata Buddha itu sendiri, dan (2) Realisasi di dalam batin seseorang.
Jadi, bertemu dengan ajaran Buddha dalam artian bertemu dengan kata-kata Buddha atau teks/ kitab suci, ini berlaku bagi Anda semua. Saat ini Anda sedang mempelajari ajaran Buddha dan setelah itu Anda merenungkannya. Anda bukan saja mempelajari ajaran atau kata-kata Buddha, tapi Anda melakukannya dengan berlandaskan pada keyakinan. Anda mempelajarinya karena yakin. Dengan kondisi seperti itulah baru bisa dikatakan bahwa Anda telah bertemu ajaran Buddha, yang tergolong kategori pertama, yaitu bertemu ajaran Buddha yang merujuk pada pertemuan dengan kata-kata Buddha.
Terkait aspek kedua, yaitu realisasi. Realisasi adalah perubahan atau transformasi yang terjadi setelah kita mempelajari ajaran Buddha. Melalui studi dan perenungan, kita membangkitkan berbagai jenis kualitas dan kebijaksanaan. Perubahan yang terjadi bisa juga dalam bentuk batin yang berlindung. Hal-hal ini seperti inilah yang masuk kualifikasi sebagai realisasi terhadap ajaran Buddha yang sudah muncul di dalam batin kita.
Selain kebijaksanaan, batin berlindung, bentuk-bentuk realisasi lainnya misalnya munculnya keyakinan, atau munculnya tekad untuk menjalankan praktik sila. Kalau kualitas-kualitas seperti ini sudah muncul di dalam batin seseorang, maka kita bisa mengatakan bahwa ia telah bertemu ajaran Buddha dalam kategori aspek yang kedua, yaitu bertemu ajaran Buddha dalam bentuk realisasi. Kedua kategori ajaran Buddha yang muncul di dalam batin ini merupakan pelita atau cahaya untuk menghalau atau memusnahkan kegelapan di dalam diri kita.
Kutipan bait Guru Bhavaviveka lanjut mengatakan bahwa karena Anda semua sudah mendapatkan delapan jenis kebebasan–ini merujuk pada kondisi walaupun seseorang sudah bertemu ajaran Buddha tapi kalau masih mengalami salah satu dari delapan jenis ketidakbebasan maka ajaran tersebut tidak memungkinkan seseorang untuk mengalami perubahan. Yaitu, contohnya jika kita saat ini dalam kondisi sakit parah, maka dalam kondisi seperti itu kita tidak memiliki kemampuan untuk merenung. Dengan ketidakmampuan untuk merenung itu kita kemudian tidak bisa membangkitkan realisasi yang dihasilkan dari perenungan.
Sama halnya bila ada di antara Anda di sini yang berada dalam kondisi sangat miskin. Kemiskinan juga merupakan salah satu halangan untuk praktik spiritual. Mengapa demikian? Karena kalau sampai kita berada dalam kondisi teramat sangat miskin, maka satu-satunya tujuan kita adalah mencari makan untuk sekadar bertahan hidup. Seluruh energi dan perhatian kita dicurahkan hanya untuk mencapai tujuan untuk bertahap hidup tersebut. Tidak ada kapasitas, waktu, dan kesempatan untuk memikirkan hal-hal yang lain seperti misalnya berpikir untuk melakukan praktik spiritual.
Kerugian-kerugian atau halangan yang disebutkan ini tidak berlaku bagi Anda semua yang hadir di sini. Kita semua sudah mendapatkan kehidupan yang bebas dari delapan jenis ketidakbebasan. Guru Bhavaviveka lanjut mengatakan bahwa begitu kita sudah bertemu cahaya ajaran Buddha, dengan kelahiran yang bebas dari delapan jenis ketidakbebasan, maka kita seharusnya menggunakan ajaran Mahayana Buddha untuk mencapai Kebuddhaan.
Tadi disebutkan bahwa kita seharusnya menggunakan ajaran Mahayana atau dengan kata lain ajaran kendaraan besar. Apa maksudnya? Pertama-tama kita harus membangkitkan bodhicitta di dalam batin. Dengan landasan bodhicitta ini kita kemudian mempraktikkan Enam Paramita dan Empat Metode untuk Mengumpulkan Murid.
