Dagpo Rinpoche: Menjaga Sila adalah Pondasi Praktik Spiritual

  • May 4, 2010


Ajaran Lamrim ini disampaikan oleh Yang Mulia Dagpo Rinpoche di Veneux-les-Sablons, Perancis, pada hari Sabtu tanggal 1 Mei 2010. Sesi yang disiarkan melalui siaran web ini diterima oleh Kadam Choeling Indonesia di aula utama Center Bandung pukul 19:00-21:10 WIB. Berikut adalah rangkuman berdasarkan catatan tangan perangkum Bahasa Indonesia.

Penting sekali bagi kita untuk belajar dan mempraktekkan dharma dengan benar karena kesempatan untuk melakukan hal tersebut sangatlah langka dan berharga. Inilah yang harus senantiasa kita ingat, yaitu betapa langka dan berharganya kesempatan seperti ini.

Jika kita tidak mengingatkan diri sendiri betapa langkanya kesempatan seperti ini, artinya kita menganggap ini adalah sesuatu yang pantas kita dapatkan, yakni kita pantas duduk di sini dan mendengarkan ajaran, maka kita tidak Akan menghargai betapa berharganya kesempatan ini.
Sebelum melangkah lebih lanjut, Rinpoche hendak menyampaikan salam kepada semua peserta siaran web di seluruh dunia.

Alasan mengapa kita tidak boleh menganggap sepele kesempatan langka ini karena, tanpa perlu menyebutkan faktor kematian yang mengakibatkan kita kehilangan kehidupan ini, kita bisa terserang penyakit parah yang menyebabkan kita tidak bisa berpartisipasi dalam sesi ini, yakni untuk mendengarkan ajaran dharma, karena sebenarnya apa pun bisa terjadi yang bisa menghalangi kita mengikuti sesi ini. Oleh karenanya, kita patut bersukacita bahwa tidak ada halangan yang merintangi keikutsertaan kita dalam sesi ini, dan kita patut merasa lega dan senang.

Kita merasa lega dan senang karena kesempatan yang sangat langka ini sudah berhasil kita dapatkan. Kita hanya berkumpul bersama untuk waktu yang singkat, paling banyak hanya beberapa jam ke depan, oleh sebab itu pastikan kita menarik manfaat sepenuhnya dari sesi yang sangat singkat ini.

Bagaimana cara menarik manfaat sebesar-besarnya dari sesi ini? Yakni dengan menetapkan tujuan yang tinggi dan tidak membatasi aspirasi kita semata-mata pada hal-hal pada kehidupan saat ini saja, atau bahkan pada kehidupan-kehidupan akan datang. Kita harus bertekad untuk menghentikan penderitaan untuk selama-lamanya dan memperoleh kebahagiaan yang lebih stabil. Lebih lanjut, akan lebih bijak kalau kita tidak mengatasi penderitaan dan meraih kebahagiaan demi diri sendiri saja, karena semua makhluk, sama halnya dengan kita, juga menginginkan hal yang sama. Orang-orang bijak berupaya menghentikan penderitaan semua makhluk dan menempatkan mereka semua pada kebahagiaan tertinggi.

Sebagai buddhis, kita tahu bahwa solusi satu-satunya untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk. Dengan motivasi inilah kita sekarang akan mendengarkan ajaran yang disampaikan.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin kita menghentikan penderitaan semua makhluk, ketika kita bahkan kesulitan untuk menghentikan penderitaan orang-orang yang dekat dengan kita, misalnya orangtua kita? Tapi sebelum berbicara lebih jauh tentang orangtua kita, kita bahkan tidak bisa mengatasi pendirian kita sendiri.

Memang benar dalam kondisi kita sekarang ini, batin kita belum dewasa. Artinya kita masih kesulitan memerintahkan hati dan pikiran untuk melakukan apa yang kita hendaki. Hati dan pikiran kita masih sangat rapuh, ibarat seorang anak kecil yang baru saja belajar berjalan. Ketika baru melangkahkan kaki, kalau misanya ada halangan atau rintangan, anak kecil yang baru belajar berjalan itu akan langsung terjatuh. Itulah kondisi kita sekarang ini, yang sangat tidak stabil, daya tahan kita pada penderitaan dan rasa sakit sungguh sangat rendah sekali.

