Sekarang mari kita telaah lebih jauh mengenai karma itu sendiri. Dewasa ini banyak sekali orang yang menggunakan istilah ‘karma’. Orang-orang dengan gampangnya menggunakan istilah ‘karma’ dan kata ini sering kali terucap dalam banyak kesempatan tanpa benar-benar memahami apa maksudnya. Tapi Rinpoche rasa kebanyakan peserta di sini bukan termasuk orang yang demikian, karena kebanyakan Anda adalah penganut Buddhis, sehingga kemungkinan besar tidak terjerumus dalam kesalahan sikap seperti itu. Yang Rinpoche maksudkan tadi adalah merujuk pada masyarakat awam secara umum.
Ketika ada orang berujar, ‘Karma, ini adalah karmaku,’ yang ada dalam benaknya semata-mata adalah karma buruk atau karma negatif, yaitu sesuatu yang menimbulkan masalah dan ketidak-bahagiaan, apakah itu sebab-sebab yang menjerumuskan orang ke dalam samsara, ataupun harus mengalami berbagai macam permasalahan, dan sebagainya. Jadi, yang dimaksud dengan karma oleh kebanyakan orang hanya merujuk pada karma buruk saja.
Sebenarnya yang dimaksud dengan karma, tentu saja mencakup karma baik dan karma buruk. Atau lebih tepatnya lagi, karma yang tercemar/ terkontaminasi dan karma yang tidak tercemar/ tidak terkontaminasi.
Karma yang tercemar/ terkontaminasi adalah karma yang berkaitan dengan samsara. Kebanyakan dari karma tercemar ini adalah karma yang dikumpulkan/ dihimpun/ dihasilkan oleh orang-orang biasa kebanyakan. Orang biasa di sini maksudnya makhluk yang belum mencapai tingkatan Arya.
Tidak semua karma yang tercemar merupakan karma pelempar untuk terlahir kembali di dalam samsara. Kebalikan dari karma yang tercemar adalah karma yang tidak tercemar/ tidak terkontaminasi. Karma yang tidak bercemar ini adalah karma yang ada di dalam arus batin para Arya, apakah itu Srawaka, Pratyeka Buddha, Bodhisatwa, hingga Arya Buddha. Buddha sendiri masih menciptakan karma, tapi karmanya adalah karma yang tidak tercemar.
Banyak orang yang menggunakan istilah karma di sana-sini, tapi tidak berarti mereka paham betul apa yang dimaksud dengan karma itu sendiri. Oleh sebab itu, penting sekali bagi kita di sini untuk memahami apa yang dimaksud dengan karma dan karma itu merujuk kepada apa.
Karma bisa dibedakan berdasarkan sifat dasarnya:
1)Karma yang merupakan fenomena mental; ini merujuk pada faktor mental yang selalu hadir di dalam batin, dan lebih persisnya lagi merujuk pada faktor mental niat atau kehendak. Ini adalah satu kategori pembagian karma.
Pembagian karma lainnya adalah:
2)Jejak karma atau potensi sebuah karma yang sudah dilakukan. Ini adalah jejak yang ditinggalkan oleh karma jenis pertama di atas, yang dijejakkan di dalam arus kesadaran. Jejak karma ini termasuk dalam kategori lain, yaitu apa yang disebut dengan Faktor-faktor pembentuk yang tidak berkaitan (Non Associated Compositional Factors).
Dalam pembagian fenomena tidak kekal, kategori faktor pembentuk yang tidak berkaitan ini tidak termasuk dalam fenomena mental maupun fisik.
Kebanyakan penganut buddhis menerima dua pembagian besar ini, yaitu karma sebagai faktor mental dan karma sebagai jejak karma/ potensi.
Pengecualian berlaku kalau kita merujuk pada aliran filosofis tertinggi dan terendah, yaitu Madhyamika Prasangika dan Vaibashika. Menurut kedua aliran filosofis buddhis ini, ada pengkategorian karma yang ketiga, yang termasuk pada kategori fisik atau materi. Ini adalah pengkategorian karma secara khusus, tidak berlaku secara umum.
Dengan demikian kita sudah melihat adanya tiga pengkategorian karma sebagaimana yang dijelaskan barusan.
Sekarang mari kita kembali pada kategori pertama yang menjadi titik pertama, yaitu karma yang sifatnya mental, yang disebut sebagai faktor mental. Dikarenakan sifat faktor mental yang senantiasa hadir (omnipresent mental factor) ini, maka faktor mental ini wajib hadir terus di dalam batin kita agar batin utama/ kesadaran kita bisa mempersepsikan objeknya.
Fungsi faktor mental niat adalah mengarahkan batin utama pada objeknya, ibarat sesuatu yang menggerakkan batin pada objeknya. Tanpa faktor mental ini, batin utama tidak bisa mencerap objeknya. Oleh sebab itu, faktor mental niat ini sangat penting dan terus-menerus hadir agar batin utama bisa berfungsi.
Pada dasarnya, supaya kita semua bisa memahami pembahasan ini dengan lebih baik, Rinpoche akan memberikan materi latar belakangnya. Batin memiliki dua aspek mendasar, yaitu:
1.Kesadaran; ada enam jenis kesadaran, masing-masing satu untuk panca-indra, yaitu indra penglihatan, dst, dan satu untuk kesadaran mental, sehingga jumlah keseluruhannya ada enam. Kesadaran ini disebut juga batin utama, yang berbeda dengan faktor-faktor mental.
2.Faktor-faktor mental yang bersifat mendukung batin utama. Ada beberapa jenis faktor mental yang memiliki peranan penting supaya batin utama bisa berfungsi, artinya mencerap objeknya. Faktor mental terdiri dari beberapa kategori, salah satunya yang disebut sebagai faktor mental yang selalu hadir (omnipresent mental factor), yang apabila tanpa faktor mental ini, batin utama tidak bisa berfungsi untuk mencerap objeknya. Faktor mental yang senantiasa hadir ini ada lima dan masing-masing memainkan peran yang spesifik agar persepsi bisa terjadi, agar batin bisa berpikir dan berfungsi.
Masing-masing kesadaran indra memungkinkan kita mencerap objek, misalnya melihat pemandangan, menangkap suara-suara, mencium bau-bauan, dan seterusnya. Tapi fungsi kesadaran ini hanya berhenti sampai di sini saja, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menilai. Misalnya menilai apakah sesuatu itu bagus, cantik, jelek, baik, buruk, dan sebagainya. Yang bisa menilai adalah batin utama yang dibarengi dengan faktor-faktor mental.
Masing-masing kesadaran memiliki kemungkinan untuk mencerap berbagai macam objek, asalkan pada setiap kali terjadi persepsi itu, kesadaran dibarengi dengan lima faktor mental yang selalu hadir. Kalau salah satu dari kelima faktor mental yang senantiasa hadir ini tidak ada, maka persepsi visual, pendengaran, dsb, tidak bisa terjadi.
Apa saja kelima faktor mental yang selalu hadir? Mereka adalah 1) kontak, 2) perasaan, 3) diskriminasi, 4) niat, 5) perhatian. Contoh: jika kita melihat bunga yang putih, dan kemudian kita berpikir alangkah cantiknya bunga putih tersebut, dan pikiran ini bisa muncul hanya dalam waktu yang singkat. Tapi, sebenarnya di dalam proses berpikir hingga bisa muncul pemikiran “bunga yang cantik†ada banyak sekali bagian-bagian batin yang berperan dan berfungsi, walaupun kita tidak menyadarinya.
Yang pertama, persepsi penglihatan yang mencerap bunga, dan di sini yang berperan adalah kesadaran penglihatan. Berbarengan dengan kesadaran penglihatan ini berfungsi juga lima faktor mental yang selalu hadir, karena tanpa kelima faktor mental ini seseorang tidak bisa melihat objek bunga tersebut. Ketika kita serta-merta berpikir, ‘Alangkah cantiknya bunga tersebut,’ bukan kesadaran penglihatan yang memikirkannya, karena kesadaran mental tidak bisa memainkan fungsi ini. Setelah kesadaran penglihatan, yang berperan selanjutnya adalah kesadaran mental atau batin berikut dengan kelima faktor mental yang senantiasa hadir, sehingga ada 6 unsur yang berperan secara keseluruhan. Ketika kesadaran mental mengidentifikasi bunga, sekali lagi ada lima faktor mental yang turut berperan. Sehingga secara keseluruhan ada 12 elemen yang berperan agar batin bisa mencerap objeknya.
Proses yang sama juga berlaku untuk kesadaran lainnya, misalnya ketika kita mendengarkan suara dan kemudian mengenalinya sebagai suara yang indah. Dalam waktu yang singkat tersebut, dua set proses masing-masing 6 unsur akan berperan. Proses yang sama juga berlaku ketika kita mencium wewangian, dan seterusnya. Setiap kali proses ini terjadi, maka ada 12 unsur yang berperan bagi batin untuk mencerap objeknya.
Pertanyaannya, di antara semua unsur tersebut, di manakah letak karma? Hanya ada 1 unsur yang merupakan karma, yaitu yang terletak pada faktor mental niat. Selebihnya bukan karma.
Jadi, itu merupakan karma jenis pertama, yaitu faktor mental niat. Faktor mental niat ini senantiasa menemani batin kita setiap saat, setiap momen. Karena kita senantiasa berpikir, senantiasa mencerap objek, maka setiap kali itu pula faktor mental niat ini muncul dalam batin kita. Setiap kali berbagai macam faktor mental niat muncul dalam batin kita, sampai pada titik tertentu, faktor mental niat ini akan berhenti dan digantikan oleh faktor mental niat berikutnya. Ketika berhenti, faktor mental niat atau karma ini tidak menghilang begitu saja dan tidak meninggalkan jejak.
Justru sebaliknya, faktor mental niat atau karma ini akan meninggalkan jejak yang disebut sebagai jejak karma atau potensi, yang merupakan jenis karma kedua. Jejak-jejak karma ini ditinggalkan di dalam batin kita dan akan terus menetap di sana selama tidak ada yang melawan atau menghancurkannya ataupun yang menetralisirnya.
Apa artinya? Ini berarti kita membawa serta beban yang begitu besar berupa jejak-jejak karma, yakni jejak-jejak yang sudah kita hasilkan di masa lampau yang belum dihancurkan atau dihilangkan. Sementara itu, kita terus-menerus menambahkan jejak-jejak karma baru terhadap beban kumpulan jejak-jejak karma yang terlebih dahulu kita miliki.
Jenis karma yang kedua ini, yaitu yang disebut sebagai jejak karma, termasuk ke dalam kategori fenomena “faktor-faktor pembentuk yang tidak berkaitan†atau non-associated compositional factor. Apa yang dimaksud dengan ini? Mari kita lihat kembali pengkategorian fenomena, yaitu segala sesuatu yang muncul karena sebab dan kondisi termasuk fenomena tidak kekal. Fenomena tidak kekal ini lebih lanjut terbagi lagi menjadi 3 bagian:
1)Bentuk/ fisik
2)Fenomena mental
3)Faktor-faktor pembentuk yang tidak berkaitan
Jejak karma termasuk fenomena bukan mental dan bukan fisik, sehingga termasuk fenomena jenis yang ketiga.
Contoh fenomena yang termasuk ke dalam kategori yang ketiga, misalnya kita sendiri selaku makhluk hidup. Kita memiliki tubuh fisik dan batin, tapi kita bukanlah fisik atau batin itu sendiri, sehingga kita termasuk faktor-faktor pembentuk yang tidak berkaitan. Selaku individu yang muncul karena bergantung pada sebab dan kondisi, kita termasuk dalam kategori yang ketiga.
Contoh lainnya yang termasuk kategori yang ketiga adalah: jarak (distance), panjang (length), penuaan (aging), kelahiran (birth), waktu (time), berat (weight), dan seterusnya.
Selanjutnya, beberapa aliran filosofis buddhis mengkategorikan karma jenis ketiga, yaitu karma yang sifat dasarnya adalah perbuatan fisik. Kalau ditinjau dari pembagian fenomena tidak kekal di awal, karma ini masuk pada kategori pertama, yaitu fenomena fisik. Karma jenis ketiga ini diakui oleh aliran tertinggi—Madhyamika Prasangika—dan aliran terendah, Vaibashika.