Yang paling utama tentu saja adalah membangkitkan batin pencerahan atau bodhicitta itu terlebih dahulu. Tapi, tentu saja, untuk membangkitkan bodhicitta, kita tidak mampu untuk serta-merta, ujug-ujug membangkitkannya begitu saja. Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah membangkitkan sebab-sebabnya, yaitu welas asih agung dan cinta kasih agung.
Barangkali ada di antara Anda di sini yang bertanya-tanya. Ketika kita membangkitkan motivasi untuk mencapai pencerahan atau Kebuddhaan demi kebaikan semua makhluk, tapi kita tidak memiliki yang namanya welas asih agung dan cinta kasih agung. Apakah motivasi seperti itu bukannya sia-sia belaka dan tidak ada gunanya? Saya bisa memberikan penjelasan seandainya ada yang berpikir seperti ini. Tentu saja motivasi seperti itu tidak sepenuhnya sia-sia. Terlepas dari kualitas cinta kasih agung dan welas asih agung masih dalam bentuk yang dibangkit-bangkitkan, tetap saja motivasi dan upaya seperti itu mengandung manfaat yang besar.
Berupaya membangkitkan cinta kasih dan welas asih akan memungkinkan kita untuk mengumpulkan kebajikan yang besar sekaligus memurnikan karma buruk yang sangat besar pula. Memang motivasi batin pencerahan atau bodhicitta yang dibangkitkan itu belum merupakan bodhicitta yang sesungguhnya, tapi itu merupakan sebuah kualitas yang menyerupai bodhicitta yang sesungguhnya. Karena itu, tentu saja cara berpikir seperti itu sangat positif dan bermanfaat pada kondisi dan level latihan kita saat ini.
Untuk membangkitkan realisasi bodhicitta yang murni, kita harus membangkitkan sebabnya, yaitu welas asih agung. Apa itu welas asih agung? Ia adalah perasaan tak tertahankan bila memikirkan bahwa semua makhluk masih harus mengalami penderitaan. Semua makhluk di sini benar-benar mencakup semua makhluk, tanpa pengecualian.
Saat ini kalau misalnya kita memikirkan penderitaan makhluk lain, tentu saja kita merasa itu sesuatu yang disesalkan dan sangat disayangkan. Kita tidak menyukai kenyataan bahwa masih ada makhluk yang menderita. Di sini boleh dibilang kita memiliki sedikit kualitas welas asih. Tapi, welas asih yang kita miliki pada tahap ini adalah welas asih yang masih sangat terbatas. Kondisi penderitaan makhluk lain tidak benar-benar memengaruhi batin kita hingga teramat sangat mendalam.
Mengapa demikian? Semata-mata karena penderitaan pribadi kita sendiri pun belum terlalu memengaruhi kita sendiri secara mendalam. Kita belum benar-benar paham dan merasakan penderitaan kita sendiri. Kenyataan bahwa saat ini kita masih berada di dalam samsara tidak begitu berpengaruh bagi kita. Kalau misalnya penderitaan kita sendiri pun belum sampai memengaruhi perasaan kita, bagaimana mungkin kita betul-betul bisa peduli pada penderitaan makhluk lain? Kita sendiri belum merasa bahwa kondisi dan situasi kita di dalam samsara adalah sesuatu yang betul-betul tak tertahankan.
Ketika kita memeditasikan berbagai jenis kerugian-kerugian samsara, yaitu penderitaan-penderitaan apa saja yang harus dijalani selama masih berada di dalam samsara, maka pada waktu itu kita bisa memunculkan pemikiran mau bebas dari samsara. Kita mau melepaskan beban samsara ini. Pemikiran seperti itu terlintas dalam benak, tapi belum terlalu intens dan kuat sehingga betul-betul memacu kita untuk benar-benar berjuang untuk bisa keluar dari samsara. Kita belum benar-benar memahami betapa dalamnya penderitaan samsara sehingga kita tidak memunculkan niat atau tekad untuk bebas darinya. Artinya, pemahaman kita akan penderitaan samsara masih belum cukup kuat.
Seandainya seseorang menaruh arang yang sedang menyala di atas kepala kita, maka tentu saja kita tidak bisa duduk diam. Kita serta-merta berdiri untuk kemudian memadamkan api yang menyala di atas kepala kita. Seperti itu pulalah kegentingan dan rasa mendesak yang kuat yang harus dibangkitkan ketika kita memeditasikan penderitaan samsara. Sebegitu kuatnya perasaan tersebut sehingga mustahil bagi kita untuk terus berdiam di dalam samsara.