Karena kita tidak memiliki daya tahan, maka kapanpun kondisi-kondisi eksternal muncul, batin kita langsung terpengaruh. Selama kita terus-menerus dalam kondisi seperti ini, mustahil kita bisa menikmati kebahagiaan yang bisa bertahan lama dalam bentuk apapun. Hal ini terjadi karena kita sudah sangat lama diliputi oleh faktor-faktor negatif, misalnya emosi-emosi negatif, berikut kurangnya pengetahuan dan kebijaksanaan. Kita tidak mengetahui apa-apa saja yang perlu diketahui dalam rangka mencapai kebahagiaan. Artinya kita diliputi oleh ketidaktahuan (ignorance) yang membuat kita tidak mengetahui hal-hal apa saja yang memberikan kebahagiaan, akibatnya kita melakukan banyak kesalahan. Akibat banyak melakukan kesalahan, kita menciptakan banyak masalah, yang pada gilirannya membuat kita tidak bahagia.

Salah satu unsur yang harus kita miliki karena sangat bermanfaat adalah sifat daya tahan atau kesabaran. Kesabaran adalah kemampuan untuk menghadapi kesulitan, penderitaan, dan sejenisnya. Akibat ketidaktahuan, kita juga tidak memiliki sifat yang baik ini.

Kesadaran mental kita terus berjalan, ini sudah pasti terjadi. Tapi, kalau kita tidak hati-hati, kesadaran indra lainnya bisa mengganggu, contohnya kesadaran penglihatan. Misalnya seseorang yang sedang mendengarkan ajaran tapi matanya menghadap ke bawah. Tiba-tiba fokus perhatiannya beralih pada kain alas meja di hadapannya, yakni mengamati desain, pola, warna, dsb, maka pada saat itu pula perhatiannya sudah teralihkan. Ini adalah contoh kesadaran indra penglihatan.

Contoh lainnya adalah distraksi melalui kesadaran pendengaran. Di ruangan ini apabila seseorang mendengar suara-suara lainnya (yang mungkin tidak banyak tapi ada), maka perhatiannya pun telah teralihkan pada suara-suara tersebut.

Karena itu dikatakan bukan kita yang mengendalikan batin, tapi batin yang mengendalikan kita, karena kita tidak bisa memerintahkan batin untuk melakukan apa yang kita kehendaki. Contohnya, kita tidak bisa memusatkan perhatian pada objek-objek yang kita inginkan ketika kita memutuskan untuk memusatkan perhatian padanya.

Itu pula sebabnya Guru Buddha mengatakan di dalam sutra, bahwa kita harus bisa menjadi penguasa dan pelindung bagi diri kita sendiri. Tidak ada orang lain yang benar-benar bisa melindungi kita kecuali diri kita sendiri. Melindungi diri sendiri artinya kita menjadi tuan bagi diri sendiri, dalam hal menguasai dan menjinakkan batin kita. Seseorang yang batinnya sudah terkendali dan jinak, ia dikatakan telah mencapai pembebasan.

Itu sebabnya, hal pertama dan utama yang harus kita lakukan adalah mengawasi batin kita. Ini bukanlah sesuatu yang dilakukan sekali dua kali saja, tapi latihan yang harus dilakukan terus-menerus. Bagaimana caranya? Satu-satunya cara adalah mengawasi batin kita sendiri saat ini. Kalau misalnya batin Anda saat ini sedang memusatkan perhatian pada apa yang disampaikan, berarti tidak ada masalah. Tapi kalau tidak, berarti batin Anda harus disesuaikan.

Dalam hal mengawasi batin, kita harus benar-benar cermat dan ekstra hati-hati, karena tugas ini bukan tugas yang mudah. Mengapa demikian? Karena batin kita sudah terbiasa dengan beragam kilesa sejak waktu tak bermula dalam kehidupan lampau kita yang tak terhingga. Agar bisa mawas diri terhadap kondisi dan kebiasaan batin kita, dibutuhkan perhatian yang kuat. Kalau hanya sekadar perhatian ecek-ecek yang artifisial, tentu tidak cukup untuk benar-benar memahami apa yang terjadi di dalam batin kita.

Untuk alasan ini pula, Yogi besar Milarepa mengatakan:

Tanduk kambing dan cabang pohon yang besar
sulit untuk dibengkokkan
tapi kalau seseorang menggunakan metode
misalnya merendam dengan air
maka ia akan mampu mengatasi kekerasan/ kekakuan
tanduk kambing dan cabang pohon tersebut.

