Talkshow “Socially-Engaged Buddhist Women” bersama Ven. Karma Lekshe Tsomo

  • June 7, 2009

Rumah Filsafat dan Budaya Kamandalu, 5 Juni 2009


Jumat malam. Suasana Rumah Filsafat dan Budaya sedikit berbeda. Pancaran lampu neon yang berpendar kekuningan menerangi ruangan yang sudah ditata. Sambil menunggu dimulainya acara, dentang-denting klonengan sayup-sayup kedengaran. Malam itu Rumah Filsafat dan Budaya beserta keluarga besar Kadam Choeling Indonesia yang ada di Bandung kedatangan tamu seorang biksuni Tibetan yang bernama Karma Lekshe Tsomo. Beliau merupakan figur wanita Buddhis yang cukup mengesankan dengan profil latar belakang yang penuh kegiatan pemberdayaan wanita, di antaranya selaku Presiden Sakyadhita International dan Jamyang Foundation. Berkat kerjasama KCI dan WBI, kegiatan talkshow yang singkat ini bisa terlaksana.

Berikut petikan talkshow dengan beliau:

Apa kegiatan Ven. Lekshe sehari-hari?
Saya memiliki tiga pekerjaan penuh waktu. Yang pertama sebagai professor, di mana saya bergulat dengan banyak kegiatan berpikir. Yang kedua adalah sebagai presiden Sakyadhita International. Dan yang ketiga sebagai ketua Jamyang Foundation, yang bergerak di bidang pemberdayaan wanita di negara-negara terbelakang. Yah, pada dasarnya sehari-hari saya kurang tidur dan kurang tidur terus, tapi saya berusaha melakukan yang terbaik.

Di antara sekian banyak peran, apa yang sebenarnya menjadi gairah terbesar Anda?
Sebenarnya benang merah di antara seabreg kegiatan saya adalah dalam rangka mendidik perempuan-perempuan Buddhis. Seperti misalnya yang saya lakukan dalam Jamyang Foundation dan Sakyadhita International. Karena apabila kita mampu mendidik perempuan-perempuan Buddhis ini, mereka nantinya akan bisa mendidik para perempuan lainnya pula, dan seterusnya, sehingga mereka semua bisa melakukan banyak hal. Untuk dapat melakukan itu semua, mereka harus dibekali dengan ketrampilan dan pendidikan agar dapat melakukan tugas-tugas mereka dengan baik. Saya kasih contoh. Misalnya para biksuni di pegunungan Himalaya sana. Mereka memiliki keinginan mulia untuk menolong semua makhluk. Mereka tidak akan dapat mewujudkan keinginan mulia tersebut kalau mereka tidak dibekali dengan pendidikan dan ketrampilan yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, di sini saya melihat banyak orang, termasuk perempuan-perempuan berpendidikan tinggi, yang tentu saja merupakan keuntungan untuk dapat melakukan banyak hal dengan baik. Agar dapat menolong sebanyak-banyaknya orang dengan sebaik-baiknya, kita perlu mendapatkan pelatihan, ketrampilan dan pendidikan, barulah kita bisa mengubah dunia.

Apakah itu artinya Anda tidak mengajar kaum pria?
Tentu saja saya juga mengajar kaum pria. Saya mengajar pria dan wanita. Akan tetapi, memang jumlah wanita lebih banyak daripada pria. Perbandingannya adalah 2:1. Di Amerika, semakin banyak perempuan yang berprestasi dan semakin banyak yang mendapatkan pendidikan universitas dan menorehkan prestasi. Kondisi ini sudah seperti trend nasional di sana. Tapi tentu saja kaum pria tetap ikut terlibat, seperti misalnya dalam konferensi-konferensi Sakyadhita International. Kaum pria juga turut diundang untuk berpartisipasi.

Apa sih yang salah dengan wanita sehingga begitu banyak perhatian yang dicurahkan untuk mereka?
Tidak ada yang salah dengan wanita. Semuanya yang berkaitan dengan wanita baik-baik saja. Akan tetapi, ada yang salah dengan masyarakat, yaitu masih adanya diskriminasi jender. Satu di antara delapan wanita di Amerika pernah diperkosa. Saya tidak tahu statistik di Negara lain, tapi itulah yang terjadi di Amerika. Selain itu, masih ada masalah ketidaksetaraan kesempatan. Para wanita masih dihalangi dalam mendapatkan pekerjaan-pekerjaan di level tertinggi. Mereka mendapatkan bayaran lebih sedikit untuk beban kerja yang sama beratnya. Eksploitasi di dunia masih terus terjadi, termasuk juga perbudakan. Yang menjadi korban perbudakan kebanyakan kaum wanita dan anak-anak. Oleh sebab itu, wanita Buddhis yang membumi sangatlah penting sekali. Ajaran Buddha dharma yang membumi juga sangat penting sekali. Seperti yang kita ketahui, ajaran Buddha bertujuan untuk membahagiakan semua makhluk, akan tetapi dengan berdoa saja tidaklah cukup. Kita perlu mempraktikan ajaran tersebut ke dalam tindakan nyata, seperti istilah dalam Bahasa Tibet yaitu “lhag tu lenpa.”