Untuk bisa membangkitkan keinginan yang kuat untuk bebas dari samsara, kita harus memiliki kualitas yang namanya penolakan samsara, yaitu rasa muak atau jijik terhadap samsara. Sebelum bisa membangkitkan penolakan terhadap samsara secara keseluruhan, terlebih dahulu kita harus membangkitkan penolakan samsara terhadap penderitaan samsara yang lebih nyata dan kasar, yaitu penderitaan alam rendah. Penderitaan alam rendah adalah penderitaan paling besar yang bisa dialami oleh semua makhluk di dalam samsara ini. Kita bisa merasa takut hingga tingkatan tertentu pada penderitaan alam rendah, tapi barangkali kita belum bisa merasa takut atau jijik pada kesenangan-kesenangan samsara. Penderitaan alam rendah adalah penderitaan samsara yang paling nyata dan jelas.
Untuk membangkitkan penolakan samsara yang murni terhadap penderitaan alam rendah, terlebih dahulu kita harus menyadari bahwa kematian adalah pasti. Kita menyadari bahwa kita pasti akan mati tapi kita tidak tahu kapan waktu kematian itu akan terjadi. Ketika mati, segala sesuatu seperti sahabat, keluarga, dan bahkan tubuh jasmani tidak bisa menolong. Kita harus meninggalkan semuanya pada saat kematian.
Tanpa pemahaman dan perenungan pada topik perenungan poin-poin sebelumnya, kita tidak bisa benar-benar membangkitkan penolakan samsara terhadap penderitaan alam rendah yang merupakan bentuk penderitaan paling kasar di dalam samsara. Yang mencegah atau menghalangi kita untuk mendapatkan pemahaman ini karena kita belum betul-betul memahami bahwa kematian itu pasti, waktu kematian tidak pasti, dan seterusnya. Oleh sebab itu, yang menghalangi kita memahami penderitaan alam rendah adalah kemelekatan pada kehidupan saat ini. Kita betul-betul terperangkap dalam urusan-urusan hidup saat ini sehingga tidak memiliki kemampuan melihat hal-hal lain di luar hal tersebut.
Apa yang kita pikirkan siang dan malam adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan saat ini dan saat ini saja. Apa yang hendak dilakukan dan apa saja yang tidak mau dilakukan terkait barang kepemilikan, harta benda, pekerjaan, dan sebagainya. Intinya segala sesuatu yang masuk kategori urusan kehidupan saat ini. Setiap saat pikiran kita dipenuhi oleh urusan-urusan kehidupan saat ini. Inilah yang mencegah kita untuk memikirkan hal-hal lain. Ini pulalah yang menghalangi kita untuk menyadari kematian dan bahwasanya pada saat kematian ada resiko yang sangat besar untuk terjatuh ke alam rendah. Batin kita betul-betul dibutakan dan tidak bisa melihat resiko tersebut.
Semua yang kita lakukan semata-mata ditujukan untuk kehidupan saat ini, apakah itu bekerja, mengatur segala sesuatu agar nyaman, berjuang untuk mendapatkan kesenangan, belajar, bahkan termasuk ketika melakukan praktik dharma. Ketika melakukan praktik dharma, tujuan kita adalah mendapatkan kesehatan, segala sesuatu berjalan lancar, kita merasa nyaman dan puas pada diri sendiri–itu semua semata-mata demi kehidupan saat ini dan saat ini saja.
Ketika kita melakukan praktik dharma dengan tujuan mendapatkan kesehatan, termasuk di dalamnya kesehatan mental, barangkali di dalamnya juga terkandung niat untuk mendapat reputasi yang baik. Semua ini bisa terjadi semata-mata dikarenakan kita sungguh-sungguh sangat tertarik dan melekat pada kehidupan saat ini.
Bagaimana mengatasi kemelekatan pada kehidupan saat ini? Je Rinpoche di dalam Tiga Kualitas Utama Sang Jalan mengatakan:
Kebebasan dan berkah sebagai manusia sulit untuk diperoleh dan hidup ini singkat,
Dengan membiasakan dirimu dengan pemahaman ini, atasi kemelekatan terhadap hidup ini.
Jika Buddha sendiri muncul di hadapan kita saat ini untuk mengajarkan cara mengatasi kemelekatan terhadap kehidupan saat ini, maka Beliau akan mengajarkan cara yang sama.