Dibandingkan dengan tanduk kambing dan cabang pohon besar, batin kita jauh lebih keras dan kaku, sehingga jauh lebih sukar untuk dilenturkan. Batin kita sudah begitu terbiasa dengan pengalihan perhatian setiap saat. Ia pun sudah begitu familiar dengan emosi-emosi negatif seperti kemarahan, nafsu keinginan, dst. Kita mendambakan segala sesuatu setiap saat. Begitu mudahnya kita cemburu dengan segala hal. Sifat-sifat ini begitu mengakar dalam batin kita sehingga sulit untuk ditaklukkan.
Untuk menghndari sifat ketidaktahuan/ kebodohan ini, yakni menghindari agar sifat ini semakin mendominasi batin kita, kita perlu berupaya untuk mengawasi dengan dekat dan cermat pada batin kita. Kita harus bisa terus-menerus sadar diri, berpikir bahwa kita bertindak seperti pengawal bagi batin kita ketika beragam faktor-faktor mental itu muncul.

Oleh karena alasan ini pulalah, Jetsun Milarepa mengatakan:

Saya menetap dalam pertapaanku
terus-menerus memantau batinku sendiri dengan cermat
karena kalau tidak,
batinku akan menjadi netral

Apakah kita sedang berada di tempat pertapaan atau tidak, kita harus senantiasa mengawasi batin dengan ketat, bertindak seperti pengawal yang mengawal sesuatu. Jika tidak, batin kita bisa menjadi bersifat netral, artinya batin kita teralihkan.

Penting sekali mencermati kata-kata Jetsun Milarepa, terutama baris terakhir: “batin menjadi netral.” Kondisi batin yang netral sungguh disayangkan, karena walaupun ia tidak mengumpulkan karma buruk, tapi ia juga tidak mengumpulkan karma bajik apapun, dan ini adalah sesuatu yang disesalkan. Ketika melakukan praktek, misalnya puja,meditasi, dsb, batin kita pun teralihkan, apalagi dengan waktu-waktu lainnya.

Untuk mengubah itu semua, kita harus memahami cara kerja batin kita. Untuk bisa tahu cara kerjanya, kita harus belajar, merenung, dan bermeditasi. Dengan belajar, merenung, dst, barulah kita bisa mengetahui apa yang salah dan kesalahan apa saja yang sudah kita lakukan. Jadi, belajar adalah langkah pertama dalam menaklukkan batin kita sendiri.

Dengan belajar, kita bisa mengamati batin kita sendiri, menunjukkan secara persis bentuk-bentuk pikiran apa yang benar dan apa yang salah. Geshe Ben adalah seorang praktisi dharma yang kerjanya hanya duduk dan mengamati pikirannya, mana yang baik dan mana yang tak baik, dengan menggunakan setumpuk batu hitam dan putih. Tentu Anda semua sudah mengenal baik kisah ini dan Rinpoche tidak perlu mengurai lebih lanjut.

Andaikata ada seseorang yang mengamati praktek Geshe Ben, pasti ia tidak akan menganggap beliau sebagai seorang praktisi spiritual, karena Geshe Ben tidak membaca teks apapun, tidak melafalkan mantra apapun, dan tidak memeditasikan objek apapun. Beliau hanya duduk saja.

Bagi pendatang baru, Rinpoche akan sedikit mengingatkan kembali kisah tentang Geshe Ben. Di awal hidupnya, Geshe Ben bukanlah orang baik, karena ia mencuri, membunuh, dst. Namun, pada satu titik dalam hidupnya, hatinya berubah dan ia pun meninggalkan kehidupan lamanya. Setelah menerima ajaran Buddha, ia memahami dharma dengan baik. Setelah itu, ia menarik diri menuju pertapaan dan retret, menghabiskan sepanjang hari waktunya dengan introspeksi diri. Ia hanya duduk di tempatnya dan mengamati batinnya serta mencatat hasilnya. Kalau muncul pikiran bajik, ia akan meletakkan sebutir batu putih di hadapannya. Kalau yang muncul adalah pikiran tak bajik, ia akan meletakkan batu hitam. Demikianlah beliau menghabiskan waktunya sehari-hari.