Feminisme itu sebenarnya sebuah teori radikal yang menyatakan bahwa wanita adalah manusia seutuhnya. Pertanyaannya, apa yang terancam oleh feminisme? Apa yang salah kalau memang benar wanita adalah manusia sesungguhnya? Kita harus memahami bahwa ini bukanlah persoalan wanita bersaing dengan pria, ataupun wanita itu lebih baik dari pria, atau bertukar tempat. Di sini persoalannya semata-mata adalah mengembangkan potensi wanita itu sendiri hingga mencapai kapasitas kemanusiaannya yang seutuhnya.


Sungguh menarik definisi feminisme yang Anda sebutkan. Bagaimana caranya untuk mengembangkan kapasitas wanita yang seutuhnya?
Ada baiknya kita merujuk kembali pada ajaran Buddha, yaitu melihat pertanyaan tersebut dari perspektif Buddhisme. Buddha mengajarkan pengikutnya untuk mempertanyakan segala sesuatu. Jangan menerima apapun secara mentah-mentah sebelum memeriksa dan mem-verifikasi melalui pengalaman kita sendiri. Kita perlu mempertanyakan kembali teori jender yang telah terbentuk di dalam masyarakat. Bahwasanya pria adalah seperti ini, wanita adalah seperti itu. Bahkan sejak kecil, anak-anak sudah dibentuk, misalnya anak laki-laki mainannya truk dan senjata api dan anak perempuan mainannya boneka dan entah apa lagi saya kurang tahu. Dan semakin mereka tumbuh dewasa, masyarakat memperlihatkan hanya ada dua jender. Kalau ga pria, yah wanita. Bahkan kita bisa lihat dari toilet. Hanya ada dua pilihan, kalau bukan toilet pria dengan peralatannya, yah toilet khusus untuk wanita. Kita harus bisa mempertanyakannya, kalau tidak, kita ibarat burung-burung yang terbang menuruni tebing tanpa mempertanyakan apa-apa. Oleh sebab itu, kita harus bisa mempertanyakan kembali segala sesuatunya.

Sebenarnya pertanyaannya adalah bagaimana kita mengembangkan kapasitas kita dengan seutuhnya, bukan hanya wanita, tapi juga para pria, yakni kapasitas kita sebagai manusia. Tujuan tertinggi kita adalah mencapai pencerahan sempurna, yakni menghilangkan segala jenis hambatan dan delusi, menjernihkan batin kita dan untuk tersadar. Pencerahan ini sama untuk pria dan wanita. Pencerahan wanita tidak berbeda dengan pencerahan pria. Ia adalah pengalaman tersadarkan dan pengalaman pencerahan yang sama.

Question
Kita harus bisa melihat dari perspektif sosial secara konvensional. Kondisi sosial di masyarakat sekarang ini sudah tidak berimbang. Ada ketimpangan antara peran seorang pria yang seolah-olah harus agresif layaknya pria macho, dan seorang wanita yang seolah-olah harus lembek, lemah dan terdominasi. Sehingga dewasa ini kita bisa melihat banyaknya kasus kekerasan rumah tangga. Dari sini kita bisa melihat ada yang salah dengan masyarakat kita, seolah-olah kita harus menggunakan kekerasan, bukan saja di dalam keluarga, tapi juga di tingkat nasional dan internasional. Kalau anda sekalian mengikuti politik, anda bisa melihat bagaimana seorang presiden Amerika tidak boleh lemah lembut karena takut tidak akan terpilih lagi, sehingga ia bersikap agresif dan membunuh ratusan ribu nyawa. Dan ada kaum wanita yang mengetahui bahwa kondisi seperti itu salah, namun tidak berani untuk mengungkapkannya. Karena secara tradisi wanita tidak boleh terlalu banyak berbicara. Akhirnya, yang terjadi, para pria berangkat ke medan perang dan wanita hanya diam saja. Oleh sebab itu, kita butuh kedamaian di dalam keluarga, di tempat kerja, dan di dunia ini secara keseluruhan.