Bagi kedua aliran ini, gerakan-gerakan fisik tertentu yang bisa menunjukkan pemikiran ataupun perasaan tertentu dari seseorang, termasuk karma, dalam hal ini karma fisik. Misalnya ada seseorang yang dikarenakan keyakinan yang kuat kemudian beranjali, maka gerakan tangan yang dirangkupkan ini bisa mengungkapkan apa yang di dalam batin pelakunya, yaitu sikap batin yang dipenuhi oleh keyakinan.
Gerakan tangan yang termasuk gerakan fisik itu termasuk karma. Contoh lainnya adalah namaskara dan banyak lagi contoh gerakan fisik lainnya. Tapi kalau misalnya ada gerakan fisik sekilas lalu, seperti menggerakkan badan, tapi tidak menunjukkan cara berpikir dan perasaan tertentu dari pelakunya, ini tidak termasuk karma.
Kalau Anda renungkan kenyataan bahwa gerakan-gerakan fisik tertentu bisa menghimpun karma, maka ini akan bermanfaat bagi praktik Anda. Dalam artian, bagaimana dalam waktu yang singkat dan dengan perilaku yang sederhana, seseorang bisa mengumpulkan karma bajik dalam semua jenisnya, yaitu karma fisik, ucapan, dan mental. Misalnya didorong oleh keyakinan seseorang kemudian bernamaskara kepada para Buddha atau memberikan penghormatan. Atau bisa juga seseorang mengucapkan kata-kata penuh hormat, keyakinan, dan pujian kepada Buddha. Dengan tindakan-tindakan yang sederhana, kita dapat menghimpun karma bajik, baik dengan perbuatan, ucapan, maupun pikiran.
Tentu saja itu hanya berlaku bagi aliran yang mengakui kategori karma ini, yaitu yang sifatnya fisik sehingga termasuk kategori fenomena pertama, yaitu fenomena fisik/ materi. Bagi mereka yang tidak mengakui jenis karma ini, yaitu karma yang dihimpun melalui gerakan-gerakan fisik, karena bagi mereka karma fisik dihimpun dengan menggunakan tubuh jasmani, yaitu ketika seseorang melakukan sesuatu dengan tubuhnya. Faktor mental yang berlaku pada saat sebuah perbuatan dilakukan yang menentukan apakah karma yang dihimpun adalah karma fisik atau ucapan, sedangkan untuk gerakan tubuh itu sendiri tidak termasuk karma. Jadi, bagi mereka, penentuan karma fisiknya sedikit berbeda.
Sekarang kita sampai pada pembahasan berikutnya, yaitu kita akan melihat tiga jalan karma mental hitam, yaitu:
1.Keserakahan
2.Niat jahat
3.Pandangan salah
Keserakahan atau nafsu keinginan adalah jenis kemelekatan, tapi kemelekatan tidak mesti merupakan keserakahan, tapi keserakahan sudah pasti merupakan kemelekatan.
Pada jalan karma ini, sekali lagi, juga berlaku empat unsur yang membentuk sebuah jalan karma yang lengkap. Dasar atau basisnya dalam kasus ini adalah barang yang menjadi milik orang lain. Berkaitan dengan unsur mental, yaitu pemikiran di balik sebuah tindakan, dalam hal ini, identifikasi, maka identifikasinya adalah melihat barang milik orang lain dan mengenalinya sebagai barang milik orang lain. Kilesa yang terlibat adalah salah satu dari ketiga racun mental, tapi kilesa perampungnya adalah kemelekatan.
Motivasinya adalah niat untuk mendapatkan barang milik orang lain. Sedangkan untuk tindakannya sendiri, adalah tingkat keserakahan yang lebih besar, yang sudah meningkat daripada sebelumnya, yaitu keinginan yang menguat untuk menjadi barang milik orang lain sebagai barang milik sendiri, artinya seseorang secara mental berupaya untuk melakukan apa saja untuk memastikan barang milik orang lain tersebut menjadi miliknya.
Tindakan jalan karma hitam keserakahan ini lengkap ketika seseorang mengambil keputusan, “Aku akan mendapatkan barang milik orang lain tersebut dan menjadikannya barang milikku.â€
Berikutnya adalah niat jahat. Dasar atau basisnya sama dengan basis untuk ucapan kasar dan membunuh, dengan kata lain, seorang makhluk hidup yang tidak kita sukai dan ingin kita sakiti. Identifikasinya adalah seseorang yang tidak kita sukai dan ingin kita sakiti. Motivasinya adalah menginginkan sesuatu yang buruk menimpa orang tersebut, misalnya berharap ‘semoga ia kehilangan harta bendanya,’ ‘semoga sesuatu yang buruk menimpanya.’
Tindakannya berupa niat jahat yang sudah menguat, yaitu tekad untuk benar-benar menyakiti seseorang atau benar-benar berharap sesuatu yang buruk menimpa seseorang. Jalan karma ini lengkap ketika seseorang mengambil keputusan untuk benar-benar melakukan sesuatu untuk menyakiti orang lain.
Jalan karma mental hitam ketiga adalah pandangan salah, artinya seseorang yang memegang pandangan yang salah. Secara umum, ada dua jenis pandangan salah:
1)Pengingkaran terhadap sesuatu yang eksis dan menyatakannya tidak eksis
2)Menerima sesuatu yang tidak eksis sebagai eksis
Dalam konteks sepuluh jalan karma hitam, pandangan salah di sini adalah pandangan yang pertama, yaitu mengingkari keberadaan sesuatu yang memang eksis. Jadi, dasar atau basisnya adalah pandangan keliru yang mengingkari keberadaan sesuatu yang memang eksis. Identifikasinya adalah mengenali sesuatu sebagai hal yang tidak eksis. Kilesanya adalah salah satu dari ketiga racun mental. Motivasinya adalah niat untuk mengingkari keberadaan sesuatu yang eksis. Tindakannya sendiri berupa niat yang semakin kuat untuk mengingkari keberadaan sesuatu yang memang eksis.
Jalan karma ini lengkap apabila seseorang mengambil keputusan untuk mengingkari keberadaan sesuatu yang eksis. Ada empat jenis pengingkaran yang termasuk pandangan salah, yaitu:
1.Mengingkari sebab-sebab: berarti mengingkari adanya kehidupan-kehidupan lampau.
2.Mengingkari akibat-akibat: berarti mengingkari adanya kehidupan yang akan datang.
3.Mengingkari agen/ pelaku: berarti mengingkari adanya sosok yang menghimpun/ mengumpulkan karma.
4.Mengingkari eksistensi/ hal-hal yang eksis: pengingkaran eksistensi secara umum.
Akan tetapi, perlu diketahui, supaya ketiga jalan karma mental hitam ini lengkap, masing-masing membutuhkan lima kriteria lebih lanjut untuk dipenuhi, dan ini dijelaskan oleh Arya Asanga dalam karya beliau yang berjudul “Compendium.â€
Misalnya, ketika kita pergi ke mal atau pusat perbelanjaan dan melihat barang-barang bagus kemudian muncul pemikiran untuk memilikinya, akan tetapi pemikiran ini masih belum termasuk keserakahan, arti belum menjadi jalan karma keserakahan yang lengkap.
Oleh sebab itu, penting sekali bagi Anda untuk mengetahui apa saja kelima kriteria tersebut, karena setelah mengetahui barulah Anda bisa berperilaku dengan hati-hati. Kalau tidak tahu, Anda berada dalam kegelapan dan tidak tahu apa yang semestinya dihindari dan apa yang semestinya dilakukan.
Ketika kita pergi ke sebuah toko dan melihat sesuatu kemudian berpikir, “Aku suka ituâ€; belum cukup bagi pemikiran ini untuk menjadi sebuah jalan karma yang lengkap, karena masih ada kriteria lain yang harus dipenuhi.
Kriteria pertama, seseorang haruslah sangat terikat dengan barang-barang kepunyaannya. Apa maksudnya seseorang yang melekat pada kepunyaannya? Artinya, sampai di mana batasan seseorang dikatakan melekat? Seseorang dikatakan melekat pada barang-barang miliknya kalau ia tidak bisa memberikan barang-barang tersebut kepada orang lain.
Kriteria kedua, adanya keinginan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi harta benda atau barang-barang kepunyaan. Dengan kata lain, sebuah sifat yang serakah, yakni keinginan untuk mengumpulkan sesuatu semakin banyak dan semakin banyak lagi. Kriteria kedua ini termasuk kemelekatan.
Kriteria yang ketiga sulit diterjemahkan ke dalam satu istilah tunggal, karena mengandung semua makna berikut: 1) Seseorang melihat sebuah objek dan berpikir bahwa objek tersebut akan berguna/ bermanfaat baginya, 2) Seseorang melihat objek dan berpikir itu adalah sesuatu yang bagus/ indah, 3) Seseorang melihat objek dan menuntun pada perencanaan, artinya seseorang berpikir, “Kalau seandainya saya punya ini, maka saya akan melakukan ini dan itu.’ Jadi makna ketiga mengandung unsur adanya sifat mendamba.
Penjelasan lebih lanjut untuk poin ketiga, kalau ditilik kembali ke istilah dalam Bahasa Tibet, poin ketiga ini artinya seseorang yang terlebih dulu mencicipi rasa sesuatu. Jadi, barang itu walaupun belum berada dalam genggaman, tapi seseorang sudah membayang-bayangkan apa yang akan dilakukannya setelah mendapatkan barang tersebut. Contoh pemikiran: “Aku akan melakukan ini seandainya aku memiliki barang itu.†Jadi semacam terlebih dulu mencicipi rasa sesuatu.
Kriteria keempat adalah pemikiran untuk menjadikan barang milik orang lain sebagai barang milik sendiri. Menurut tradisi lisan, ini berarti batin Anda mulai memikirkan cara-cara untuk mendapatkan sesuatu milik orang lain dan menjadikannya milik Anda sendiri. Anda berpikir keras tentang bagaimana mendapatkan barang tersebut.
Kriteria kelima adalah seseorang benar-benar tidak merasa malu dengan adanya keserakahan yang timbul di dalam batinnya, artinya keserakahan sudah benar-benar menguasai batinnya dengan sepenuhnya sehingga tak kuasa dikendalikan oleh batin.
Anda bisa melihat ada banyak kriteria yang harus dipenuhi, oleh sebab itu penting sekali untuk diketahui. Dengan demikian, Anda bisa memastikan tidak semua unsur-unsurnya terpenuhi untuk menjadikan sebuah jalan karma yang lengkap, dan dengan demikian bisa menghindari jalan karma keserakahan yang lengkap.
Kriteria-kriteria untuk jalan karma mental niat jahat yang lengkap juga sama. Apabila seseorang membangkitkan niat jahat kepada orang lain, bukan berarti ia sudah melakukan jalan karma niat jahat yang lengkap. Ada unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menjadikannya jalan karma mental hitam yang lengkap.
Kriteria pertama adalah sikap bermusuhan, artinya sifat bermusuhan yang spesifik, yang ditujukan kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap membahayakan Anda. Dengan kata lain, Anda memikirkan objek yang Anda anggap membahayakan ini, benar-benar menganggapnya sebagai sesuatu yang membahayakan atau mengganggu Anda.
Kriteria pertama di atas semata-mata mengidentifikasi sesuatu atau seseorang sebagai objek yang membahayakan, artinya kita berpikir, “Orang ini membahayakan saya,†atau “Orang ini menyakiti saya.†Sedangkan untuk kriteria kedua adalah perasaan yang Anda miliki terhadap orang tersebut, yaitu perasaan tidak tahan terhadap orang tersebut.
Berikutnya, kriteria ketiga adalah perasaan menolak, artinya seseorang memikirkan berulang-ulang akan bahaya atau gangguan yang ditimbulkan objek penolakannya itu. Artinya, seseorang memikirkannya terus-menerus, berulang-ulang, yang merupakan jenis perhatian yang keliru. Pemikiran ini bukan hanya satu dua kali saja, tapi dipikirkan terus-menerus, misalnya, “waktu segini, di tempat itu, orang itu melakukan ini dan itu kepadaku.†Pemikiran ini kita bangkitkan terus-menerus di dalam batin kita. Kita juga bisa berpikir, “Orang ini melakukan sesuatu terhadap seseorang yang dekat denganku, ia melakukan ini dengan cara ini dan itu, ia melakukan ini terhadap barang-barang milikku,†dan seterusnya. Perhatian yang keliru ini dibangkitkan terus-menerus hingga munculnya kemarahan.
Kriteria keempat ini menyerupai kriteria keempat yang ada pada jalan karma hitam keserakahan, yaitu sifat mendambakan sesuatu. Tapi di sini yang didambakan bukan untuk mendapatkan sesuatu yang bagus, tapi sebaliknya, yang diinginkan adalah bahaya ataupun balas dendam terhadap orang lain. Anda berpikir, “Alangkah baiknya kalau sesuatu yang buruk menimpa orang itu.â€
Kriteria kelima serupa dengan kriteria kelima yang terdapat pada jalan karma keserakahan sebelumnya, yaitu sama sekali tidak adanya rasa malu terhadap timbulnya niat jahat di dalam batin seseorang. Artinya, batin seseorang sepenuhnya dikuasai oleh cara berpikir ini sehingga sama sekali tidak ada penyesalan ataupun rasa malu.
Kalau kita lihat alur kelima kriteria ini, kita bisa melihat bagaimana terjadi peningkatan dari satu kriteri ke kriteria berikutnya. Yang pertama semata-mata perhatian yang kuat terhadap apa yang sudah dilakukan seseorang. Berikutnya yang kedua adalah perasaan tidak tahan terhadap bahaya/ gangguan yang ditimbulkan. Ketiga sudah menjadi penolakan, artinya seseorang bersikukuh terhadap pandangannya dan tidak mau melepaskan pendapatnya serta memikirkannya berulang-ulang, terus-menerus terhadap bahaya/ gangguan yang ditimbulkan oleh objek yang dianggap membahayakan, yang tentu saja semakin memperparah situasi. Pada tahap keempat seseorang sudah sampai pada tahap berniat membalas dendam.
Dengan semakin meningkatnya intensitas pada setiap perkembangan kriteria, ketika tiba pada tahap atau kriteria kelima, seseorang sudah benar-benar tidak tahan dan tidak merasa malu lagi akan perasaan buruk yang timbul dalam batinnya. Seseorang tidak mampu lagi menahan atau mengendalikan niat jahat yang timbul dalam batinnya, karena batinnya sepenuhnya telah dibutakan oleh niat jahat. Ia sudah tidak mampu lagi menakar pikiran dan perbuatannya, dan tidak mampu lagi merasa malu, karena sepenuhnya sudah dikendalikan oleh pikiran buruk ini.
Berikutnya kita akan lihat kelima kriteria yang membentuk unsur-unsur jalan karma pandangan salah yang lengkap. Yang pertama adalah batin yang terhalangi, artinya ketidak-mampuan seseorang untuk mempersepsi sesuatu sebagaimana adanya. Mereka buta tentang bagaimana eksistensi sesuatu secara tepat, persis, dan sebenarnya. Contoh dari ketidak-tahuan ini adalah seseorang yang tidak tahu bahwa kebajikan dan perbuatan baik adalah sebab-sebab kebahagiaan, dan ketidakbajikan atau perbuatan buruk adalah sumber penderitaan dan ketidakbahagiaan.
Kriteria kedua adalah sikap yang tertarik untuk melakukan ketidakbajikan, artinya seseorang yang gemar berperilaku buruk atau salah. Misalnya ada orang yang bilang, ‘Saya benar-benar suka membunuh, mencuri, berbohong,…’ dan lain sebagainya. Mereka mengucapkan kata-kata tersebut dengan perasaan bangga, artinya mereka benar-benar tertarik dan suka untuk melakukan hal-hal tak bajik, yang termasuk ke dalam kriteria kedua ini.
Kriteria ketiga adalah sikap yang memegang pandangan salah. Apa artinya ini? Ini adalah semacam perhatian yang keliru, yang memusatkan perhatian secara berulang-ulang terhadap eksistensi sesuatu yang diingkari. Misalnya seseorang mengingkari keberadaan reinkarnasi dan ia pun terlibat dalam analisis-analisis berdasarkan penalaran yang keliru hingga ia sampai pada kesimpulan pasti bahwa memang reinkarnasi tidak ada.
Kriteria keempat adalah membangkitkan sikap dan pemikiran yang tercemar, misalnya seseorang yang berpikir ‘berdana tidak ada gunanya,’ ‘menjaga sila tidak ada manfaatnya,’ ‘buat apa berdana,’ ‘buat apa menjaga sila,’ ‘segala bentuk kebajikan hanya sia-sia saja akhirnya, tidak akan menghasilkan kebahagiaan,’ dan sebagainya. Kalau seseorang sudah sampai memiliki pemikiran-pemikiran seperti ini berarti ia sudah memiliki sikap dan pemikiran yang merosot atau buruk. Dengan kata lain pemikiran dan perilakunya sudah merosot, yaitu pemikiran yang mengingkari eksistensi hal-hal yang memang eksis.
Untuk kriteria kelima, sama seperti tahap sebelumnya, di sini seseorang sudah sampai tahap dibutakan oleh pemikirannya dan tidak lagi merasa malu memiliki pandangan yang keliru karena batin dan pemikirannya sudah sepenuhnya dilingkupi dan dikuasai oleh pemikiran ini.
Demikianlah penjelasan bagaimana tiga jalan karma mental hitam menjadi lengkap.
Perlu diketahui bahwa di antara sepuluh jalan karma tak bajik, tujuh yang pertama yaitu perbuatan fisik dan ucapan, merupakan karma dan jalan karma. Sedangkan untuk tiga perbuatan mental yang terakhir, ini adalah jalan karma, bukan karma, karena ketiga jalan karma mental ini adalah kilesa.
Idealnya harus diberikan penjelasan tentang jalan karma dan karma, tapi karena keterbatasan waktu kita akan lanjut ke poin berikutnya. Yaitu, kita akan melihat jalan karma putih/ bajik. Untuk jalan karma putih yang pertama ialah menghindari pembunuhan. Sama dengan sistem pemaparan sebelumnya yang terdiri dari empat unsur, yang pertama, basisnya adalah calon korban atau makhluk hidup. Identifikasinya sama, yakni makhluk hidup di luar diri sendiri.
Proses berpikirnya, bukannya ketiga racun mental, tapi di sini proses berpikir diwarnai oleh salah satu dari ketiga akar kebajikan, yaitu ketidakmelekatan (alobha), ketidakbencian (adosa), dan kebijaksanaan (amoha).
Motivasi yang melandasi didasarkan pada pemahaman terhadap akibat-akibat buruk dari membunuh dan niat untuk menghindari tindakan pembunuhan. Tindakannya sendiri adalah tindakan menghindari pembunuhan. Penyelesaiannya terjadi ketika seseorang benar-benar menghindari pembunuhan, barulah jalan karma putih menghindari pembunuhan menjadi lengkap.
Anda sekalian harus tahu bahwa apabila seseorang semata-mata hanya kebetulan tidak membunuh bukan berarti dia sudah melakukan jalan karma putih menghindari pembunuhan. Seseorang yang kebetulan saja tidak membunuh tidak berarti dia merampungkan jalan karma putih tidak membunuh, karena jalan karma putih ini harus disertai niat yang jelas, yaitu keinginan untuk menghindari pembunuhan. Jadi, menghindari pembunuhan harus dilakukan dengan landasan niat yang jelas dan memang memahami tujuannya, bukan sekadar kebetulan. Penting sekali untuk memahami perbedaan di antara keduanya.
Niat yang jelas harus mewarnai jalan karma putih menghindari pembunuhan, sama halnya untuk menghindari pencurian, berbohong, dan seterusnya. Seseorang memiliki pemikiran, ‘Saya tidak akan membunuh, mencuri, berbohong…’ dan seterusnya. Dengan demikian barulah ia dikatakan mempraktikkan jalan karma putih tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbohong, dan seterusnya. (jl)
*** End of Session 2***