Di penghujung hari, Geshe Ben akan menghitung batu-batunya. Kalau batu hitam lebih banyak, ia akan menghukum diri sendiri dengan mengatakan, “Sungguh engkau adalah praktisi yang buruk, tidak berupaya, tidak berlatih, dsb.” Tapi kalau batu putih yang lebih banyak, ia akan menyemangati diri sendiri dengan berpikir, “Yes, saya telah melakukan praktek dengan benar, dst.”

Dalam Bodhisattva’s Way of Life, juga dijelaskan poin yang sama, di mana dijelaskan, “Dibandingkan dengan praktek mengawasi batin, segala perbuatan lainnya tidak bermakna.” Poin yang sama juga terkandung dalam nasihat, “Setiap saat, siang dan malam, awasilah batin secara terus-menerus.”

Tentu saja kita semua di sini berupaya untuk berpraktek demikian, termasuk Rinpoche sendiri. Ada yang prakteknya bagus, tapi ada juga yang belum begitu berhasil. Tapi, apapun hasilnya, yang penting adalah kita semua sudah berupaya. Dengan berusaha saja kita sudah melakukan sesuatu yang bermanfaat, apalagi usaha dilakukan terus-menerus. Mengapa demikian? Karena alasan sederhana, yakni semata-mata karena kita semua menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan.

Dalam proses kita berupaya tersebut, bagaimana supaya upaya kita berhasil? Caranya adalah melawan kecenderungan untuk berpikir buruk dan memunculkan perasaan-perasaan buruk. Tentu saja ini bukan hal yang mudah dilakukan dan dibutuhkan kekuatan. Karena misalnya perasaan buruk, ini adalah sesuatu yang sudah kita alami begitu lama. Sehubungan dengan kilesa kita, ada sebuah analogi yang bagus sekali yang dipakai oleh guru-guru besar di masa lampau.

Dikarenakan jejak karma dan kilesa yang begitu dalam dalam batin kita, mereka ibarat gulungan kertas raksasa yang sudah tergulung untuk waktu yang sangat lama. Kalau kita ingin membentangkan gulungan tersebut, untuk menjaganya agar tidak tergulung lagi, kita harus memegang ujung kertas atau menggunakan pemberat untuk menahannya. Karena kalau tidak, begitu kita melepaskan genggaman, kertas akan serta-merta tergulung kembali. Sama halnya dengan batin kita. Jika kita tidak menahan batin kita, maka ia dengan segera kembali ke kebiasaan lamanya.

Kita harus berupaya mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk lama secara bertahap. Untuk itu, kita butuh tumpuan dalam bentuk metode yang disebut Tahapan Jalan Menuju Pembebasan untuk Ketiga Jenis Praktisi, atau Lamrim. Di dalam Lamrim, terkandung tiga langkah utama.

Pertama, instruksi untuk praktisi berkapasitas kecil. Instruksi ini akan memungkinkannya mengatasi semua kemelekatan terhadap kehidupan saat ini saja, yakni ketergantungan dan kemelekatan kita terhadapnya.

Kedua, instruksi untuk praktisi berkapasitas menengah. Instruksi ini akan memungkinkan seseorang mengatasi kemelekatan terhadap kemegahan samsara secara keseluruhan.

Ketiga, instruksi untuk praktisi berkapasitas agung. Instruksi ini akan memungkinkan seorang makhluk agung mengatasi kemelekatan terhadap pembebasan pribadi dan mengatasi sifat mementingkan diri sendiri dan menggantinya dengan sifat mementingkan semua makhluk.

Bagi mereka yang sudah mengikuti instruksi Lamrim untuk beberapa waktu, pasti sudah mengetahui struktur Lamrim yang terdiri dari empat bab utama. Dari keempat bab ini, kita sudah sampai pada bab keempat, yang terbagi dua bagian. Dari kedua bagian, kita sudah pada bagian kedua, yakni “Sambil bertumpu padanya, bagaimana secara bertahap mengembangkan batin kita.”

Poin kedua di atas juga terbagi menjadi dua bagian, yang mana poin kedua adalah bagaimana cara memanfaatkan eksistensi kelahiran sebagai manusia, yang terbagi lagi menjadi tiga bagian. Dari berbagai metode ini, kita sudah sampai pada metode ketiga, yakni “Melatih batin pada tahap-tahap jalan makhluk-makhluk dengant tingkat motivasi agung.”

Pada bagian motivasi agung ini kita sudah sampai pada poin “Bagaimana cara berlatih dalam keenam paramita untuk mengembangkan batin kita.” Rinpoche yakin pada sesi terdahulu kita sudah membahas penyempurnaan kemurahan hati.

Sekadar mengingatkan, esensi kemurahan hati adalah niat untuk memberi. Praktek penyempurnaan kemurahan hati dilakukan dengan pertama-tama membangkitkan motivasi altruistik, yakni minimal motivasi bodhicitta dengan upaya yang dibangkitkan di dalam batin. Dengan motivasi ini, di satu sisi, seseorang membangkitkan niat untuk berbagi barang kepemilikannya atau apa saja, kepada orang lain, dan di sisi lain, ia menaklukkan nafsu keinginan yang hendak menyimpan segala sesuatu untuk diri sendiri.

Ada banyak cara untuk mengakomodir niat untuk memberi, yakni dalam berbagai bentuk pemberian (dana). Seseorang bisa melatih niat memberi sampai pada tahap ia mampu memberikan badan jasmaninya, yang merupakan praktek pemberian materi tertinggi. Atau kalau belum bisa, seseorang bisa memberikan buah-buahan atau makanan lainnya, atau pemberian apapun yang sanggup dilakukan.

Tentu saja kita melatih praktek memberi ini, artinya kita mempersembahkan offering, makanan, hadiah-hadiah kecil. Kita membebaskan binatang, dst. Kita melakukan praktek-praktek tersebut. Akan tetapi, agar perbuatan tersebut termasuk praktek penyempurnaan kemurahan hati, kita harus memastikan bahwa motivasi dalam melakukannya adalah demi mencapai pencerahan yang lengkap dan sempurna, walaupun motivasi itu mungkin dalam bentuk bodhicitta dengan upaya, ataupun motivasi bodhicitta yang artifisial, Satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah kita melakuan praktek memberi dengan perasaan senang, gembira, dan lega.

Motivasi yang harus dihindari dengan cara apapun adalah melakukan tindakan memberi dengan niat untuk mendapatkan imbalan. Misalnya, seseorang memberikan sesuatu sekarang dengan harapan di waktu akan datang ia akan mendapatkan sesuatu. Ini adalah motivasi yang harus dihindari dalam setiap kondisi.

Akan tetapi, penjelasan di atas lebih kompleks daripada kedengarannya. Seseorang yang merasa ia tidak bisa mencapai Kebuddhaan dalam kehidupan saat ini, tentu akan berupaya untuk memastikan pada kelahiran-kelahiran berikutnya ia memperoleh kehidupan yang baik, supaya ia bisa melanjutkan prakteknya. Kehidupan yang baik ini tentu saja mencakup kondisi-kondisi menguntungkan, antara lain memastikan seseorang mendapatkan penghidupan yang layak, minimal untuk bertahan hidup.

[di sini ada bagian terpotong karena buruknya koneksi internet]

Bentuk kemurahan hati lainnya adalah memberikan rasa aman atau perlindungan. Sumber ketakutan seseorang bisa berupa apa saja. Seseorang bisa memberikan perlindungan dengan cukup mudah, misalnya memberikan obat bagi orang sakit, menyelamatkan serangga yang jatuh ke dalam air untuk mencegahnya tenggelam, memindahkan cacing atau serangga di tengah-tengah jalan untuk mencegahnya terinjak. Kalau seseorang melakukan semua perbuatan tersebut dengan motivasi untuk mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk, maka perbuatan sederhana itu sudah termasuk praktek penyempurnaan kemurahan hati dalam bentuk pemberian rasa aman atau perlindungan.

Bentuk kemurahan hati ketiga adalah pemberian dharma. Dana ini cakupannya jauh lebih luas daripada yang biasanya dibayangkan. Tentu saja ini mencakup pemberian ajaran dharma resmi kalau memang ada kesempatan untuk melakukannya, tapi bisa juga berupa pemberian nasihat kepada seseorang yang membutuhkannya. Misalnya seseorang yang harus membuat keputusan, atau yang sedang menghadapi masalah dan membutuhkan nasihat agar bisa mengatasi masalahnya dan mencari jalan keluar. Intinya, segala bentuk perbuatan yang membuat orang lain merasa lebih baik. Ini bahkan mencakup perbuatan sederhana seperti memberikan petunjuk arah bagi orang yang membutuhkannya. Agar semua perbuatan tersebut termasuk penyempurnaan kemurahan hati, ia haruslah dibarengi dengan motivasi untuk mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk.