Bagaimana Anda melihat perkembangan di Negara-negara Asia dewasa ini?
Saya melihat Negara-negara di Asia sekaran ini sudah berubah. Banyak stereotip “Timur” dan “Barat” yang sudah berubah. Dahulu, Negara-negara Asia terkenal dengan sifatnya yang lamban, lemah dan penuh rasa hormat. Tapi sekarang ini, anak-anak muda di Asia tidak jauh berbeda dengan anak-anak muda di Barat dibandingkan dengan orang tua mereka. Dalam beberapa tahun belakangan ini, laju perubahannya sangat cepat sekali. Ketika saya masih kecil dulu, kalau ada orang tua yang memasuki ruangan, orang-orang yang lebih muda akan berdiri untuk menyambut mereka, tapi sekarang sudah tidak demikian lagi. Menurut saya, nilai-nilai tradisi itu banyak yang bermanfaat, seperti misalnya rasa hormat. Apa yang terjadi dengan rasa hormat? Rasa hormat adalah sesuatu yang sangat bermanfaat dan penting sekali.

Di sini kita bisa melihat betapa ajaran Buddha sangat bermanfaat. Tujuan utama ajaran Buddha adalah untuk melenyapkan penderitaan. Kita tidak bisa hidup tenang dalam dunia kita sendiri sementara di luar sana banyak sekali penderitaan. Oleh sebab itu kita perlu merenungkan penderitaan dengan kebijaksanaan dan mempraktikan ajaran Buddha.

Contohnya, Buddha mengajarkan ketidak-kekalan. Sekarang ini kita mungkin memiliki kekayaan, kesehatan dan kebahagiaan. Tapi itu semua bisa berubah dalam waktu satu malam. Tiba-tiba saja kita kehilangan anggota keluarga, kebahagiaan, dan pekerjaan kita. Dengan memahami ketidak-kekalan yang kita alami, kita bisa menolong orang lain yang sedang menghadapi situasi yang serupa.

Contoh lainnya, keserakahan dan kemelekatan. Sekarang ini kita bisa melihat runtuhnya ekonomi global. Sebelumnya, kita merasa keserakahan itu hanya teori saja, tapi sekarang kita bisa melihat dengan nyata orang-orang mengalami kerugian. Mereka kehilangan rumah mereka, pekerjaan mereka. Dengan merenungkan ajaran Buddha, kita bisa menolong mereka dan ajaran Buddha memberi kita alat untuk menolong orang lain mengatasi permasalahan mereka.

Ketika saya bilang saya mau datang ke Indonesia, teman-teman saya bertanya “Apakah kamu tidak takut?” saya bilang kenapa harus takut. Saya lebih takut ke Los Angeles daripada ke Indonesia karena setiap orang di LA punya senjata api.

Dan terakhir, tentu saja, ajaran Buddha tentang cinta kasih dan welas asih. Apapun permasalahan anda, semoga tidak ada yang tidak bisa diatasi dengan cinta kasih dan welas asih. Keduanya merupakan senjata pamungkas dalam mengatasi permasalahan kita.


Sungguh penjelasan yang menyentuh dari Anda. Jadi bagaimana anda mengatasi persoalan ketidak-adilan dan ketimpangan yang menimpa kaum marjinal dalam proyek-proyek Anda? Bagaimana anda mengatasi masalah-masalah di sana?
Kita harus memulainya dari satu titik. Kadang kita merasa permasalahan di dunia ini sungguh banyak dan besar hingga sebagian orang menjadi diam dan tak berbuat apa-apa. Mereka berpikir “apa sih yang bisa saya lakukan?” ketika saya belajar di Dharamsala, saya melihat begitu banyak samaneri-samaneri yang buta huruf, kelaparan, tidak punya tempat tinggal, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa pendidikan. Dan pada saat itu saya sudah memiliki gelar Master, dan ketika saya ingin belajar, berkat bantuan His Holiness Dalai Lama, saya bisa belajar Dialektika di sana. Jadi saya memiliki segala sesuatu yang saya perlukan pada saat itu. Namun, saya tidak bisa menikmati kondisi saya begitu saja ketika saya melihat kondisi para samaneri tersebut. Oleh sebab itu, saya mulai dengan langkah kecil. Saya bertanya apakah mereka ingin belajar menulis dan membaca dan mereka bilang ya, jadi saya mencarikan guru yang bersedia mengajari mereka. Selanjutnya, mereka bilang mereka ingin belajar tata bahasa dan saya pun berusaha mencarikan guru yang bisa mengajarkan tata bahasa kepada mereka. Kemudian mereka ingin belajar filosofi. Pada waktu itu, yang belajar filosofi hanyalah para biksu, dan ketika saya hendak mencarikan guru yang mau mengajari filosofi kepada mereka, mereka bertanya apakah para samaneri itu bisa belajar filosofi. Singkat cerita, dibutuhkan waktu 2 bulan hingga saya bisa mendapatkan guru yang mau mengajari filosofi. Kemudian, suatu saat, ada yang bertanya apakah saya mau agar para samaneri tersebut diajari filosofi dalam Bahasa Inggris. Saya pun terheran-heran dengan pertanyaan ini. Dua bulan yang lalu para samaneri ini bahkan buta huruf dalam bahasa mereka sendiri, dan sekarang mereka ingin belajar filosofi dalam Bahasa Inggris? Tapi demikianlah kondisinya. Kami mulai dengan 14 orang hingga akhirnya berkembang menjadi 370 orang. Saya merasa mendapatkan pesan dari pegunungan Himalaya. Demikianlah segala sesuatunya mengalir dan berkembang, dan itu semua dimulai dari langkah pertama. Segala sesuatunya berjalan tapi dibutuhkan langkah awal pertama.

Dalam menjalankan sebuah proyek, pada dasarnya ada tiga langkah:
1.Cari tahu apa yang dibutuhkan oleh sebuah kelompok atau masyarakat tersebut. Apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang kita inginkan buat mereka.
2.Carilah orang yang tepat untuk menjalankan proyek tersebut. Dengan kata lain, libatkan orang-orang setempat atau local partnership.
3.Buatlah proyek yang transparan dan akuntabel.
Dengan ketiga langkah di atas, semoga proyek apapun bisa berjalan dan berkembang.

SESI TANYA JAWAB
Suhu: Saya ingin berbagi pendapat saya mengenai isu jender ini. Menurut saya isu jender di Indonesia merupakan isu yang cukup menghebohkan, di mana semua perempuan di sini menuntut agar mereka setara dengan kaum pria. Masalahnya, saya berpendapat kami ini kan orang timur. Orang timur punya tatanan budayanya sendiri selayaknya masyarakat timur. Jadi, menurut saya, masalahnya bukanlah agar para perempuan ini setara (equal) dengan kaum pria, tapi yang lebih penting adalah bagi kaum perempuan ini untuk mengembangkan potensi kewanitaannya sendiri dengan seutuhnya, barulah mereka bisa mencapai kesetaraan. Contoh misalnya para wanita ini mengembangkan inner beauty mereka sendiri, keahlian dan ketrampilan mereka sendiri hingga menjadi wanita seutuhnya, barulah mereka bisa equal. Karena pandangan ini, kadang saya dianggap patriarki, anti gerakan kesetaraan. Bagaimana menurut Anda?
Pertama-tama, terima kasih sudah bersedia berbagi pandangan Anda. Kembali ke pertanyaannya, sebenarnya tidak ada yang benar-benar disebut sebagai nilai-nilai feminin atau nilai-nilai maskulin. Dengan adanya pandangan adanya nilai-nilai ini yang sebenarnya merupakan akar persepsi yang salah. Yang ada adalah nilai-nilai kemanusiaan seperti kejujuran, kebaikan. Inilah yang kita tuju. Jika ada yang menyebutkan wanita dan pria secara esensi berbeda, pertama-tama, Buddhisme mengajarkan bahwa tidak ada yang namanya esensi. Tidak ada yang sesuatu yang sesungguhnya atau sejatinya sesuatu (Nothing is essentially anything). Kebanyakan orang beranggapan wanita esensinya penuh kasih sayang dan perhatian. Kenapa pria tidak bisa penuh kasih sayang dan perhatian juga? Karena dengan demikian, alangkah indahnya dunia ini. Dan kalau kita bicara tentang kesamaan, ini hanyalah mimpi, karena di dunia ini tidak ada 2 hal yang serupa. Yang ada adalah kesetaraan dan keadilan. Dan bicara soal kesetaraan, apakah saya melihat ada biksuni di sini? Tidak ada.
(keterangan perangkum: Ven. Karma Lekshe duduk di atas panggung yang disediakan bersama dengan moderator Ibu Lenny. Di hadapan mereka duduklah para sangha KCI). [J-red]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *