“Apakah ada Arahat diantara anda semua saat ini? Ataukah anda semua yang hadir di sini adalah para Arahat? Bila anda semua adalah Arahat maka kita sekarang berada dalam situasi aneh karena satu-satunya non-arahat di ruangan ini adalah yang duduk di atas tahta ini dan sedang memberikan ajaran kepada Arahat.”
Demikian kata Rinpoche dengan senyuman khas-Nya dan seluruh peserta di ruangan tersebut tertawa. Sekilas terbesit dipikiranku bahwa Beliau memang bukan Arahat, melainkan Buddha yang sedang mengajar tahapan jalan menuju pembebasan serta arti Bodhicitta kepada Arahat. Saya bukanlah penulis yang baik, begitu pula pendengar yang baik; akan tetapi intisari apa yang telah saya terima selama lebih kurang 12 hari akan saya jabarkan semampu saya, beserta pemikiran-pemikiran saya yang muncul selama retreat ini.
Minggu, 25 Oktober 2009
Rinpoche memulai seluruh rangkaian sesi retreat dengan memperbaiki dan mengingatkan motivasi kita yang mendengarkan retreat. Dengan analogi Buddha sebagai dokter, Dharma adalah obat, dan Sangha sebagai perawat; Rinpoche menjelaskan bahwa kita semua saat ini sakit, bahkan bisa dibilang sakit kronis. Kita tidak menyadari bahwa jauh di dalam batin kita, kita ini sakit parah; walaupun nampaknya fisik kita gagah dan cantik.
“Kalau saya mendengarkan sebagai orang sakit parah, maka saya akan sangat ingin sembuh dan maju”
Masalahnya kita tidak pernah mendengarkan dengan membuka batin kita, kita masih menganggap bahwa Dharma itu sebagi pengetahuan belaka. Setelah didapat pengetahuan, maka kita sudah aman dari alam rendah dan pintu Nirwana sudah kelihatan. Orang sakit parah tentu sangat ingin sembuh, bahkan akan melakukan apapun agar dapat sembuh, walaupun satu-satunya obat ada di ujung dunia; kita pasti ingin meraihnya untuk diminum agar sembuh. Saat ini apa yang kita lakukan? Dokter sudah memberikan obat, obat sudah ada, perawat sudah menemani dengan memberikan segelas air untuk membantu menelan obat, TAPI kita justru menolak minum obat dan tetap saja mengeluh sakit dan ingin sembuh. Kita tidak akan pernah sembuh bila kita tidak mulai bertindak sendiri dan menunggu perawat menyuapkan obat, O?. tidak, tidak semudah dan seenak itu; maaf saya katakan terlebih dahulu, sehebat apapun perawat kita, tidak akan bisa meminumkan obat ke seluruh pasiennya. Kita sendiri yang harus bertindak.
“Pintu gerbang sudah dibuka, jalan sudah diterangi dengan lampu sepanjang jalan, terserah kita sendiri akankah kita berlari, jalan, atau malah justru duduk-duduk saja di pintu gerbang; itu mutlak pilihan kita sendiri.”
Senin, 26 Oktober 2009
Mari kita bandingkan diri kita saat ini dengan para Guru silsilah kita yang Agung. Guru silsilah kita menempuh perjalanan jauh dari pegunungan Tibet menuju India. Perjalanan mereka tidak naik pesawat Air Asia promo, tidak pula dengan kereta api eksekutif, apalagi dengan mobil Cadillac Esclade. Mereka semua berjuang dengan hanya ditemani beberapa ekor kuda, tidak ada hawa sejuk dari AC double blower, yang ada hanya terik matahari panas yang membuat keringat Mereka menjadi satu-satunya pelega panas. Tidak ada drive thru Mc Donald 24 jam yang bisa dipesan sepanjang perjalanan, Mereka justru lebih sering bertemu dengan tanaman merambat gurun dan biji-bijian untuk dimakan. Bahaya mengancam Mereka karena para bandit mengincar emas persembahan Mereka. Begitu sampai India-pun perjalanan Mereka belum berakhir, Mereka masih harus berhadapan dengan susahnya jalan untuk menemukan Guru Spiritual yang berada di pedalaman India. Setelah bertemu Sang Guru, ini juga masih bisa dibilang belum usai, karena bila Guru sedang meditasi atau tidak mau mengajar maka dengan sabar mereka akan menunggu; bahkan walaupun belum diterima sebagai murid, Mereka akan langsung menjalankan instruksi yang diberikan oleh Guru.
Coba lihat kita saat ini; hanya perlu berjalan tidak sampai 1 km, tidak perlu membawa emas, tidak perlu berhadapan dengan terik matahari, ada 10 orang perawat yang siap sedia membantu setiap saat, kadang kala malah diberi makan oleh Guru; tetapi pencapaian spiritual apa yang telah kita capai atau minimal jalani? Kenapa para Guru silsilah kita bisa mencapai seluruh pencapaian spiritual yang Agung, sedangkan kita tidak? Buku tersedia dan lengkap, serta tidak perlu pindah-pindah kota untuk mendapatkan satu ilmu ke ilmu lainnya, maka tidaklah heran bila di hari kedua Retreat ini Rinpoche bertanya kepada diriku:
“Apakah pencapaian spiritual kita ataukah kematian yang akan kita capai terlebih dahulu di kehidupan ini?”
Tidak bisa dipungkiri kita berada di zaman kemerosotan, seluruh obat dan perawat tersedia didekat kita; namun kita hanya mengacuhkannya. Seluruh akses diberikan, tetapi kita sendiri yang memilih untuk tidak mengakses, jadi jangan salahkan siapa-pun bila nanti ketika Yama menjemput kita sewaktu-waktu, kita tidak siap sama sekali.
Selasa, 27 Oktober 2009
“Tidak ada cara yang lebih baik selain bertumpu pada Guru Spiritual kita, ketika kematian menghampiri kita.”.
Hubungan dengan Guru Spiritual akan digabungkan dengan penjelasan tanggal 29-1 November 2009?
Rabu, 28 Oktober 2009
“Words are cheap”
Kira-kira demikian, nasihat dari Rio Helmi. Saya lupa hal apa yang saya bicarakan dengan saudara Rio, tetapi yang jelas 3 kata darinya betul-betul mengingatkan saya tentang sesuatu. Ketika kita bangun di pagi hari dan akan menjelang tidur tentu saja kita semua melakukan berlindung, bukan? Mungkin ada beberapa yang menggunakan versi bahasa Pali, sisanya mungkin Tibetan. Saya tidak akan mengulas dua versi tersebut, hal tersebut di luar kapasitas saya; walaupun secara arti harafiah saya lebih suka arti yang Tibetan.
Mari kita sadari kenapa kita melakukan hal tersebut? (1) disuruh Suhu, (2) sudah terbiasa semenjak ikut di Vihara, (3) kalau gak berlindung rasanya ada yang kurang? atau kah (4) sadar sepenuhnya masih berada di samsara dan sangat perlu perlindungan Triratna. Kira-kira ketika survey dilakukan berapa orang akan memilih angka (4) dan berapa orang (1)?
Secara teori tentu saja, hampir semua sudah mendapatkan penjelasan materi berlindung baik dari senior, para Yang Luhur, atau bahkan dari Suhu sendiri. Mari kita lihat apa yang dikatakan Rinpoche tentang Berlindung dalam retreat kali ini:
“Berlindung bukan hanya Lip service, mengulang di pagi hari dan malam hari; akan tetapi selalu membiasakan batin kita dan mengkondisikan batin kita untuk selalu dalam keadaan itu.”
Buddha selalu memberikan perlindungan kepada kita, mengajarkan kepada kita semua hal yang diperlukan untuk membawa kita ke pembebasan. Mari kita analogikan dengan hukum sebab-akibat, jadi Buddha ada karena ada makhluk (terutama manusia) yang merasa perlu perlindungan dan ajaran dari Buddha agar dapat bebas, jadi
“Jika saatnya tiba dimana manusia sudah tidak memiliki keinginan untuk keluar dari samsara dan tidak memiliki lagi compassion maka Buddha tidak akan muncul lagi untuk mengajar”
Mari kembali ke apa yang ingin dikatakan Rinpoche, bila kita tidak mulai menyadari kondisi kita saat ini maka bukanlah tidak mungkin justru cengkraman “Aku yang independen” yang semakin kuat, terlebih melihat fenomena yang ada saat ini, orang lebih suka hidup sendiri di dunianya 2×3 meter (kurang lebih), di sana terlihat sekali Aku-nya. Untuk menyadari kita terikat memang susah sekali bahkn perlu retreat khusus topik tersebut, ujar Rinpoche, selama beberapa hari. Tapi bukankah compassion bisa kita rasakan dan latih saat ini juga? Kecuali memang kita tidak perlu lagi, mau berkata apa lagi. [Albert]