Ada satu yang lupa diterjemahkan, yaitu ketika seseorang melafalkan doa atau teks yang dihafalnya luar kepala, ia bisa membayangkan semua makhluk ada di sekitarnya dan mendengarkan pelafalannya itu, dan kebajikan itu didedikasikan bagi pencapaian Kebuddhaan demi semua makhluk.

Praktek penyempurnaan kemurahan hati ini bisa dilakukan setiap saat. Misalnya praktek memberikan sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi sebagai dokter, perawat, orang-orang yang memberikan informasi, yang pada dasarnya memiliki kesempatan untuk menolong orang lain. Dengan cara seperti ini, setiap orang bisa men-transformasi kegiatan sehari-hari menjadi praktek penyempurnaan kemurahan hati, apapun profesinya.

Sekarang kita sampai pada paramita kedua, yakni penyempurnaan sila.
[Rinpoche mengutip teks Essence of Refined Gold hal. 33, yang terlewatkan oleh catatan tangan perangkum]

Dalam menjaga sila tetap murni, seseorang membutuhkan:
1. Ingatan (remembrance)
2. Perhatian (watchfulness)
3. Rasa hormat (respect)
4. Pertimbangan kepada orang lain (consideration for others)

Ingatan atau memori berfungsi mengingatkan kita apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Contoh, kita harus ingat sila tidak membunuh, yakni dengan mengingat manfaat-manfaat tidak membunuh dan kerugian-kerugian membunuh. Ingatan inilah yang menjaga kita tetap sadar akan manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian sebuah tindakan.

Berikutnya adalah perhatian. Apa fungsi perhatian? Begitu ingatan telah memungkinkan seseorang menjaga sila, artinya mengingat apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, maka perhatian berfungsi sebagai pengamatan pada diri sendiri, yang melihat apakah kita sudah melaksanakan sila yang tadi sudah diingat. Ini adalah faktor yang memungkinkan kita menjaga perilaku kita sejalan dengan sila yang sudah kita sadari berdasarkan ingatan.

Berikutnya adalah rasa hormat pada diri sendiri, dalam bentuk rasa malu pada diri sendiri. Dasar pemikirannya adalah perasaan ini membuat seseorang tidak melakukan perilaku buruk, misalnya membunuh. Rasa malu ini ditujukan kepada diri sendiri, bukan kepada orang lain. Ketika kita memikirkan diri sendiri sebagai seorang praktisi dharma, apalagi praktisi dharma mahayana, maka kita mengingatkan diri sendiri untuk tidak melakukan perilaku yang salah.

Terakhir, pertimbangan kepada orang lain, dalam bentuk rasa malu kepada orang lain. Kita menjaga sila supaya tidak membuat orang lain sedih dan kecewa. Orang lain ini tidak terbatas pada orang-orang sebaya yang kita kenal saja, tapi termasuk para Buddha dan Bodhisatwa, dan tentu saja guru spiritual. Kita mempertimbangkan mereka semua sehingga menghindari pelanggaran sila.

Keempat cara di atas merupakan alat untuk menjaga sila. Contohnya, ingatan menjaga batin untuk tidak membunuh dengan cara pertama dan utama adalah mengingat bahaya yang ditimbulkan pada korban. Bahaya perilaku membunuh pada korban bukan saja secara fisik, tapi juga mental. Tindakan membunuh mengakibatkan penderitaan yang hebat bagi korban, dan juga bagi pelaku. Bagi pelaku, akibat karma buruknya dalam bentuk buah karma yang sesuai dengan perbuatannya dan juga buah karma dalam bentuk lingkungan. Keduanya ini mengakibatkan penderitaan besar bagi pelakunya. Dengan mengingat ini semua, seseorang bisa menjaga sila menghindari pembunuhan.

Ada nasihat yang berbunyi, “Jagalah perilakumu setiap saat untuk tidak melakukan ketidakbajikan, bahkan bila nyawa taruhannya.” Ini merujuk pada Sila Bodhisatwa yang pertama, yakni sila menghindari kejahatan/ perilaku buruk.

Di atas dasar sila pertama—menghindari kejahatan—ini, seseorang kemudian menyempurnakan paramitanya, yang merupakan Sila Bodhisatwa kedua, yaitu mempraktekkan kebajikan. Berdasarkan sila pertama menghindari kejahatan, seseorang kemudian mempraktekkan enam paramita untuk mengumpulkan kebajikan.

