Tidak ada api abadi. Tidak ada air suci. Itulah Waisak di Bandung bersama Kadam Choeling Indonesia. Namun, persiapan sudah dimulai 10 hari sebelum Waisak, tepatnya pada Hari Minggu tanggal 8 Mei. Ketika itu, serentak di seluruh kota: Bandung, Jakarta, Bogor, Jogja, Malang, Medan, dan Palembang, keluarga besar KCI mengambil Sila Mahayana Uposattha selama 10 hari penuh. Tujuan menjaga Sila adalah melatih diri dan mengumpulkan kebajikan, salah satu inti dari praktik seorang buddhis.

Buddhis tidak butuh ritual seandainya memang tidak diperlukan. Buddhis tidak perlu dirayakan semisalnya memang tidak memungkinkan. Waisak memperingati kelahiran Bodhisattwa Agung, Sang Pangeran Siddharta, yang kelahirannya sudah dirancang sedemikian rupa sejak di Tushita. Waisak juga memperingati kemenangan gilang-gemilang Sang Pangeran atas mara, hingga memperoleh sebutan agung, Buddha. Terakhir, Waisak juga memperingati mahaparinirwana Sang Bhagawan, peristiwa yang mengajarkan ketidak-kekalan.

Di pagi hari yang menjadi hari Waisak, anak-anak melakukan fangsen. Selanjutnya, Puja Waisak dijadwalkan pada pukul 17:00 WIB karena berdasarkan informasi yang diperoleh, detik-detik Waisak jatuh pada pukul 18:08:23. Kata Suhu, di dunia ini, yang memperingati detik-detik Waisak hanya umat Buddha di Indonesia. Detik-detik tersebut diambil dari perhitungan waktu ketika bulan bulat sempurna, yang biasanya dimanfaatkan untuk bermeditasi. Karena tidak ada tradisi detik-detik Waisak di Centre, Suhu menyarankan anak-anak untuk meditasi masing-masing. Puja baru dimulai sekitar pukul 17:33, yang dilaksanakan menurut tradisi Tibet. Selesai sekitar 18:21, yang ditutup oleh Suhu dengan ucapan “Selamat Hari Waisak, semoga panjang umur!”

Suhu mengundang semua pihak untuk mengikuti Waisak di Candi Monas pada hari Sabtu, tanggal 21 Mei. Puja akan dimulai pukul 17:00 WIB. Kontingen Bandung akan berangkat mengikuti Waisak di sana. Sampai jumpa di Waisakan Candi Monas!(JL)