Keseluruhan penjelasan ini intinya hendak menjelaskan bahwa yang paling penting yang harus dicapai dalam hidup ini adalah merealisasikan bodhicitta yang sesungguhnya. Untuk merealisasikannya, kita tidak bisa serta-merta membangkitkannya begitu saja. Kita harus melatih secara bertahap dimulai dari jalan untuk pemula dan bergerak maju hingga tingkatan jalan pada tahap berikutnya. Inilah satu-satunya cara bagi Anda untuk mencapai realisasi.
Itulah sebabnya saya ada di sini untuk memberikan ajaran Lamrim dan Anda semua datang ke sini untuk mendengarkannya. Penting sekali untuk mendengarkan ajaran dengan motivasi yang unggul. Saya tidak akan menguraikannya panjang lebar karena penjelasan motivasi sudah saya berikan pada sesi-sesi sebelumnya.
Singkatnya, kita harus membangkitkan tekad untuk mengakhiri bukan hanya penderitaan diri sendiri tapi juga penderitaan semua makhluk. Satu-satunya cara adalah mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna. Itulah sebabnya Anda ada di sini untuk mendengarkan penjelasan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi dan setelah didengarkan akan dipraktikkan. Pada sesi sebelumnya saya juga sudah menjelaskan cara membangkitkan motivasi bagi yang nonbuddhis.
Cara mempraktikkan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan adalah senantiasa bertumpu pada struktur utama ajaran Lamrim ini, yang dimulai dengan bab ‘Penjelasan kualitas-kualitas agung Guru Spiritual untuk menunjukkan kemurnian sumber ajaran’ dan tiga bab berikutnya. Bab keempat adalah ‘Bagaimana kita para murid dibimbing dengan ajaran Lamrim yang sebenarnya.’
Bab keempat terbagi dua poin, yaitu : 1) Bagaimana cara bertumpu kepada guru spiritual, akar dari sang jalan. 2) Sambil bertumpu padanya, bagaimana secara bertahap mengembangkan batin kita.
Poin kedua, sambil bertumpu pada seorang guru spiritual, bagaimana secara bertahap mengembangkan batin kita, terbagi dua: 1) Mendorong diri kita untuk menarik manfaat sepenuhnya dari eksistensi sebagai manusia dengan delapan kebebasan; 2) Bagaimana cara menarik manfaat sepenuhnya.
Poin kedua, bagaimana cara menarik manfaat sepenuhnya, terbagi tiga: 1) Melatih batin pada tahap-tahap jalan yang dijalankan bersama-sama dengan makhluk-makhluk dengan tingkat motivasi awal; 2) Melatih batin pada tahap-tahap jalan yang dijalankan bersama-sama dengan makhluk-makhluk dengan tingkat motivasi menengah; 3) Melatih batin pada tahap-tahap jalan makhluk-makhluk dengan tingkat motivasi tertinggi.
Jalan yang dipraktikkan bersama dengan makhluk-makhluk yang memiliki tingkat motivasi awal terbagi dua:
1. Mengembangkan sikap yang merupakan ketertarikan terhadap kelahiran-kelahiran kembali kita di masa yang akan datang.
2. Bertumpu pada metode untuk merealisasikan kebahagiaan dalam kelahiran-kelahiran kembali yang akan datang.
Yang pertama, mengembangkan sikap yang merupakan ketertarikan terhadap kelahiran-kelahiran kembali kita di masa yang akan datang, terbagi dua:
1. Mengingat bahwa kehidupan ini tidak akan berlangsung lama, bahwa kita pasti akan mati (meditasi pada kematian dan ketidak-kekalan)
2. Merenungkan bagaimana bentuk kehidupan-kehidupan kita di masa yang akan datang: kebahagiaan dan penderitaan dari kedua alam keberadaan (meditasi pada penderitaan alam rendah)
Yang kedua, bertumpu pada metode untuk merealisasikan kebahagiaan dalam kelahiran-kelahiran kembali yang akan datang, terbagi dua:
1. Berlatih mengambil perlindungan, pintu gerbang utama untuk memasuki Dharma.
2. Mengembangkan keyakinan terhadap hukum karma dan akibat-akibatnya, sumber (akar) segala kebahagiaan.
Kita sudah sampai pada topik yang kedua, yaitu karma dan akibat-akibatnya. Topik ini terbagi tiga:
1. Merenungkan aspek-aspek umum dari karma dan akibat-akibatnya
2. Merenungkan aspek-aspek khusus dari karma dan akibat-akibatnya
3. Setelah merenungkannya, bagaimana cara menghindar dari perbuatan negatif dan mempraktikkan kebajikan
Perenungan sesungguhnya pada aspek-aspek umum dari karma dan akibat-akibatnya terdiri dari empat karakteristik:
1. Kepastian karma
2. Pertumbuhan karma yang sangat pesat
3. Kita tidak akan mengalami akibat dari karma yang belum pernah kita lakukan
4. Karma yang telah dilakukan tidak akan hilang begitu saja
Seperti yang telah saya jelaskan pada sesi kemarin, yang hendak kita capai pada topik ini adalah mengembangkan keyakinan. Yaitu, sebuah perasaan benar-benar yakin dan percaya akan kebenaran hukum karma dan akibat-akibatnya. Kualitas yang hendak dicapai terkait topik karma adalah kualitas keyakinan, yaitu keyakinan yang jernih dan kokoh.
Bagaimana cara meraih keyakinan yang jernih dan kokoh tersebut? Bagaimana caranya agar kualitas tersebut bisa muncul dalam diri kita? Kualitas ini tidak bisa dicapai melalui persepsi langsung maupun penalaran tidak langsung. Penalaran tidak langsung maksudnya pemahaman berdasarkan jejak-jejak karma penalaran berdasarkan logika terhadap hukum karma. Hanya cara ketiga, yaitu jejak-jejak karma berupa keyakinan itu sendirilah barulah kita bisa membangkitkan keyakinan terhadap kata-kata atau teks ajaran Buddha. Keyakinan terhadap teks Buddha merujuk pada teks yang sudah lolos uji ketiga jenis penalaran yang sahih.
Ada dua jenis orang terkait kualitas keyakinan ini. Jenis pertama adalah orang-orang yang tidak perlu menetapkan kebenaran kata-kata Buddha berdasarkan perenungan. Kenyataan bahwa Buddha yang mengajarkan hukum karma dan akibat-akibatnya sudah cukup bagi orang jenis pertama ini untuk meyakini kebenarannya. Dalam hal ini, tentu saja kita merujuk pada orang-orang buddhis. Hanya buddhis yang sudah merasa cukup dengan mengetahui bahwa hukum karma dan akibat-akibatnya diajarkan oleh Buddha bagi mereka untuk meyakininya. Fakta sederhana bahwa Buddha mengajarkan hukum karma tidak cukup bagi nonbuddhis untuk serta-merta meyakininya.
Apa yang bisa membuat orang-orang ini bisa teryakinkan sepenuhnya pada hukum karma dan akibat-akibatnya semata-mata karena Buddha mengajarkannya? Tentu dikarenakan adanya perenungan sebelumnya, yaitu ketika seseorang merenungkan kualitas-kualitas Triratna. Di atas dasar perenungan ini, seseorang kemudian merenungkan hukum karma dan akibat-akibatnya berdasarkan ajaran yang dipaparkan oleh Buddha.
Itulah jenis buddhis yang pertama, yaitu buddhis yang sudah memiliki persiapan mental dengan melatih batin berlindung. Di atas dasar batin berlindung ini kemudian mereka bisa mengembangkan keyakinan terhadap hukum karma dan akibat-akibatnya berdasarkan pemaparan yang diajarkan oleh Buddha.
Dalam kategori pertama ini, ada dua tipe orang, yaitu tipe yang memiliki kecerdasan tinggi dan satunya lagi kecerdasan lebih rendah. Bagi yang tergolong kecerdasan lebih rendah, mereka mampu membangkitkan keyakinan terhadap hukum karma dan akibat-akibatnya hanya dengan semata-mata mengetahui bahwa Buddha yang mengajarkannya. Bagi yang masuk kategori kecerdasan tinggi, mereka betul-betul memahami ajaran-ajaran Buddha dengan sepenuhnya. Berdasarkan pengetahuan tersebut, mereka membangkitkan keyakinan terhadap ajaran Buddha. Jadi, itulah kedua jenis kategori orang yang membangkitkan keyakinan terhadap ajaran Buddha, yang mana kategori jenis kedua membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Untuk jenis pertama yang memiliki kecerdasan tinggi, ketika mereka mendengar kata Buddha atau “Sang-gye” dalam bahasa Tibet–Sang artinya makhluk yang telah sepenuhnya melenyapkan kedua jenis halangan, Gye artinya makhluk yang telah sepenuhnya menyempurnakan seluruh kualitas-kualitas positif–maka orang ini akan berpikir: Jika ada makhluk yang sempurna seperti itu, maka apa pun yang diajarkannya pastilah sesuatu yang benar adanya. Mereka benar-benar percaya pada Buddha dan benar-benar percaya pada segala yang diajarkannya. Cara berpikir orang ini sebagai berikut: karena Buddha telah sepenuhnya mengatasi kekurangannya serta meraih seluruh kualitas-kualitas bajiknya, tidak mungkin seorang makhluk sempurna seperti itu bisa berbohong. Maka, apa pun yang dikatakan dan diajarkannya pastilah benar.
Jenis kedua adalah orang yang kecerdasannya lebih rendah. Mereka sanggup membangkitkan keyakinan terhadap hukum karma dan akibat-akibatnya dikarenakan keyakinan mereka pada Buddha, tidak perlu ada penjelasan atau logika lebih lanjut. Untuk tipe kedua ini, keyakinan mereka sangat kuat sehingga cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa sebuah ajaran disampaikan oleh Buddha untuk meyakininya–sedemikian kuatnya keyakinan yang mereka miliki.
Terdapat kategori ketiga, yaitu orang yang tidak memiliki kecerdasan sangat tinggi maupun kecerdasan yang sangat rendah. Bagi kategori ketiga ini, tidak cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa sebuah ajaran disampaikan oleh Buddha untuk serta-merta meyakininya. Mereka membutuhkan penjelasan lebih lanjut agar bisa teryakinkan dengan kebenaran hukum ini. Bagi orang-orang tipe ini, mereka membutuhkan kognisi valid untuk membangkitkan keyakinan terhadap hukum karma dan akibat-akibatnya.
Kemarin saya telah menjelaskan bagaimana cara mencapai kognisi valid jenis ketiga berdasarkan kepercayaan atau keyakinan, saya tidak akan mengulanginya lagi. Yang paling penting di sini adalah kita harus membangkitkan keyakinan yang jernih dan pasti tentang kebenaran hukum karma dan akibat-akibatnya karena ini merupakan fondasi keseluruhan ajaran Buddha. Penting sekali bagi kita untuk yakin bahwa dari sebab yang bajik akan muncul kebahagiaan dan dari sebab yang buruk hanya akan berakibat penderitaan.
Ini adalah sesuatu yang sangat jelas terjadi pada diri kita. Dalam hidup ini kita mengalami begitu banyak pengalaman-pengalaman berbeda, segala bentuk kesenangan dan kebahagiaan. Kita juga mengalami begitu banyak jenis-jenis ketidakbahagiaan, penderitaan, permasalahan, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah: dari mana datangnya keseluruhan pengalaman yang sangat beragam dan bervariasi tersebut? Apa yang menghasilkan atau menyebabkan timbulnya sebuah kejadian atau pengalaman?
Jawaban pertanyaan di atas tentu saja berbeda-beda sesuai keyakinan dan ajaran agama yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa itu berasal dari satu sosok yang tunggal, ada juga yang mengatakan itu berasal dari sosok dewa yang berbeda-beda, dan ada juga yang memaparkan penjelasan lainnya.
Penjelasan-penjelasan tersebut tidak sejalan dengan pemahaman buddhis. Berdasarkan pandangan buddhis kita bisa memahami bahwa segala bentuk pengalaman dan kejadian bukanlah sesuatu yang ditimbulkan oleh seorang atau sebuah faktor eksternal. Paham buddhis mengatakan bahwa hasil atau akibat yang terjadi adalah sesuai dengan sebab-sebabnya. Hasil positif datangnya dari sebab yang positif. Hasil yang negatif datangnya dari sebab yang negatif pula.
Lebih lanjut, pandangan buddhis mengatakan bahwa sebab-sebab yang dilakukan oleh seorang individu akan sesuai dengan pengalaman atau akibat yang didapatkannya. Sebab-sebabnya adalah karma atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang kemudian memperoleh buah karma berupa pengalaman atau akibat-akibat karma yang telah dilakukannya. Yang mengalami akibat-akibatnya adalah orang yang telah menciptakan sebab-sebabnya, ia tidak bisa menerima akibat berdasarkan sebab yang dilakukan orang lain.
Pengalaman baik atau buruk merupakan konsekuensi yang bersesuaian dengan karma yang telah dilakukan. Kalau kita telaah lebih dekat apa yang dimaksud dengan karma itu sendiri, maka kita akan sampai pada pemahaman bahwa karma merujuk pada faktor mental, bagian dari batin kita. Yang sesungguhnya dimaksud dengan karma adalah sebuah faktor mental, salah satu dari lima faktor mental yang senantiasa ada di dalam batin.
Ada lima jenis faktor mental yang senantiasa hadir yang ada di dalam batin kita. Di antara kelimanya, ada satu faktor yang menggerakkan batin untuk mengarah pada objeknya, yaitu karma atau faktor mental niat. Untuk menjelaskan fungsi faktor mental ini, teks-teks besar buddhis menggunakan analogi sebuah magnet. Sebuah magnet adalah objek yang bisa menarik logam-logam lain untuk mendekat padanya. Fungsi faktor mental mirip sebuah magnet yang mendekatkan batin dengan objeknya.
Ada banyak bentuk-bentuk karma berdasarkan penjelasan yang berbeda-beda, tapi yang paling penting adalah karma yang merujuk pada faktor mental niat. Dengan pemahaman ini, pada dasarnya kita bisa mengatakan bahwa batin kitalah yang menciptakan semua pengalaman, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, yang kita alami.
Untuk itulah, tidak ada alasan lain lagi, satu-satunya yang harus kita lakukan adalah mengendalikan batin kita. Kita harus menaklukkan batin kita sendiri. Mengapa dikatakan bahwa kita seharusnya menaklukkan batin kita sendiri? Karena dengan menaklukkan batin kita sendiri, barulah kita bisa bahagia. Dengan menaklukkan batin, kita bisa meraih hasil-hasil yang unggul sebagaimana yang dibabarkan di dalam sutra.
Ketika karma dipaparkan berdasarkan karakteristik umum yaitu kepastian karma, pertumbuhannya yang pesat, dan seterusnya, itu merujuk pada satu fase atau satu bagian dari batin kita. Secara keseluruhan, terkait empat karakteristik karma secara umum, ia berlaku untuk semua jenis karma. Misalnya sifat karma yang pasti. Adalah pasti bahwa dari sebab-sebab yang positif hanya akan muncul akibat-akibat yang menyenangkan atau membahagiakan. Sebaliknya pula, adalah pasti bahwa sebab-sebab negatif hanya akan menghasilkan akibat-akibat yang buruk. Kita harus benar-benar paham bahwa semua pengalaman yang kita alami merupakan akibat dari perilaku kita sendiri. Apa yang kita alami bukan dikarenakan faktor-faktor lain di luar diri sendiri.
Karakterisktik kedua adalah pertumbuhan karma yang sangat pesat. Sebuah sebab yang tampaknya kecil dan remeh pada akhirnya bisa menghasilkan akibat atau hasil yang jauh lebih besar. Ini berlaku baik untuk karma baik maupun buruk. Untuk karma baik, prinsipnya adalah setetes air kecil lama-lama akan memenuhi sebuah wadah yang besar. Untuk karma buruk, analoginya adalah satu bagian kecil racun jika dimakan maka racun yang sedikit ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan membinasakan orangnya. Jadi, tidak seharusnya kita mengabaikan atau meremehkan karma baik dan karma buruk sekecil apa pun.
Bagaimana cara kerjanya? Dalam kasus karma buruk, walaupun kecil, jika Anda tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan pertumbuhannya yang sangat pesat, maka sebuah karma buruk kecil yang dilakukan hari ini, besoknya sudah berlipat ganda, besoknya lagi sudah berlipat-empat, demikian seterusnya. Sesuatu yang awalnya kecil dan remeh akhirnya berkembang menjadi sesuatu yang sangat besar dan serius.
Keseluruhan dari poin karakteristik kedua ini adalah kita harus memahami sifat dasar dan kecenderungan karma yang berlipat ganda dan bertumbuh pesat. Jangan meremehkan atau menganggap tidak penting karma baik dan karma buruk. Karma baik yang kecil bisa berkembang menjadi hasil yang sangat besar. Karma buruk yang sangat kecil sekali pun, bila tidak dinetralisir dengan praktik purifikasi, ia akan berkembang menjadi sangat besar pula.
Sekarang kita sudah sampai pada kisah Maudgalyayana (Pali: Mogallana), yang merupakan murid dekat Sang Buddha. Akan tetapi, kita sudah sampai di penghujung sesi ini. Saya akan jelaskan kisah ini di sesi berikutnya.