Seseorang mengumpulkan kebajikan dengan mempraktekkan enam paramita. Bodhisattva’s Levels karya Arya Asanga membabarkan delapan jenis praktek yang bisa dilakukan untuk mengumpulkan kebajikan yang tak terhingga. Selanjutnya, dengan bertumpu pada sila pertama dan kedua, seseorang kemudian bekerja demi semua makhluk, yang merupakan Sila Bodhisatwa ketiga. Sila ketiga adalah bekerja sekuat tenaga untuk menolong semua makhluk.

Dari ketiga Sila Bodhisatwa, yang menjadi dasar atau pondasinya adalah sila pertama, menghindari kejahatan. Sila pertama ini mengandung banyak aspek dan terdiri dari berbagai sila berbeda, seperti Sila Pratikmosha, dst. Sila menghindari kejahatan ini berlaku untuk semua jenis kendaraan spiritual. Yang paling mendasar dari sila menghindari kejahatan ini adalah menghindari sepuluh karma buruk.

Sila menghindari sepuluh karma tak bajik ini, secara harfiah merujuk pada menghindari sepuluh perbuatan buruk. Tapi berkat penjelasan Arya Asanga yang memaparkan uraian lengkap masing-masing sepuluh aspek dari setiap sepuluh karma buruk itu, sehingga sepuluh kali sepuluh menjadi seratus aspek.

Seseorang yang mendengarkan uraian sepuluh aspek dari masing-masing sepuluh perbuatan buruk akan membuat praktek menjaga silanya menjadi lebih kuat dan kokoh, serta makin diperkaya dan menghasilkan kebajikan yang berlipat pula.

[sampai di sini ada bagian yang terpotong, sehingga penjelasan sepuluh aspek dari masing-masing sepuluh perbuatan buruk tidak dapat diterima dengan utuh dan lengkap. Akan tetapi, uraian Rinpoche tetap dipaparkan apa adanya di sini sesuai catatan tangan perangkum Bahasa Indonesia.]

Contohnya, dewasa ini banyak orang yang mencari nafkah dengan membunuh makhluk hidup. Yang paling baik tentu saja berhenti membunuh sama sekali, tapi ada sebagian orang yang tidak punya pilihan lain, misalnya nelayan, penjagal, dsb. Ketika mereka mengetahui ada bentuk menjaga sila sebagian seperti ini, maka ini akan membuka pintu bagi mereka untuk mempraktekkan sila menghindari pembunuhan. Seorang nelayan atau penjagal bisa bertekad untuk tidak membunuh jenis makhluk hidup tertentu, walaupun ia tetap harus membunuh jenis makhluk lainnya sesuai pekerjaannya.

Seorang nelayan atau penjagal belum bisa menjaga sila menghindari pembunuhan seutuhnya karena kalau ia tidak melakukan tugasnya ia terancam dipecat, dst. Sebagai gantinya, ia bisa menjaga sila menghindari pembunuhan secara sebagian (partial). Seorang nelayan atau penjagal bisa berpikir, “Saya terpaksa membunuh jenis-jenis makhluk tertentu karena merupakan mata pencaharian saya, tapi saya akan menghindari pembunuhan semua jenis makhluk lainnya.” Dengan cara seperti ini ia sudah menjaga sila menghindari pembunuhan sebagian.

[terpotong]

Cara lain untuk menjaga sila menghindari pembunuhan sebagian adalah dengan berpikir bahwa “Saya tidak akan membunuh makhluk lain kecuali diserang.” Artinya, ini bisa jadi pembelaan diri (self-defense).

[terpotong]

Kebanyakan dari kita kemungkinan besar hanya bisa mengikuti penjelasan poin kedua dalam menjaga sila menghindari pembunuhan. Untuk penjelasan poin ketiga, kalau mau ditinjau secara realistis, cukup susah untuk menjaga sila ini. Jika ada yang bisa, tentu sangat baik sekali dan cara ketiga inilah yang harus diikuti.

[terpotong]

Kita bisa mulai minimal dengan satu hari dan kemudian meningkat menjadi satu tahun. Jika seseorang yang sudah terbiasa membunuh hendak mempraktekkan sila menghindari pembunuhan, ia bisa memulainya dengan memutuskan tidak membunuh selama satu hari. Kemudian, bisa ditingkatkan menjadi satu tahun. Artinya menjaga sila tidak membunuh selama satu tahun penuh.

Jangka waktu menengah adalah antara satu tahun hingga beberapa tahun ke depan. Jangka waktu ketiga adalah seumur hidup. Perbedaan jangka waktu ini juga menghasilkan kebajikan yang berbeda. Yang ketiga tentu saja menghasilkan kebajikan yang paling besar.

[terpotong]

Kita sudah membahas enam dari sepuluh aspek. Aspek ketujuh adalah keputusan pribadi untuk menghindari pembunuhan sepanjang hidup kita, tapi ini tidak mencakup perilaku mengajak orang lain untuk menjaga sila yang sama. Jadi, seseorang hanya menjaga silanya secara diam-diam untuk dirinya sendiri dan tidak mengajak orang lain untuk melakukannya.

Tadi sudah dipaparkan enam aspek, berarti sisa empat aspek. Dari empat aspek tersisa, satu baru saja dijelaskan. Yang kedua adalah tidak membatasi pada diri sendiri, tapi juga mengajak orang lain untuk menjaga sila. Jadi empat aspek yang tersisa merupakan perbuatan mengajak orang lain untuk menjaga sila serta memuji orang lain yang menjaga sila dengan baik.

[terpotong]

Kita juga bisa memuji orang yang menjaga sila dari berbagai sudut pandang. Misalnya dengan mengatakan, “Wah, sungguh perbuatan yang baik sekali.”

[terpotong]

Jika kita meninjau perbuatan buruk membunuh ini dengan jujur, tentu akan sulit bagi kita untuk mempraktekkannya, karena kebiasaan lama kita yang begitu kuat. Tapi kalau kita mengamati lebih dalam, artinya mengamati sepuluh aspek ini, maka seseorang bisa memperkaya praktek menjaga silanya dengan lebih meningkat. Kita memang sudah mempraktekkan sila menghindari perbuatan jahat, tapi yang kita praktekkan tidak mendetil seperti ini. Kalau kita mau berupaya untuk mengamatinya dengan lebih detil dan dalam, tentu ini akan semakin menambah nilai praktek kita dan kebajikan yang kita hasilkan juga semakin berlipat ganda.

Lebih lanjut, kita sudah melihat kesepuluh aspek dan memahami apa yang bisa kita praktekkan dengan mudah, yang kalau tidak, mungkin kita berpikir ini adalah sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan sama sekali. Penjelasan ini memaparkan praktek yang tadinya tidak bisa dilakukan sama sekali.

Kita sudah mengaplikasikan sepuluh aspek pada perbuatan membunuh. Berikutnya adalah mencuri. Kalau kita belum bisa memutuskan untuk tidak mencuri semua jenis barang, minimal kita bisa bertekad untuk tidak mencuri barang-barang tertentu. Dan untuk jangka waktu terbatas, ini bisa diaplikasikan pada perilaku seksual tidak benar, dan berbohong. Kita bisa bertekad untuk tidak berbohong sehubungan dengan hal-hal tertentu. Berikutnya pada kata-kata kasar, ucapan yang memecah belah, omong kosong. Pada pikiran keserakahan, kita bisa berpikir, “Saya tidak akan serakah pada benda-benda kepemilikan guruku.” atau “Saya tidak akan serakah pada benda-benda milik Triratna.” Karena hal-hal itulah yang sanggup kita lakukan, sebelum kita bisa menerapkannya pada segala benda tanpa kecuali. Selanjutnya kita bisa menerapkan sepuluh aspek ini pada keseluruhan sepuluh karma buruk.

Dengan melakukannya, kita akan melipatgandakan kebajikan menjadi sepuluh kali lipat. Kalau dikalikan dengan sepuluh karma buruk, berarti berlipat seratus kali.

Kalau kita lihat sila menghindari perbuatan jahat hanyalah satu poin, yang bisa dibagi menjadi sepuluh perbuatan yang dihindari, yang selanjutnya, berkat penjelasan Arya Asanga, masing-masing terbagi lagi menjadi sepuluh aspek. Jadi dari satu menjadi sepuluh kemudian menjadi seratus, sebuah peningkatan besar yang membuat praktek menghindari perbuatan jahat kita menjadi sangat kaya.

Rinpoche melihat jam dan menyadari bahwa sesi telah molor sepuluh menit, tapi Rinpoche merasa apa yang dijelaskan tadi sangat penting.

(6j)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *